Jumat, 20 September 2013

Pengertian Utang, Kreditor, dan Debitor dalam Kepailitan



1.      PENGERTIAN UTANG, KREDITOR, DAN DEBITOR DALAM KEPAILITAN

1.1.   Pengertian Utang
Pengertian utang pada dasarnya dapat diartikan secara luas maupun secara sempit.
Pengertian utang dalam arti sempit adalah suatu kewajiban yang timbul hanya dari adanya perjanjian utang-piutang sedangkan pengertian utang dalam arti luas adalah seluruh kewajiban yang ada dalam suatu perikatan baik yang timbul karena undang-undang maupun yang timbul karena adanya perjanjian umpamanya antara lain kewajiban menyerahkan sesuatu, kewajiban untuk berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu.[1]
Namun demikian hal ini diharapkan tidak terjadi lagi karena dalam Undang-Undang Kepailitan yang baru, yaitu UUK No. 37 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (6) telah diberikan definisi yang tegas terhadap pengertian utang, yaitu:

”kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau Undang-Undang dan wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor”.[2]

Pengertian utang tersebut sebelumnya tidak terdapat dalam UU No. 4 Tahun 1998, yaitu undang-undang sebelum berlakunya UU No. 37 Tahun 2004. Namun, dalam UU No. 4 Tahun 1998 hanya meneyebutkan bahwa ”Utang yang tidak dibayar debitor sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini, adalah utang pokok atau bunganya”. Oleh karena undang-undang tersebut tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan utang, maka timbullah silang selisih mengenai apa saja yang dimaksud dengan utang.
Ketiadaan pengertian atau definisi yang diberikan oleh UU No. 4 Tahun 1998 mengenai apa yang dimaksudkan dengan utang telah mengakibatkan hal-hal sebagai berikut:[3]
1.      Menimbulkan ketidakpastian hukum
2.      Mengingat integritas pengadilan yang belum baik pada saat ini, tidak diberikannya oleh Undang-undang tentang pengertian utang itu telah memberikan peluang bagi praktik-praktik korupsi dan kolusi oleh hakim dan pengacara.
Dengan dicantumkannya pengertian utang dalam UU No. 37 Tahun 2004 itu diharapkan tidak lagi akan terjadi perbedaan pendapat mengenai ruang lingkup pengertian utang itu.

1.1.1.      Pengertian Utang Menurut Pengadilan
Mahkamah Agung tidak konsisten dengan pendiriannya mengenai pengertian utang sebagaimana dimaksud UU No. 4 Tahun 1998. Adakalanya MA RI mengartikan utang dalam pengertian yang sempit, namun pada saat lain dalam pengertian luas. Dibawah ini dikemukakan salah satu contoh kasus yang telah diputus oleh pengadilan yang menggambarkan mengenai bagaimana simpang-siurnya dan berbeda-bedanya pendapat mengenai pengertian utang berkaitan dengan UU No. 4 Tahun 1998.
1.      Putusan MA No. 03K/N/1998
Kasus yang diputuskan dalam perkara ini menyangkut perjanjian pengikatan jual-beli dengan ciciclan rumah susun Golf Modern antara Drs. Husein Sani dan Djohan Subekti (sebagai pembeli) dengan PT. Modern Land Realty (sebagai perusahaan pengembang). PT. Modern Land telah gagal dalam melakukan penyerahan unit rumah susun yang dipesan pembeli dan juga gagal mengembalikan uang pembayaran yang telah diterima dari pembeli.
Majelis Hakim Pengadilan Niaga (Judex Factie) berpendapat bahwa permohonan pernyataan pailit yang diajukan pemohon pailit tidak timbul dari konstruksi hukum pinjam-meminjam uang, melainkan berdasarkan utang yang timbul dari pengikatan jual-beli rumah susun, namun karena PT. Modern Land belum mengembalikan uang pembayaran yang telah diterima dari pembeli maka harus dinyatakan telah mempunyai utang kepada masing-masing pemohon pailit.   
Majelis Hakim Pengadilan Kasasi tidak sependapat dengan Majelis Hakim Pengadilan Niaga, khususnya pendapat dan sikap Judex Factie yang telah mengartikan utang secara luas. Menurut Majelis Hakim Pengadilan Kasasi objek perkara kepailitannya adalah hubungan hukum pengikatan jual beli sehingga merupakan perikatan antara produsen dengan konsumen dan utang yang tidak dibayar oleh debitor sebagaimana dimaksudkan dalam ketentuan ini adalah utang pokok dan bunganya.
Dalam upaya hukum luar biasa, yaitu Peninjauan Kembali (PK). Majelis hakim PK hanya menyatakan bahwa ”Keberatan para pemohon PK tidak dapat dibenarkanb karena tidak ternyata ada kesalahan berat dalam penerapan hukum yang dilakukan Majelis Hakim Kasasi”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Majelis Hakim PK sependapat dengan Majelis Hakim Kasasi yang mengartikan utang secara sempit.

1.1.2.      Pengertian Utang Menurut Pakar Hukum
Sehubungan pengertian utang di dalam Undang-undang kepailitan, Menurut Kartini Muljadi pengertian utang adalah setiap kewajiban debitor kepada setiap kreditornya baik untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu.[4] Kartini Muljadi memberikan beberapa contoh kewajiban yang timbul dari perjanjian (tercakup dalam pengertian utang dalam UU No. 4 Tahun 1998) adalah:
1.  Kewajiban debitor untuk membayar bunga dan utang pokok kepada pihak yang meminjamkan;
2.      Kewajiban penjual untuk menyerahkan mobil kepada pembeli mobil tersebut;
3.      Kewajiban pembangun untuk membuat rumah dan menyerahkannya kepada pembeli rumah;
4.      Kewajiban penjamin (guarantor) untuk menjamin pembayaran kembali pinjaman debitor kepada kreditor.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Kartini Muljadi menganut pengertian utang dalam arti luas.  

1.2.   Pengertian Debitor dan Kreditor

1.2.1.      Pengertian Debitor dan Kreditor Menurut UUK-PKPU
Menurut Pasal 1 angka 1 UUK-PKPU,  yang dimaksud dengan debitor adalah:
”debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan”.
           
     Sementara yang dimaksud dengan kredior diberikan pengertiannya dalam Pasal 1 angka 2 sebagai berikut:
”kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan”.

Menurut Pasal 1235 KUH Perdata dihubungkan dengan Pasal 1234 KUH Perdata, dan Pasal 1239 KUH Perdata, si berutang adalah pihak yang wajib memberikan, berbuat, atau tidak berbuat sesuatu berkenaan dengan perikatannya, baik perikatan itu timbul karena perjanjian maupun karena undang-undang. Dalam pustaka hukum dan kehidupan sehari-hari, schuldenaar disebut debitor, sedangkan schuldeiser disebut kreditor.

1.3.    Debitor yang Dapat Dinyatakan Pailit
Objek di dalam Undang-undang kepailitan adalah debitor, yaitu debitor yang tidak membayar utang-utangnya kepada para kreditornya.

1.3.1.      Kepailitan Perorangan dan Badan hukum
UUK-PKPU tidak membedakan aturan bagi kepailitan debitor yang merupakan badan hukum maupun orang perorangan (individu). Misalnya dari pasal 3 ayat (5) UUK-PKPU yang mengemukakan bahwa ”Dalam hal debitor merupakan badan hukum, maka kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam Anggaran Dasarnya”. Pasal 4 ayat (1) UUK-PKPU mengemukakan bahwa ”Dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh debitor yang menikah, permohonan hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau istri”. Kepailitan bukan saja dapat diajukan terhadap Badan Usaha Milik Swasta atau badan-badan hukum swasta tetapi dapat juga diajukan teerhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

1.3.2.      Kepailitan Holding Company
Permohonan pernyataan pailit dapat diajukan terhadap holding company, oleh karena suatu holding company adalah suatu perusahaan.

1.3.3.      Kepailitan atas Beberapa Jenis Perusahaan
Undang-undang kepailitan membedakan antara debitor yang berbentuk bank, perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, perusahaan asuransi, perusahaan re-asuransi, dana pensiun, dan BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik serta debitor yang bukan perusahaan-perusahaan tersebut.

1.3.4.      Kepailitan Penjamin
Berkaitan dengan pemberian guarantee yang biasanya diminta oleh perbankan dalam pemberian kredit bank, dengan undang-undang ini seorang penjamin atau penanggung yang memberikan personal guarantee atau perusahaan yang memberikan corporate guarantee dapat dimohonkan untuk dinyatakan pailit.
1.3.5.      Kepailitan Orang Mati
Sesuai dengan ketentuan Pasal 207 UUK-PKPU, harta kekayaan orang yang meninggal harus dinyatakan dalam keadaan pailit apabila dua atau beberapa kreditor mengajukan permohonan untuk itu dan secara singkat dapat membuktikan bahwa:
1.      Utang orang yang meninggal, semasa hidupnya tidak dibayar lunas; atau
2.      Pada saat meninggalnya orang tersebut, harta peninggalannya tidak cukup untuk membayar utangnya.
Menurut ketentuan Pasal 208 ayat (1) UUK-PKPU, permohonan sebagaiamana dimaksud dalam Pasal 207 UUK-PKPU harus diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal terakhir debitor meninggal. Dan menurut Pasal 210 UUK-PKPU, permohonan harus diajukan paling lambat 90 hari setelah ia meninggal.
Menurut Pasal 211 UUK-PKPU, ketentuan mengenai Pasal 144-177, tidak berlaku terhadap kepailitan harta peninggalan, kecuali apabila warisannya telah diterima oleh ahli waris secara murni.



[1] http://sesukakita.wordpress.com/tag/pengertian-utang-dalam-kepailitan/
[2] UU RI No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Membayar Utang, (Bandung: Citra Umbara, 2005), hal 5
[3] Sutan Remy Sjahdeini, HUKUM KEPAILITAN “Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan”, (Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 2010), hal. 72
[4] Ibid, hal. 89

Tidak ada komentar:

Posting Komentar