Senin, 22 Juni 2015

Jangan Pernah Me-Monopoli Cinta



Jangan Pernah Me-Monopoli Cinta

Oleh:
Nanda Narendra Putra, SH

Kamu pernah selingkuh? Atau kamu malah yang diselingkuhi oleh pasangan? Jangan khawatir! Kamu ngga perlu mengasiani diri kalian sendiri. Dan juga bagi yang sering berselingkuh, kamu jangan lantas berbangga diri juga. Perlahan-lahan sebaiknya berubah deh!  

Cinta, bagi kaum remaja mungkin tidak seberapa dahsyat ’intrik-intrik’ yang terjadi sepanjang hubungan berlangsung. Walaupun begitu, jika pasangan remaja tak pintar-pintar mengatasi hambatan-hambatan saat menjalaninya, jadi runyam tentu masalahnya. Efeknya? Susah makan, sudah tentu; sekolah tidak fokus, itu pasti. Hal yang lebih dahsyat lagi adalah upaya bunuh diri!. Ehm! untuk yang terakhir itu tentu jangan sampai terjadi ya, saya berpesan sekali lagi jangan dilakukan loh ya!.

Biasanya hal yang paling sensitif yang ditakuti remaja, khususnya remaja wanita adalah isu perselingkuhan. Jangankan remaja, pasangan yang sudah ’resmi’ (membina hubungan rumah tangga,- red) saja bisa seketika membawa masalah perselingkuhan ini ke ’meja hijau’ di Pengadilan Agama (perceraian,- red). Tapi, hal itu tak bisa disamakan dengan remaja yang belum terikat hubungan yang legal dimata hukum. Remaja, paling-paling memilih untuk menyelesaikan hubungan itu atau kita kenal dengan istilah ‘Putus’.

Putus atau mengakhiri hubungan percintaan sebenarnya bisa dengan mudah dihindari. Caranya? Tentu banyak sekali!. Yang tersulit bukanlah memilih menggunakan cara penyelesaian yang mana, tetapi yang sulit adalah berpikir dan bersikap sejalan dengan cara yang kita pilih saat itu. Lagi-lagi soal komitmen menjalankan pilihan dalam menghadapi masalah. Sebagaimana kita tahu, saat masalah terjadi biasanya pikiran sulit sekali ’jernih’ berpikir, paling tidak yang sering dilakukan adalah saling menyalahkan satu dan yang lainnya. Tapi ingat! Hal itu justru membuat semakin ’keruh’.

Bagi orang, mungkin awam saat mendengar kata ‘Monopoli’. Namun, bagi yang punya latar belakang ekonomi dan hukum, istilah ini jadi ’makanan’ sehari-harinya. Tapi kamu ngga perlu khawatir, tulisan ini tak hanya untuk mereka. Tulisan ini saya persembahkan buat kalian semua, yang masih punya hati dan yang akan selalu jadi orang yang memberi kasih sayang untuk pasangannya.

Oke! Untuk memudahkan memahami tulisan ini, saya akan mendefinisikan apa maksud istilah ’Monopoli’*. Monopoli, yang saya maksud dalam tulisan ini mudahnya dipahami dengan ”Kalian sebagai pasangan (baik laki-laki atau perempuan) bersikap mendominasi terhadap pasangan kalian.”  

Pertama-tama, kebanyakan pasangan pernah merasakan ’hangatnya’ hubungan kalian, terutama diawal fase hubungan berjalan. Lambat laun, kehangatan yang dulu menghiasi indahnya romantika seolah menjadi oase di padang pasir, begitu jarang sekali muncul. Entah hal itu menjadi hal yang wajar atau tidak, kebanyakan orang menganggap hal itu lumrah terjadi. Saya? Mau tidak mau sepakat dengan anggapan umum itu. Toh, pengalaman saya menjalin hubungan juga merasakan hal itu kok.

Ngga ada yang salah dengan berkurangnya hal-hal yang intim dalam hubungan, terlebih karena waktu. Waktu seringkali ’dikambing-hitamkan’ oleh semua orang karena berkurangnya keintiman hubungan itu. Lalu? Apakah lantas kalian menyalahkan waktu? Sebaiknya jangan!. Hubungan yang baik itu, buat saya harus dilandasi dengan ’konsep tahu diri’. Kita harus ’tahu diri’ kenapa hubungan yang diawal begitu hangat lama-kelamaan menjadi biasa dan anyep.

”Hubungan yang baik itu, buat saya harus dilandasi dengan ’konsep tahu diri’,”

Oh ternyata... usut punya diusut, baru kita sadari bahwa hal yang ’terlalu’ itu tidak baik akibatnya bagi siapapun, khususnya bagi hubungan sepasang insan. Maksudnya? Bukankah selalu intim itu menjadi dambaan setiap pasangan? Lantas mengapa jika ’terlalu’ itu malah tidak baik?. Saya pun pada awalnya punya asumsi seperti itu, tapi setelah dipikir-pikir, ternyata yang ’terlalu’ itu juga tak selamanya baik, tapi juga tak semerta-merta buruk sih. Kuncinya, buat saya adalah pas.

Izinkan saya meng-analogikan itu ya. Anggaplah hubungan yang intim atau ’hangat’ itu sebagai gairah nafsu makan seseorang. Lalu, selama dua minggu, kamu setiap hari memakan pizza sebagai menu makanannya. Bagaimana perasaanmu kemudian, apakah merasa jenuh karena setiap hari selama dua minggu makan makanan yang sama? Jika ya!, itulah yang juga terjadi pada hubungan yang ’terlalu’ hangat atau intim. Lama-kelamaan, akan menjadi jenuh juga, bukan begitu?

Lalu bagaimana? Jawabnya tergantung! Iya, tergantung mau bagaimana pasangan itu menyikapi hubungannya yang semakin biasa itu. Kalau saya sih, lebih kepada bagaimana karakter pasangan kita ya. Makanya, penting juga kita memahami pasangan kita seutuhnya. Bagi yang belum mengenal secara ’dalam’ pasangannya, ya jangan khawatir. Mengenal pasangan seutuhnya kan juga butuh proses, tak bisa disamakan dengan belajar di kelas atau di tempat bimbingan belajar tentunya.

Lalu apa hubungannya monopoli dengan tulisan ini? Kok ngga nyambung ya kayanya? Iya, benar! Tulisan yang sudah kamu baca daritadi memang belum ada kaitannya dengan monopoli. Kalian sabar dulu ya!. Soal monopoli baru bisa kita pahami saat kita sudah mengenal dalam pasangan kita.

Monopoli tak selamanya buruk, tapi saya sepakat jika monopoli punya kecenderungan kearah hal yang tidak baik juga sih. Seberapa tidak baiknya kepada hubungan, lagi-lagi saya bisa katakan, jawabannya itu tergantung. Yuk simak sedikit penjelasannya.
   
Oke, anggaplah hubungan kalian sudah berada pada fase yang lebih tinggi tingkatannya. Artinya, diantara kalian dan pasangan sudah tidak ada lagi hal-hal yang ditutup-tutupi. Kegiatan kalian dengan pasangan layaknya reallity show, satu dan lainnya tahu kelebihan dan kelemahan masing-masing. Tentu, diawal hubungan romantika kalian atau bahkan dipertengahan hubungan, kalian masih merasa jaim (jaga image,- red), malu-malu jika ada hal yang tidak lumrah diketahui oleh pasangan, dan sebagainya, tapi pada fase ini, semua kalian sikapi berbeda, yaitu kalian lebih bisa menerima satu dengan yang lainnya.

Kaget ngga? Atau udah ketebak dari awal saat pdkt (pendekatan,- red)?  Kalau kalian ngga kaget, itu bagus sih!. Bagi yang kaget dan ngga bisa terima, mau bagaimana?. Nah! Pada fase ini baru bisa kita mulai deteksi apakah pasangan kita punya kecenderungan me-monopoli hubungan kita atau sebaliknya justru kita yang cenderung monopoli pasangan.

Bagi sebagian pasangan, ada yang tidak begitu mempermasalahkan ketika pasangan mereka lebih mendominasi hubungan. Sejatinya, hubungan romantika seharusnya memang dibangun bersama, tidak adu kuat melainkan saling menguatkan, bukan begitu?. Saat pasangan nyatanya di fase hubungan yang lebih tinggi tingkatakannya ini punya kecenderungan me-monopoli hubungan, lalu mau bagaimana? Menyudahi? Iya, benar mau menyudahi? Coba scroll lagi kebagian atas tulisan ini. Kan saya tulis, sebaiknya menyudahi hubungan atau putus itu dihindari. Ya!

”Sejatinya, hubungan romantika seharusnya memang dibangun bersama, tidak adu kuat melainkan saling menguatkan. Bukan begitu?,”

Jika kalian tetap kekeuh memilih menyudahi hubungan kalian, lebih baik cukupkan sampai disini untuk membaca artikel ini. Tapi, bagi kalian yang masih melihat ada hal lain yang lebih patut untuk diperjuangkan. Yuk, lepas sejenak yang ada digenggaman kedua tangan kita dan tepuk tanganlah untuk diri kalian dan teman-teman lain yang membaca artikel ini.

Saya punya prinsip, ”orang yang mengerti, mudah memaafkan”, termasuk untuk hal ini misalnya saat pasangan kamu lebih mendominasi hubungan, ada baiknya kamu memahami dulu latar belakang kenapa si dia melakukan itu dan kenapa kamu harus menerima hal itu. Pikirkan, beri argumen pada diri sendiri hal apa yang memberatkan atau meringankan atas sikap pasangan kalian itu. Sudah dipikirkan? Masih belum tau jawabannya? Yasudah yuk kita cari solusinya bersama.

Buat saya, saat hubungan kita dihadapkan pada hal-hal yang sulit, baik itu yang datang dari luar hubungan kita (’orang ketiga’, orang tua kita dan/atau pasangan, sahabat, dsb) atau dari kita sendiri (karakter, beda prinsip, keyakinan, dsb) saya mencoba untuk memahami terlebih dahulu secara baik dibandingkan saya harus bersikap lebih dahulu. Berdasarkan pengetahuan saya, orang lebih sering bersikap atau menyatakan sikap dalam bentuk perbuatan dibanding memahami apa yang sebenarnya terjadi. Tak sedikit, banyak yang memilih marah hingga membentak pasangannya sampai menangis.

”Orang yang mengerti, mudah memaafkan,”

Bukankah jika kita buru-buru meluapkan perasaan tanpa pemahaman yang baik, hal itu justru akan lebih menyakitkan keduanya? Ngga enak pasti, karena sakitnya bakal double. Ingat ngga awal kalian membentuk hubungan? Pasti sebagian lupa, karena begitu banyak janji terucap. Tapi paling tidak, setiap pasangan berjanji untuk saling mencintai dalam hal atau keadaan apapun. Bahkan, keduanya saling berjanji untuk tidak saling menyakiti ketika hal terburuk terjadi. Jika benar begitu, maka salah satu kunci keberhasilan melewati hambatan dalam suatu hubungan, yaitu dengan mengingat tujuan awal kalian membina hubungan itu, benar kan?

”Apapun itu, akan selalu manis pada awalnya. Lalu, kemudian akan berkurang sampai pahit diakhir. Tak ada salahnya mengingat ’awal’ agar semua kembali manis pada akhirnya,”
  
Oh ya, hal selanjutnya adalah saat kamu sudah berhasil melakukan hal diatas kepada pasangan, saya asumsikan hubungan kalian akan berlanjut dan melangkah pasti kedepan. Tapi, saya punya ’bayangan’ yang mungkin sebagian orang pernah sepintas terpikirkan soal hal ini. Bagi yang tidak memikirkan, ada baiknya melihat apa yang saya pikirkan pada fase yang lebih lanjut ini. Boleh setuju atau tidak, hal ini adalah hal yang juga ditakutkan bila sampai ada dalam hubungan seseorang.

Saat pasangan kalian belakangan kita ketahui punya sikap yang mendominasi atau me-monopoli hubungan, kalian tentu berhasil ’menyelesaikan’ hal itu. Kalian anggap hal itu bukan lagi sebagai masalah dan juga sudah berhasil disikapi dengan baik. Hal itu berujung pada kelangsungan hubungan romantika kalian ke fase yang selanjutnya.

Tapi, saya punya kecenderungan lain. Ada ketakutan, saat pasangan seakan menganggap sikap kita yang menerima keadaannya itu sebagai suatu sikap permanen dalam diri kita. Tidak salah memang, saat pasangan kita menganggap seperti itu. Kekhawatiran saya lebih kepada, khawatir saat dia memanfaatkan hal itu. Ya ngga sih? Ini adalah asumsi pribadi...

Jika saya mau simpulkan, me-monopoli hubungan yang dilakukan pasangan bukan akhir sikapnya. Tapi lebih pada pintu masuk... entah apakah penggunaan istilah ’pintu masuk’ ini relevan dengan konteks ini. Tapi paling tidak, saat pasangan kalian me-monopoli hubungan kalian, ada kecenderungan pasangan kalian akan melakukan hal-hal lain yang mengejutkan romantika kalian kedepan. Ha? Apa ya? Saya juga tak tahu hal apalagi yang akan dilakukannya. Yang jelas, sayangi dan cintai saja pasangan kalian tanpa syarat...











See you... semoga kita bertemu pada kesempatan lain lewat tulisan-tulisan saya ya.
(NNP, what goes arround comes back arround)



*. Monopoli    : Sistim perdagangan yang hampir tujuh puluh lima persen dikuasai satu                   pihak tertentu (dalam Kamus Bahasa Indonesia Populer (Bintang Timur                       Surabaya, 1995: 413)