Minggu, 18 November 2012

Makalah "Efektivitas Pemberantasan Korupsi di Indonesia"



BAB I
1.      Pendahuluan
Korupsi merupakan suatu masalah yang tak kunjung habis di bahas di negara Indonesia, kondisi ekonomi negara yang saat ini tidak merata diseluruh masyarakat semakin tidak stabil ditambah dengan meningkatnya dan terungkapnya kasus korupsi yang dapat merugikan negara, apabila masalah ini dibiarkan akan dapat mengakibatkan negara Indonesia hanya akan menunggu detik-detik kehancuran. Dimana dasar ideologi kita Pancasila dan Konstitusi negara Undang-Undang Dasar 1945 tidak dapat membentengi tindakan-tindakan penyimpangan yang dilakukan oleh aparatur negara. Ini disebabkan lemahnya rasa nasionalisme dan moralitas bangsa.
Korupsi di Indonesia berkembang secara sistemik, bagi golongan tertentu korupsi bukan lagi merupakan suatu pelanggaran hukum tetapi suatu kebiasaan yang mudah dan terbiasa untuk dilakukan. Hal ini disebabkan lemahnya sistem penegakkan hukum tehadap pelaku tersangka kasus korupsi. Pemerintah disini dituntut berperan aktif dan kompeten serta amanah dan bertanggung jawab agar regulasi yang telah dibentuk dan dirumuskan dalam undang-undang dapat efektif sehingga mampu meminimalisir korupsi di Indonesia.
Dalam penelitian dikatakan bahwa indonesia termasuk salah satu negara terbesar terlibat dalam kasus korupsi. Perkembangan korupsi juga mendorong agar di tegakkanya hukum pemberantasan korupsi. Tetapi hingga kini pemberantasan korupsi juga belum ada kepastian, penyelesaian yang jelas dan tuntas, banyak sekali kasus korupsi yang belum di periksa dan di adili. Ini mencerminkan lambat dan lemahnya proses peradilan di Indonesia dalam menangani kasus korupsi.
Korupsi bukan suatu kebiasaan yang di anggap sebagai cultur atau budaya. Tetapi suatu kebiasaan buruk yang dilakukan oleh sekelompok orang atau corporation yang mempunyai kekuasaan atau wewenang sebagai aparatur negara. Kebiasaan buruk ini dapat merugikan keuangan negara dan apabila terbukti maka dapat menimbulkan  akibat hukum yang berupa sanksi baik secara administrasi ataupun sanksi penjara sesuai dalam KUHP pasal 10. Presiden Susilo Bambang Yudoyono telah membentuk lembaga khusus untuk mengawasi dan memberantas korupsi. Lembaga ini hanya bersifat sementara. Tujuan pemerintah membentuk lembaga khusus adalah menciptakan negara yang bebas atau anti korupsi sehingga mencapai kehidupan sejahtera adil dan makmur.
Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga yang akan berkoordinasi dengan kejaksaan, kepolisian dan lembaga lain yang terkait dalam pemberantasan korupsi juga lapisan masyarakat. Dibentuknya lembaga yang berwenang dalam kasus korupsi adalah untuk mengefektifitaskan hukum dan sanksi yang dapat diterapkan bagi para pihak yang melakukan pelanggaran atau penyimpangan sehingga dapat menimbulkan kerugian negara. Hal inilah yang akan penulis coba mengkaji mengenai efektivitas memberantas kasus korupsi .

 
BAB II
1.      Pengertian, Asal Kata Korupsi, Ciri-Ciri Korupsi dan Motivasi Tindakan Korupsi

1.1.   Asal kata Korupsi
Korupsi berasal dari bahasa latin “corruptio” atau “corruptus”. Coruptio berasal dari kata “corrumpere”, suatu kata latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa yaitucorruption, corrupt; Perancis yaitu corruption; dan Belanda yaitu corruptie, korruptie. Dari bahasa Belanda inilah kata tersebut menurun ke bahasa Indonesia, yaitu Korupsi. (Andi Hamzah, 2005:4)

1.2.   Arti kata Korupsi
Korup memiliki arti: busuk; palsu; suap (Kamus Bahasa Indonesia, 1991) buruk; rusak; suka menerima uang sogok; menyelewengkan uang/barang milik perusahaan atau negara; menerima uang dengan menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi (Kamus Hukum, 2002).
Korupsi bisa mengandung berarti kebejatan, ketidakjujuran, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian (The Lexicon Webster Dictionary, 1978) penyuapan, pemalsuan (Kamus Bahasa Indonesia,1991) penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan sebagai tempat seseorang bekerja untuk keuntungan pribadi atau orang lain (Kamus Hukum, 2002).[1]

1.3.   Pemahaman Korupsi berdasarkan hukum yang berlaku
Berdasarkan pemahaman dari pasal 2 UU No. 31 Th. 1999 sebagaimana yang diubah dengan UU No.20 Th 2001, Korupsi adalah perbuatan secara melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri/orang lain (perseorangan atau korporasi) yang (memberikan dampak) dapat merugikan keuangan/perekonomian negara.
Sehingga unsur-unsur yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan dapat dianggap sebagai korupsi adalah :
(1) secara melawan hukum;
(2) memperkaya diri sendiri/ orang lain; dan
(3) “dapat” merugikan keuangan/ perekonomian negara.

Secara melawan hukum artinya meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan (melawan hukum formil), namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena dinilai tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat (melawan hukum materiil), maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Kata “dapat” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi telah dianggap ada apabila unsur-unsur perbuatan yang telah dirumuskan terpenuhi, bukan dengan timbul akibat.[2]

Di Indonesia, korupsi diartikan sebagi suatu penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan) untuk kepentingan pribadi atau kelompok . Selain itu ada pula pengertian korupsi menurut beberapa ahli diantaranya[3] :

1.      Huntington (1968) : korupsi adalah perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi.
2.      Eep Saefulloh Fatah (1998) : korupsi adalah penyelewengan uang negara untuk kepentingan pribadi ataupun keluarga yang melampaui batas-batas yang dibuat oleh hukum.
3.      Kartono (1983) : korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara.
4.      Mochtar Mas’oed (1994) : korupsi adalah transaksi dimana satu pihak memberikan sesuatu yang berharga untuk memperoleh imbalan berupa pengaruh atas keputusan-keputusan pemerintah.

Rumusan Korupsi :
Korupsi =  (secara melawan hukum + mengambil hak orang lain + tujuan memiliki atau  mendapat keuntungan) + ada penyalahgunaan kewenangan/ kepercayaan + menimbulkan kerugian negara;
= (pencurian + penyalahgunaan kewenangan/ kepercayaan) + kerugian negara;
= penggelapan + kerugian negara.

1.4.   Ciri-ciri Korupsi (*Alatas, 1983)

a.       dilakukan lebih dari satu orang;
b.      merahasiakan motif; ada keuntungan yang ingin diraih;
c.       berhubungan dengan kekuasaan/kewenangan tertentu;
d.      berlindung dibalik pembenaran hukum
e.       melanggar kaidah kejujuran dan norma hukum;
f.       mengkhianati kepercayaan.[4]

1.5.   Motivasi Korupsi (Abdullah Hehamahua, 2005)
Dilihat dari motivasi terjadinya, korupsi dapat dibedakan menjadi beberapa macam karena adanya suatu alasan tertentu :
(a) Korupsi karena kebutuhan
(b) Korupsi karena ada peluang
(c) Korupsi karena ingin memperkaya diri sendiri
(d) Korupsi karena ingin menjatuhkan pemerintahan
(e) Korupsi karena ingin menguasai negara.

1.6.   Macam-Macam Bentuk Korupsi
Menurut penuturan dari pasal-pasal yang terdapat pada UU no.31 th.1999 jo UU no.20 th.2001, pengklasifikasian macam-macam bentuk korupsi secara garis besar adalah sebagai berikut:
(1) Korupsi yang terkait dengan kerugian keuangan negara
(2) Korupsi yang terkait dengan suap-menyuap
(3) Korupsi yang terkait dengan penggelapan dalam jabatan
(4) Korupsi yang terkait dengan perbuatan pemerasan
(5) Korupsi yang terkait dengan suatu perbuatan curang
(6)   Korupsi yang terkait dengan disertai adanya benturan kepentingan dalam hal pengadaan
(7) Korupsi yang terkait dengan Gratifikasi.[5]

2.      Penyebab Korupsi di Indonesia
Di Indonesia tindak pidana korupsi seakan menjadi hal yang biasa untuk dilakukan terutama dikalangan pejabat. Para pejabat seakan tidak mempunyai rasa malu untuk melakukan tindakan yang merugikan negara ini. Hal ini menimbulkan suatu pertanyaan, apakah penyebab terjadinya korupsi di Indonesia. Menurut penasihat KPK, Abdullah Hehamahua seperti yang tertulis di buku yang berjudul Memberantas Korupsi Bersama KPK, setidaknya ada 8 penyebab terjadinya korupsi di Indonesia:

1.      Sistem Penyelenggaraan Negara yang Keliru
Sebagai negara yang baru berkembang, seharusnya prioritas pembangunan di bidang pendidikan. Tetapi selama puluhan tahun, mulai orde lama, orde baru, hingga reformasi, pembangunan hanya difokuskan di bidang ekonomi. Padahal setiap negara yang baru merdeka, masih terbatas dalam memiliki SDM, uang, manajemen, dan teknologi. Sehingga konsekuensinya semua didatangkan dari luar negeri yang pada gilirannya menghasilkan penyebab korupsi.
2.      Kompensasi PNS yang Rendah
Negara yang baru merdeka tidak memiliki uang yang cukup untuk membayar kompensasi yang tinggi kepada pegawainya. Apalagi Indonesia yang lebih memprioritaskan bidang ekonomi membuat secara fisik dan kultural menmbulkan pola konsumerisme, sehingga 90% PNS melakukan KKN.
3.      Pejabat yang Serakah
Pola hidup konsumerisme yang dilahirkan oleh sistem pembangunan seperti di atas mendorong pejabat untuk menjadi kaya secara instant. Hal ini menyebabkan lahirnya sikap serakah dimana pejabat menyalahgunakan wewenang dan jabatannya, seperti melakukan mark up proyek-proyek pembangunan.
4.      Law Enforcement Tidak Berjalan
Para pejabat yang serakah dan PNS  yang KKN karena gaji yang tidak cukup, maka boleh dibilang penegakan hukum tidak berjalan hampir diseluruh lini kehidupan, baik di instansi pemerintahan maupun lembaga kemasyarakatan karena segalanya diukur dengan uang. Hal ini juga menimbulkan kata-kata plesetan seperti, KUHP (Kasih Uang Habis Perkara) atau Ketuhanan Yang Maha Esa (Keuangan Yang Maha Kuasa).
5.      Hukuman yang Ringan Terhadap koruptor
Adanya Law Enforcement tidak berjalan dengan semestinya, dimana aparat penegak hukum bisa dibayar. Maka, hukuman yang dijatuhkan kepada para koruptor sangat ringan sehingga tidak menimbulkan efek jera.
6.      Pengawasan Yang Tidak Efektif
Dalam sistem manajemen yang modern selalu ada instrumen yang disebut internal kontrol yang bersifat in build dalam setiap unit kerja. Sehingga sekecil apapun penyimpangan akan terdeteksi sejak dini dan secara otomatis pula dilakukan perbaikan. Tetapi internal kontrol yang ada disetiap unit sudah tidak lagi berjalan dengan semestinya karena pejabat atau pegawai terkait bisa melakukan tindakan korupsi.
7.      Tidak Ada Keteladanan Pemimpin
Ketika resesi ekonomi 1997, keadaan perekonomian Indonesia sedikit lebih baik daripada Thailand. Namun pemimpin Thailand memberi contoh kepada rakyatnya dalam pola hidup sederhana. Sehingga lahir dukungan moral dan material dari masyarakat dan pengusaha. Maka dalam wktu singkat Thailand telah mengalami recovery ekonominya. Di Indonesia tidak ada pemimpin yang bisa dijadikan teladan sehingga kehidupan berbangsa dan bernegara mendekati jurang kehancuran.
8.      Budaya Masyarakat yang Kondusif untuk KKN
Korupsi yang ada di Indonesia tidak hanya terpusat pada pejabat negara saja melainkan sudah meluas hingga ke masyarakat. Hal ini bisa dicontohkan pada saat pengurusan KTP, SIM, STNK, maupun saat melamar kerja. Tindakan masyarakat ini merupakan pencerminan yang dilakukan oleh pejabat, elit politik, tokoh masyarakat, pemuka agama, yang oleh masyarakat diyakini sebagai perbuatan yang tidak salam.[6]

3.      Pemberantasan Korupsi
Pemberantasan Korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mncegah dan menanggulangi korupsi (melalui upaya koordinasi, supervisi, monitoring, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan) dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
      Berdasarkan uraian tersebut dapat kita pahami bahwa dalam upaya pemberantasan korupsi terdapat 3 unsur pembentuk, yaitu pencegahan (antikorup/preventif), penindakan (penanggulangan/ kontrakorupsi/ represif) dan peran serta dari masyarakat.

Rumus :
Pemberantasan Korupsi = Pencegahan + Penindakan + Peran Serta Masyarakat

4.      Penanganan Perkara Korupsi
Yang dimaksud dengan penanganan perkara korupsi adalah penyelidikan, penyidikan, penuntutandan pemeriksaan perkara korupsi yang dilakukan berdasarkan ketentuan KUHAP (UU no.8 th 1981), UU no.14 th 1985 tentang MA dan UU no.31 th 1999 jo UU no.20 th 2001.
Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan perkara korupsi harus didahulukan dari perkara lain supaya cepat selesai dan tanpa perlu proses pemyelesaian yang panjang, lama dan berbelit.[7]

4.1.   Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
4.1.1.      Definisi KPK dan Tujuan Berdirinya
KPK merupakan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas (meliputi kewenangan dalam hal penyelidikan, penyidikan, penuntutan) dan bersifat independen (mandiri dan bebas dari kekuasaan manapun, netral atau tidak memiliki keberpihakan pada seseorang; instansi; ataupun badan usaha tertentu). Tujuan KPK didirikan ialah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.[8]
KPK dibentuk dan berkedudukan di ibukota negara, dan jika dipandang perlu sesuai dengan kebutuhan masyarakat, KPK dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi. Sumber keuangan KPK berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan bantuan pihak lain.[9] Dalam struktur organisasinya, KPK terdiri dari Pimpinan (Ketua dan 4 Wakil Ketua). Tim Penasehat (4 Anggota) dan Pegawai KPK.
4.1.2.      Visi dan Misi KPK
Visi KPK menjadi lembaga yang mampu mewujudkan Indonesia yang bebas dari segala macam bentuk korupsi, diintegrasikan dengan semangat Misi-nya sebagai pendobrak dan pendorong Indonesia yang bebas dari korupsi serta menjadi pemimpin dan penggerak perubahan demi mewujudkan Bangsa Indonesia yang anti korupsi .
4.1.3.      Asas KPK
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, KPK bergerak dengan berlandaskan pada 5 (lima) Asas yang diantaranya adalah:
1.      Asas Kepastian Hukum;
2.      Asas Keterbukaan;
3.      Asas Akuntabilitas;
4.      Asas Kepentingan Umum;
5.      Asas Proporsionalitas.

4.1.4.      Tugas Pokok dan Fungsi KPK
Disamping itu KPK mempunyai Tugas Pokok dan Fungsi (sebagaimana diatur dalam pasal 6 sampai dengan pasal 14 Undang-undang nomor 30 tahun 2002) sebagai berikut :
§  Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi
§  Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi
§  Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi
§  Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi
§  Melakukan monitoring terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.[10]
4.1.5.      Kewenangan KPK
Sebagaimana diuraikan diatas, dalam konteks yang lebih luas KPK juga memiliki beberapa Kewenangan seperti lembaga-lembaga independen khusus lainnya, yang diantaranya adalah:[11]
1)      Koordinasi : Mengkoordinasikan segala bentuk kegiatan penindakan TPK; menetapkan sistem pelaporan dan meminta informasi terkait kegiatan dalam hal pemberantasan TPK; melaksanakan pertemuan dengan instansi lain yang berhubungan dengan pemberantasan TPK; dan meminta laporan instansi lain tentang pencegahan TPK.
2)      Supervisi : Melakukan pengawasan, penelitian, ataupun penelaahan terhadap instansi yang bertugas melakukan pemberantasan TPK dan pelayanan publik; mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku TPK yang sedang ditangani oleh kejaksaan dan kepolisian.
3)      Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan : Menyadap dan merekam pembicaraan; memerintahkan kepada instansi terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri; meminta keterangan kepada BANK atau Lembaga Keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa; memerintahkan kepada BANK atau Lembaga Keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga sebagai hasil dari korupsi; memerintahkan kepada atasan tersangka untuk memberhentikan sementara (masa kerja, kedudukan atau jabatan) tersangka; meminta data kekayaan atau perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi terkait; menghentikan sementara suatu transaksi, perjanjian lainnya, atau pencabutan sementara perizinan yang dilakukan atau dimiliki tersangka atau terdakwa; meminta bantuan interpol; dan meminta bantuan kepolisian atau instansi lain untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara TPK.
4)      Pencegahan : Melakukan registrasi (pendaftaran) dan pemeriksaan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara); menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi; menyelenggarakan program pendidikan anti korupsi; merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan TPK; melakukan kampanye anti korupsi kepada masyarakat; melakukan kerjasama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan TPK.
5)      Monitor : Melakukan pengkajian sistem administrasi di lembaga negara dan pemerintah; memberikan saran kepada pimpinan lembaga tersebut untuk melakukan perubahan jika sistem administrasi di lembaga tersebut berpotensi korupsi; melaporkan kepada presiden, DPR, dan BPK jika saran KPK tidak diindahkan.
4.1.6.      Pertanggung Jawaban KPK Terhadap Publik
KPK bertanggung jawab kepada masyarakat atas pelaksanaan tugasnya, dengan cara :
a)      Melakukan audit terhadap kinerja dan pertanggung jawaban keuangan;
b)      Menerbitkan dan menyampaikan Laporan Tahunan kepada Presiden, DPR, BPK; dan
c)      Membuka akses informasi kepada masyarakat.
4.1.7.      TPK Yang Dapat Ditangani KPK
Jika kita tarik lebih khusus kepada permasalahan tindak pidana korupsi, ada beberapa poin menarik yang dapat kita jabarkan satu persatu tentang TPK apa saja yang dapat ditangani oleh KPK itu sendiri. KPK sebagai badan khusus yang menangani kasus-kasus korupsi memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan TPK yang bersifat:
o   Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum atau penyelenggara negara;
o   Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
o   Menyangkut kerugian keuangan negara dengan besarnya nominal paling sedikit Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah)
Menurut sumber lain yang kami baca, KPK juga benar-benar harus difokuskan sebagai extraordinary atau superbody dalam memberantas korupsi. Adapun yang menjadi fokus dalam pemberantasan korupsi antara lain:[12]
1.      Kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) dengan jumlah uang kurang lebih Rp 650 triliun dan penyelewengan dana KLBI (Kredit Likuiditas Bank Indonesia) Bank BUMN dengan jumlah Rp 283 triliun, serta permasalahan bailout yang diberikan kepada Bank Century sebesar 6,7 triliun yang belum tuntas hingga saat ini.
2.      Uang orang-orang Indonesia yang diduga hasil korupsi yang berada di Singapura yang berjumlah Rp 800 triliun, sebagaimana hasil survei Merryll Lynch dan Capgemini pada tahun 2006.
3.      Sektor pajak menunjukan: wajib pajak yang mempunyai NPWP 6 juta orang, wajib pajak yang melapor 3 juta orang, yang membayar dengan mestinya 1,5 juta orang. Penerimaan negara yang dhasilkan 400 triliun. Jadi, ke manakah potensi pajak yang lainnya?
4.      Para pejabat tinggi negara mulai dari presiden, wakil presiden, menteri-menteri, dll. Harus dilakukan klarifikasi karena setelah mereka menjabat rata-rata harta bendanya meningkat berkali lipat.
5.      Pemberantasan korupsi di kalangan hakim, jaksa, polisi, dan, advokat atau pada dunia mafia peradilan pada umumnya.
6.      Meninjau dan mewaspadai kontrak proyek-proyek besar pemerintahan atau swasta yang berpotensi merugikan negara, seperti ExonMobil, Freeport, dan Indosat.
7.      Membuka kembali SP3 para tokoh atau orang-orang yang berpengaruh di masa lalu.
8.      Mengkoreksi kembali kontrak-kontrak yang dilakukan BUMN yang jelas-jelas merugikan kepentingan kepentingan rakyat Indonesia karena tidak sejalan dengan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945.
9.      Perlunya kepastian hukum untuk Pengadilan Tipikor dalam hal ini mendesak Presiden RI untuk mengeluarkan Perpu bahkan dibuat tambahan ketentuannya bahwa Pengadilan Tipikor bersifat Final Inkracht van gewijsde (putusan hukum yang tetap). Jadi, tidak ada lagi banding, kasasi, dan PK dalam kasus tindak pidana korupsi. Dengan ini diharpakan ada psikologi massa yang akan direspon untuk terapi bagi para komunitas koruptor.
10.  Sebagai upaya untuk shock therapy bagi para koruptor, maka dapatlah diterapkan ide berikut: a) Para tahanan koruptor, tahanannya dibuatkan tersendiri di gedung atau tempat asal dia bekerja atau beraktivitas, misalnya anggota DPR dibuatkan di lobi Wisma Nusantara dengan model jeruji besi yang transparan sehingga terlihat jelas bagi siapapun yang lalu lalang menuju gedung DPR. Begitu juga presiden dan wapres dibuatkan kerangkeng di istana si presiden dan wapres koruptor. b) Para tahanan koruptor tersebut hendaknya pada hari Sabtu dan Minggu dikumpulkan di Monas dengan baju tahanan bertuliskan koruptor, kemudian diarak pawai berjalan sampai ke Blok M agar disaksikan oleh seluruh masyarakat. Kemudian bagi para keluarga koruptor yang akan membesuknya, maka ia harus mengenakan baju “keluarga koruptor”.
11.  Idealnya KPK memiliki rumah tahanan sendiri dan tempat penyitaan uang korupsi misalnya dengan diberi nama Balai Harta Negara (BHN) dan koordinasinya berada di bawah satu deputi yang ada di KPK. BHN tersebut berfungsi antara lain:
a.       Menerima dan menyimpang uang hasil korupsi yang dapat diselamatkan oleh kinerja KPK.
b.      Mengkoordinasikan dan mendistribusikan penggunaan uang tersebut dengan Departemen Keuangan dan beberapa departemen teknis lainnya untuk bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin bagi kesejahteraan rakyat.
c.       Berkoordinasi dengan Pimpiman KPK yang akan datang terhadap pilihan-pilihan kasus yang disepakati bersama yang intinya untuk output pertumbuhan ekonomi dan clean goverment sehingga bisa mewujudkan kesejahteraan rakyat dan stabilitas politik.
Khusus KPK, tidak boleh mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3) perkara korupsi. Penanganan perkara korupsi oleh KPK dibekali dengan kewenangan yang luas untuk mengatasi berbagai hambatan yang ada.
KPK dapat bekerjasama dengan lembaga penegak hukum negara lainnya berdasarkan perjanjian internasional atau peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
4.1.8.      Penyelidikan oleh KPK:
Apabila penyelidik KPK menemukan bukti permulaan yang cukup,
1.       Penyelidik melapor kepada KPK (dalam kurun waktu 7 hari)
2.       KPK melakukan penyidikan sendiri atau melimpahkan kepada penyidik polisi atau penyidik kejaksaan. Kepolisian atau kejaksaan wajib berkoordinasi dan melaporkan perkembangan penyidikan kepada KPK.
Namun lain halnya apabila penyelidik KPK tidak menemukan bukti permulaan yang cukup
1.       Penyelidik memberikan laporan kepada KPK; dan
2.       KPK menghentikan penyelidikan.
4.1.9.      Penyidikan oleh KPK:
1.       Berdasarkan bukti permulaan cukup, penyidik KPK dapat melakukan penyitaan terhadap alat bukti atau barang yang diduga terkait korupsi, tanpa seijin Ketua PN. Penyitaan ini disertai dengan berita acara penyitaan yang salinannya diberikan kepada tersangka atau keluarganya.
2.       Kepolisian dan Kejaksaan wajib memberitahukan penyidikan perkara korupsi yang mereka tangani kepada KPK, paling lambat 14 hari kerja sejak dimulainya penyidikan.
3.       Kepolisian dan Kejaksaan tidak berwenang lagi dan wajib menghentikan penyidikannya apabila KPK melakukan penyidikan pada perkara/kasus yang sama. 
4.1.10.  Penuntutan oleh KPK:
Setelah menerima berkas perkara dari penyidik, dalam 14 hari kerja Penuntut Umum KPK wajib melimpahkan berkas perkara kepada pengadilan.

4.2.   Badan-Badan Pemberantasan Korupsi Sebelum KPK[13]
4.2.1.      Tim Pemberantasan Korupsi (TIK)
Dasar Hukum  :          
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 dan Keputusan presiden Nomor 228 Tahun 1967
Tugas   :
            Membantu Pemerintah memberantas korupsi dengan tindakan preventif dan represif.
4.2.2.      Komite Anti Korupsi (KAK)
Dibentuk tahun 1970
4.2.3.      Komisi Empat
Dasar Hukum  :
Keputusan presiden Nomor 12 Tahun 1970
Tugas   :
1. Menghubungi pejabat atau instansi, swasta sipil atau militer.
            2. Memeriksa dokumen administrasi pemerintah dan swasta.
            3. Meminta bantuan aparatur pemerintah pusat dan daerah.
4.2.4.       Operasi Tertib (OPSTIB)
Dasar Hukum  :
Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1977
Tugas   :
1. Pembersihan pungutan liar di jalan-jalan, penertiban uang siluman di pelabuhan baik pungutan tidak resmi maupun resmi tetapi tidak sah menurut hukum.
2. Tahun 1977 diperluas sasaran penertiban, beralih dari jalan raya ke apart departemen dan daerah.
4.2.5.      Tim Pemberantasan Korupsi (TPK)
Dibentuk tahun 1982
Dasar Hukum  :          
TPK dihidupkan kembali tanpa diterbitkan Keputusan Presiden.
4.2.6.       Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN)
Dasar Hukum  :
1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
            2. Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1998
4.2.7.      Tim Gabngan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Dasar Hukum  :
1. Pasal 27 UU Nomor 31 Tahun 1999
            2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000
Tugas   :          
Mengungkap kasus-kasus korupsi yang sulit ditangani Kejaksaan Agung
4.2.8.      Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Dasar Hukum  :
Keputusan Presiden RI Nomor 11 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasann Tindak Pidana Korupsi
Tugas               :
1. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sesuai ketentuan hukum acara pidana yang berlaku terhadap kasus dan/atau indikasi tindak pidana korupsi.
2. Mencari dan menangkap para pelaku yang diduga keras melakukan tindak pidana korupsi, serta menelusuri dan mengamankan seluruh aset-asetnya dalam rangkan pengembalian keuangan negara secara optimal, yang berkaitan dengan tugas sebagaimana dimaksud huruf a.

Daftar Pustaka
Djaja, Ermansjah. 2008. Memberantas Korupsi Bersama KPK. Balikpapan: Sinar Grafika
Indonesia, Republik, Komisi Pemberantasan Korupsi, 2008. Memahami Untuk Membasmi, Jakarta: KPK RI
Maheka, Arya, 2008. Mengenali dan Memberantas KORUPSI, Jakarta: KPK RI
Sudjana, Eggi, 2011. SBY Antek Yahudi – AS “Suatu kondisional menuju revolusi”, Tangerang Selatan: Ummacom Press



[1] Arya Maheka, Mengenali dan Memberantas KORUPSI, (Jakarta, KPK RI, 2008), hlm 12
[2] Ibid, Hlm. 14
[3] http://denimarmos.blogspot.com/2011/09/korupsi.html
[4] Ibid, hlm 23
[5] Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi, Memahami Untuk Membasmi, (Jakarta, KPK RI, 2008), hal.32
[6] Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK, (Balikpapan: Sinar Grafika, 2008) hlm.51
[7] Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi, Memahami Untuk Membasmi, (Jakarta, KPK RI, 2008), hlm. 39
[8] Ibid, hlm. 52
[9] Maheka, Arya, Mengenali dan Memberantas KORUPSI, (Jakarta, KPK RI, 2009) hlm 66
[10] Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia: Bangun Negeri Tanpa Korupsi.
[11] Ibid.
[12] Eggi Sudjana, SBY Antek Yahudi – AS? “Suatu Kondisional Menuju Revolusi”, (Tangerang Selatan, Ummacom Press, 2011). Hlm 209
[13] Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK, (Balikpapan: Sinar Grafika, 2008) hlm. 326