1.
PENGERTIAN UTANG, KREDITOR, DAN DEBITOR DALAM KEPAILITAN
1.1.
Pengertian Utang
Pengertian
utang pada dasarnya dapat diartikan secara luas maupun secara sempit.
Pengertian utang dalam arti sempit adalah suatu kewajiban yang timbul hanya dari adanya perjanjian utang-piutang sedangkan pengertian utang dalam arti luas adalah seluruh kewajiban yang ada dalam suatu perikatan baik yang timbul karena undang-undang maupun yang timbul karena adanya perjanjian umpamanya antara lain kewajiban menyerahkan sesuatu, kewajiban untuk berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu.[1]
Pengertian utang dalam arti sempit adalah suatu kewajiban yang timbul hanya dari adanya perjanjian utang-piutang sedangkan pengertian utang dalam arti luas adalah seluruh kewajiban yang ada dalam suatu perikatan baik yang timbul karena undang-undang maupun yang timbul karena adanya perjanjian umpamanya antara lain kewajiban menyerahkan sesuatu, kewajiban untuk berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu.[1]
Namun demikian
hal ini diharapkan tidak terjadi lagi karena dalam Undang-Undang Kepailitan
yang baru, yaitu UUK No. 37 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (6) telah diberikan
definisi yang tegas terhadap pengertian utang, yaitu:
”kewajiban yang
dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang
Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul
dikemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau Undang-Undang
dan wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada
kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor”.[2]
Pengertian
utang tersebut sebelumnya tidak terdapat dalam UU No. 4 Tahun 1998, yaitu undang-undang
sebelum berlakunya UU No. 37 Tahun 2004. Namun, dalam UU No. 4 Tahun 1998 hanya
meneyebutkan bahwa ”Utang yang tidak dibayar debitor sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan ini, adalah utang pokok atau bunganya”. Oleh karena undang-undang
tersebut tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan utang, maka timbullah
silang selisih mengenai apa saja yang dimaksud dengan utang.
Ketiadaan pengertian atau definisi yang
diberikan oleh UU No. 4 Tahun 1998 mengenai apa yang dimaksudkan dengan utang
telah mengakibatkan hal-hal sebagai berikut:[3]
1.
Menimbulkan
ketidakpastian hukum
2.
Mengingat
integritas pengadilan yang belum baik pada saat ini, tidak diberikannya oleh
Undang-undang tentang pengertian utang itu telah memberikan peluang bagi
praktik-praktik korupsi dan kolusi oleh hakim dan pengacara.
Dengan
dicantumkannya pengertian utang dalam UU No. 37 Tahun 2004 itu diharapkan tidak
lagi akan terjadi perbedaan pendapat mengenai ruang lingkup pengertian utang
itu.
1.1.1.
Pengertian
Utang Menurut Pengadilan
Mahkamah Agung
tidak konsisten dengan pendiriannya mengenai pengertian utang sebagaimana
dimaksud UU No. 4 Tahun 1998. Adakalanya MA RI mengartikan utang dalam
pengertian yang sempit, namun pada saat lain dalam pengertian luas. Dibawah ini
dikemukakan salah satu contoh kasus yang telah diputus oleh pengadilan yang
menggambarkan mengenai bagaimana simpang-siurnya dan berbeda-bedanya pendapat
mengenai pengertian utang berkaitan dengan UU No. 4 Tahun 1998.
1. Putusan MA No. 03K/N/1998
Kasus yang diputuskan dalam perkara
ini menyangkut perjanjian pengikatan jual-beli dengan ciciclan rumah susun Golf
Modern antara Drs. Husein Sani dan Djohan Subekti (sebagai pembeli) dengan PT.
Modern Land Realty (sebagai perusahaan pengembang). PT. Modern Land telah gagal
dalam melakukan penyerahan unit rumah susun yang dipesan pembeli dan juga gagal
mengembalikan uang pembayaran yang telah diterima dari pembeli.
Majelis Hakim Pengadilan Niaga (Judex
Factie) berpendapat bahwa permohonan pernyataan pailit yang diajukan
pemohon pailit tidak timbul dari konstruksi hukum pinjam-meminjam uang,
melainkan berdasarkan utang yang timbul dari pengikatan jual-beli rumah susun,
namun karena PT. Modern Land belum mengembalikan uang pembayaran yang
telah diterima dari pembeli maka harus dinyatakan telah mempunyai utang kepada
masing-masing pemohon pailit.
Majelis Hakim
Pengadilan Kasasi tidak sependapat dengan Majelis Hakim Pengadilan Niaga,
khususnya pendapat dan sikap Judex Factie yang telah mengartikan utang
secara luas. Menurut Majelis Hakim Pengadilan Kasasi objek perkara kepailitannya
adalah hubungan hukum pengikatan jual beli sehingga merupakan perikatan antara
produsen dengan konsumen dan utang yang tidak dibayar oleh debitor sebagaimana
dimaksudkan dalam ketentuan ini adalah utang pokok dan bunganya.
Dalam upaya
hukum luar biasa, yaitu Peninjauan Kembali (PK). Majelis hakim PK hanya
menyatakan bahwa ”Keberatan para pemohon PK tidak dapat dibenarkanb karena
tidak ternyata ada kesalahan berat dalam penerapan hukum yang dilakukan Majelis
Hakim Kasasi”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Majelis Hakim PK
sependapat dengan Majelis Hakim Kasasi yang mengartikan utang secara sempit.
1.1.2.
Pengertian
Utang Menurut Pakar Hukum
Sehubungan
pengertian utang di dalam Undang-undang kepailitan, Menurut Kartini Muljadi
pengertian utang adalah setiap kewajiban debitor kepada setiap kreditornya baik
untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu.[4]
Kartini Muljadi memberikan beberapa contoh kewajiban yang timbul dari
perjanjian (tercakup dalam pengertian utang dalam UU No. 4 Tahun 1998) adalah:
1. Kewajiban debitor untuk membayar bunga dan
utang pokok kepada pihak yang meminjamkan;
2.
Kewajiban
penjual untuk menyerahkan mobil kepada pembeli mobil tersebut;
3.
Kewajiban
pembangun untuk membuat rumah dan menyerahkannya kepada pembeli rumah;
4.
Kewajiban
penjamin (guarantor) untuk menjamin pembayaran kembali pinjaman debitor
kepada kreditor.
Dari uraian
diatas dapat disimpulkan bahwa Kartini Muljadi menganut pengertian utang dalam
arti luas.
1.2.
Pengertian
Debitor dan Kreditor
1.2.1.
Pengertian
Debitor dan Kreditor Menurut UUK-PKPU
Menurut Pasal 1
angka 1 UUK-PKPU, yang dimaksud dengan
debitor adalah:
”debitor adalah
orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang-undang yang
pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan”.
Sementara yang dimaksud dengan kredior
diberikan pengertiannya dalam Pasal 1 angka 2 sebagai berikut:
”kreditor
adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-undang yang
dapat ditagih di muka pengadilan”.
Menurut Pasal 1235 KUH Perdata dihubungkan
dengan Pasal 1234 KUH Perdata, dan Pasal 1239 KUH Perdata, si berutang adalah
pihak yang wajib memberikan, berbuat, atau tidak berbuat sesuatu berkenaan
dengan perikatannya, baik perikatan itu timbul karena perjanjian maupun karena
undang-undang. Dalam pustaka hukum dan kehidupan sehari-hari, schuldenaar
disebut debitor, sedangkan schuldeiser disebut kreditor.
1.3. Debitor yang Dapat Dinyatakan Pailit
Objek di dalam
Undang-undang kepailitan adalah debitor, yaitu debitor yang tidak membayar utang-utangnya
kepada para kreditornya.
1.3.1. Kepailitan
Perorangan dan Badan hukum
UUK-PKPU tidak membedakan aturan bagi kepailitan debitor
yang merupakan badan hukum maupun orang perorangan (individu). Misalnya dari
pasal 3 ayat (5) UUK-PKPU yang mengemukakan bahwa ”Dalam hal debitor merupakan
badan hukum, maka kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam Anggaran
Dasarnya”. Pasal 4 ayat (1) UUK-PKPU mengemukakan bahwa ”Dalam hal permohonan
pernyataan pailit diajukan oleh debitor yang menikah, permohonan hanya dapat
diajukan atas persetujuan suami atau istri”. Kepailitan bukan saja dapat diajukan
terhadap Badan Usaha Milik Swasta atau badan-badan hukum swasta tetapi dapat
juga diajukan teerhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
1.3.2. Kepailitan Holding
Company
Permohonan
pernyataan pailit dapat diajukan terhadap holding company, oleh karena
suatu holding company adalah suatu perusahaan.
1.3.3. Kepailitan atas
Beberapa Jenis Perusahaan
Undang-undang kepailitan membedakan antara debitor yang
berbentuk bank, perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan,
lembaga penyimpanan dan penyelesaian, perusahaan asuransi, perusahaan
re-asuransi, dana pensiun, dan BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik
serta debitor yang bukan perusahaan-perusahaan tersebut.
1.3.4. Kepailitan
Penjamin
Berkaitan dengan pemberian guarantee yang biasanya
diminta oleh perbankan dalam pemberian kredit bank, dengan undang-undang ini
seorang penjamin atau penanggung yang memberikan personal guarantee atau
perusahaan yang memberikan corporate guarantee dapat dimohonkan untuk
dinyatakan pailit.
1.3.5. Kepailitan
Orang Mati
Sesuai dengan ketentuan Pasal 207 UUK-PKPU, harta
kekayaan orang yang meninggal harus dinyatakan dalam keadaan pailit apabila dua
atau beberapa kreditor mengajukan permohonan untuk itu dan secara singkat dapat
membuktikan bahwa:
1. Utang orang
yang meninggal, semasa hidupnya tidak dibayar lunas; atau
2. Pada saat
meninggalnya orang tersebut, harta peninggalannya tidak cukup untuk membayar
utangnya.
Menurut ketentuan Pasal 208 ayat (1) UUK-PKPU, permohonan
sebagaiamana dimaksud dalam Pasal 207 UUK-PKPU harus diajukan kepada pengadilan
yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal terakhir debitor meninggal. Dan
menurut Pasal 210 UUK-PKPU, permohonan harus diajukan paling lambat 90 hari
setelah ia meninggal.
Menurut Pasal
211 UUK-PKPU, ketentuan mengenai Pasal 144-177, tidak berlaku terhadap
kepailitan harta peninggalan, kecuali apabila warisannya telah diterima oleh
ahli waris secara murni.
[1]
http://sesukakita.wordpress.com/tag/pengertian-utang-dalam-kepailitan/
[2]
UU RI No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Membayar
Utang, (Bandung: Citra Umbara, 2005), hal 5
[3] Sutan Remy Sjahdeini, HUKUM KEPAILITAN
“Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan”, (Jakarta, Pustaka
Utama Grafiti, 2010), hal. 72
[4]
Ibid, hal. 89
Tidak ada komentar:
Posting Komentar