BAB 1
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Masalah
Pembukaan UUD 1945 alenia ke-4 yang intinya adalah Negara melalui Pemerintah
memiliki tanggung jawab sekaligus tugas utama melindungi “Tanah Air Indonesia”
yang meliputi bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya untuk
kesejahteraan bangsa Indonesia.
Hak menguasai
Negara merupakan konsep Negara suatu organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat,
sehingga kekuasaan berada ditangan Negara. Jadi Negara memiliki hak menguasai
tanah melalui fungsi untuk mengatur dan mengurus.
Pengertian
“penguasaan” dan “menguasai” dapat dipakai dalam arti fisik, juga dalam arti
yuridis. Juga beraspek perdata dan beraspek publik. Penguasaan yuridis
dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan umumnya memberi kewenangan kepada
pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki. Tetapi ada juga
penguasaan yuridis yang biarpun memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang
dihaki secara fisik, pada kenyataanya penguasaan fisiknya dilakukan pihak lain.
Dalam hukum tanah
kita kenal juga penguasaan yuridis yang tidak memberi kewenangan untuk
menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik. Kreditor pemegang hak jaminan
atas tanah mempunyai hak penguasaan yuridis atas tanah yang dijadikan agunan,
tetapi penguasaannya secara fisik tetap ada pada yang empunya tanah.
Dengan mulai berlakunya UUPA
(Undang-undang Pokok Agraria) terjadi perubahan fundamental pada Hukum Agraria
di Indonesia, terutama hukum dibidang pertanahan, yang sering kita sebut sebagi
Hukum Pertanahan yang dikalangan pemerintahan dan umum juga dikenal sebagai
Hukum Agraria.
UUPA bukan hanya memuat
ketentuan-ketentuan mengenai perombakan hukum agraria. sesuai dengan namanya
Peraturan dasar pokok-pokok Agraria, UUPA memuat juga lain-lain pokok persoalan
agrarian serta penyelesaiannya.
Ruang lingkup bumi menurut UUPA adalah permukaan bumi dan
tubuh bumu dibawahnya serta yang berada dibawah air. permukaan bumi sebagai
bagian dari bumi juga disebut tanah. Tanah yang dimaksudkan disini bukan
mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu
aspeknya, yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak-hak penguasaan
atas tanah.
Setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Undang-Undang
Pokok Agraria, maka banyak perubahan yang terjadi dalam ketentuan hak-hak atas
tanah. Salah satunya adalah diadakan konversi hak atas tanah oleh pemerintah.
Hak-Hak atas tanah yang dikonversikan itu bukan saja hak-hak atas tanah
yang bersumber pada hukum perdata barat saja tetapi juga hak-hak atas tanah yang
dikenal dalam hukum adat seperti ganggam bauntuak, bengkok, gogolan dan
sebagainya. Hak-hak ini dikonversikan, karena tidak sesuai dengan jiwa Hukum
Agraria Nasional, yaitu karena sifatnya
yang feodalis.
Masih banyaknya masyarakat yang belum paham tentang konversi hak atas tanah
ini menimbulkan berbagai permaslahan-permasalahan ditengah-tengah masyarakat.
Misalnya : bagaimanakah cara mengkonversikan hak-hak matas tanah tersebut.
Berdasarkan hal inilah, maka penulis tertarik membahas tentang : KONVERSI HAK
ATAS TANAH DI INDONESIA MENURUT UU NO.5 TAHUN 1960
Dan melalui makalah ini kami akan
membahas lebih lanjut mengenai Hak Penguasaan atas Tanah dan Konversi Hak atas
Tanah.
2.
Rumusan Masalah
a.
Apa pengertian
dari penguasaan dan menguasai?
b.
Bagaimana
Pengaturan hak penguasaan atas tanah?
c.
Apa macam-macam
hak penguasaan atas tanah?
d.
Apa yang
dimaksud dengan konversi hak atas tanah?
e.
Apa prinsip
mengenai konversi hak atas tanah?
BAB 2
PEMBAHASAN
HAK PENGUASAAN ATAS TANAH MENURUT HUKUM TANAH NASIONAL
1. Pengertian Penguasaan dan Menguasai
Pengertian “penguasaan” dan “menguasai” dapat dipakai
dalam arti fisik, juga dalam arti yuridis. Juga beraspek perdata dan beraspek
publik[1].
Penguasaan dalam arti yuridis adalah penguasaan yang dilandasi hak, yang
dilindungi oleh hukum dan pada umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak
untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki, misalnya pemilik tanah
mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihaki, tidak diserahkan
kepada pihak lain. [2]
Adapun penguasaan yuridis, biarpun memberi kewenangan
untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik, pada kenyataannya penguasaan
fisik dilakukan oleh pihak lain. Misalnya, seseorang memiliki tanah tidak
mempergunakan tanahnya sendiri melainkan disewakan kepada pihak lain, dalam hal
ini secara yuridis tanah tersebut dimiliki oleh pemilik tanah, akan tetapi
secara fisik dilakukan oleh penyewa tanah. Ada juga penguasaan secara yuridis
yang tidak memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara
fisik. Misalnya, kreditor (bank) memegang jaminan atas tanah mempunyai hak
penguasaan yuridis atas tanah yang dijadikan agunan (jaminan), akan tetapi
secara fisik penguasaan tanahnya tetap ada pada pemegang hak atas tanah.
Penguasaan yuridis dan fisik atas tanah ini dipakai dalam aspek privat,
sedangkan penguasaan yuridis yang beraspek publik, yaitu penguasaan atas
tanah sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945
dan Pasal 2 UUPA.[3]
2.
Pengertian Hak
Penguasaan Atas Tanah
Hak Penguasaan atas Tanah
adalah suatu hubungan hukum yang memberi wewenang untuk berbuat sesuatu kepada
subjek hukum (orang atau badan) terhadap objek hukuman, yaitu tanah yang
dikuasainya.
3.
Macam-Macam Hak Penguasaan Atas Tanah
a.
Hak Penguasaan atas Tanah yang mempunyai wewenang khusus.
i.
Hak Bangsa Indonesia
Ini menunjukkan suatu hubungan
yang bersifat abadi antara bangsa Indonesia deengan tanah diseluruh wilayah
Indonesia dengan subjeknya adalah bangsa Indonesia. Dalam pasal 1 ayat (1,2,
dan 3) UUPA diatur pengaturan mengenai Hak Bangsa Indonesia itu sendiri.[4]
Hak Bangsa Indonesia atas tanah
mempunyai sifat komunalistik, artinya semua tanah yang ada dalam wilayah NKRI
merupakan tanah bersama rakyat Indonesia, yang telah bersatu sebagai Bangsa
Indonesia (Pasal 1 ayat (1) UUPA). selain itu juga mempunyai sifat religius,
artinya seluruh tanah yang ada dalam wilayah NKRI merupakan karunia Tuhan Yang
Maha Esa (Pasal 1 ayat (2) UUPA). Hubungan antara Bangsa Indonesia dengan tanah
bersifat abadi, atinya selama rakyat Indonesia masih bersatu sebagai Bangsa Indonesia
dan selama tanah tersebut masih ada pula, dalam keadaan yang bagaimanapun tidak
ada sesuatu kekuasaan yang akan dapat memutuskan atau meniadakan hubungan
tersebut (Pasal 1 ayat (3) UUPA).[5]
Prof. Boedi Harsono memberikan
uraian mengenai ketentuan-ketentuan pokok pokok yang terkandung didalam Hak
Bangsa Indonesia sebagai berikut[6]:
1.
Sebutan dan Isinya
Hak Bangsa adalah sebutan yang
dimaksudkan dalam pasal 1 ayat (2) dan (3) UUPA. Hak ini memiliki 2 unsur,
yaitu unsur kepunyaan dan unsur tugas kewenangan untuk mengatur dan memimpin
penguasaan dan penggunaan tanah bersama yang dipunyainya.
2.
Pemegang Haknya
Subjek hak bangsa adalah
seluruh rakyat Indonesia sepanjang masa, yaitu generasi-generasi terdahulu,
sekarang, dan yang akan datang.
3.
Tanah yang dihaki
Hak bangsa meliputi seluruh
tanah yang ada dalam wilayah negara Republik Indonesia, maka tidak ada tanah
yang merupakan res nullius.
4.
Terciptanya Hak Bangsa
Tanah bersama tersebut adalah
karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai
bangsa Indonesia.
5.
Hubungan yang Bersifat abadi
Hubungan yang bersifat abadi
mempunyai makna bahwa hubungan yang akan berlangsung tidak akan putus
selama-lamanya.
ii.
Hak Menguasai Negara[7]
Negara sebagai organisasi
kekuasaan tertinggi rakyat melaksanakan tugas memimpin dan mengatur kewenangan
bangsa Indonesia (Kewenangan Publik). Melalui hak mengusai negara, negara akan
dapat senantiasa mengendalikan atau mengarahkan fungsi bumi, air, dan ruang
angkasa sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah.
Negara dalam hal ini tidak
menjadi pemegang hak, melainkan sebagai badan penguasa yang mempunyai hak-hak
sebagai berikut:
1.
Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan dan
pemeliharaan
2.
Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai oleh
subjek hukum tanah
3.
Mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan hukum mengenai tanah.
iii. Hak Ulayat Pada
Masyarakat Adat[8]
Hubungan hukum yang terdapat
antara masyarakat hukum adat dengan tanah lingkungannya. Hak Ulayat oleh pasal
3 UUPA diakui dengan ketentuan:
1.
Sepanjang menurut kenyataannya masih ada;
2.
Pelaksanaannya tidak bertentangan dengan pembangunan
nasional.
b.
Hak Penguasaan Atas Tanah yang memberi kewenangan yang
bersifat umum (Hak Perorangan atas Tanah).
i.
Hak atas Tanah
Yaitu, hak penguasaan atas
tanah yang memberi wewenang bagi subjeknya untuk menggunakan tanah yang
dikuasainya.
Hak atas tanah terdiri atas:
(1)
Hak atas Tanah Orisinal atau Primer
Yaitu, hak penguasaan atas
tanah yang memberi wewenang bagi subjeknya untuk menggunakan tanah yang
dikuasainya.
(a)
Hak Milik[9]
Hak Milik adalah hak atas tanah
yang turun temurun, terkuat, dan terpenuh[10].
Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 20 ayat (1) dan (2) UUPA yang berbunyi
sebagai berikut: ”Hak Milik adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh
yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan pasal 6. Hak
Milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Hak Milik adalah hak atas
tanah, karena itu tidak meliputi pemilikan kekayaan alam yang terkadung dalam
tubuh bumi dan yang ada dibawah atau didalamnya.
Subyek Hak Milik yang dapat
mempunyai tanah Hak Milik menurut UUPA dan peraturan pelaksanaanya, adalah:
i.
Perseorangan.
WNI, baik pria maupun wanita,
tidak berwarganegaraan rangkap (lihat Pasal 9, 20 (1) UUPA).
ii.
Badan-badan hukum tertentu.
Badan-badan hukum yang dapat
mempunyai Hak Milik atas tanah, yaitu bank-bank yang didirikan oleh negara,
koperasi pertanian, badan keagamaan dan badan sosial (lihat Pasal 21 (2) UUPA).
Terjadinya Hak Milik atas tanah
dapat terjadi melalui 3 cara sebagai mana disebutkan dala Pasal 22 UUPA, yaitu:
i.
Hak Mik atas tanah yang terjadi Menurut Hukum Adat,
Misalnya:
i.
Terjadi karena Pembukaan tanah (pembukaan hutan).
ii.
Terjadi karena timbulnya Lidah Tanah.
ii. Hak Milik Atas
tanah tertajdi karena Penetapan Pemerintah, Misalnya:
i.
Pemberian hak baru (melalui permohonan)
ii.
Peningkatan hak.
iii. Hak Milik atas
tanah terjadi karena Undang-undang:
i.
Ketentuan Konversi Pasal I, II. VI
Sifat dan ciri-ciri Hak Milik, yaitu:
i. Tergolong hak yang
wajib didaftarkan menurut PP No. 24/1997;
ii. Dapat diwariskan;
iii. Dapat dialihkan, seperti
jual beli, hibah, tukar-menukar, lelang, penyertaan modal;
iv. Turun temurun;
v. Dapat dolepaskan
untuk kepentingan sosial;
vi. Dapat dijadikan
induk hak lain;
vii. Dapat dijadikan jaminan
hutang dengan dibebani Hak Tanggungan.
Hapusnya Hak Milik diatur
didalam Pasal 27 UUPA yang menetapkan
faktor-faktor penyebab hapusnya Hak Milik atas tanah, bila:
i.
tanahnya jatuh kepada negara, yaitu:
a.
Karena Pencabutan Hak berdasarkan Pasal 18 UUPA;
b.
Dilepaskan secara suka rela oleh pemiliknya;
c.
Dicabut untuk kepentinga umum;
d.
Tanahnya ditelantarkan;
e.
Karena subyek haknya tidak memenuhi syarat sebagai sunyek
hak milik atas tanah;
f.
Karena peralihan hak yang mengakibatkan tanahnya
berpindah kepada pihak lain yang tidak memenuhi syarat sebagai subyek Hak Milik
atas tanah.
ii.
Tanahnya musnah, misalnya terjadi bencana alam.
(b)
Hak Guna Usaha
Ketentuan umum Hak Guna Usaha
(HGU) disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b, 28 s/d 34, 50 ayat (2) UUPA,
Pasal 2 s/d 18 PP No. 40/1996 tentang HGU, HGB dan HP.
Pengertian HGU adalah hak untuk
mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu
tertentu guna kegiatan usaha pertanian, perkebunan, perikanan, atau peternakan
(lihat Pasal 28 ayat (1), PP No.40/1996).
Subyek HGU. Yang dapat
mempunyai HGU menurut Pasal 30 UUPA Jo. Pasal 2 PP No. 40/1996,
adalah:
a.
Warga Negara
Indonesia;
b.
Badan Hukum yang didirkan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia.
Asal dan terjadinya HGU adalah
tanah negara. Kalau asal tanah HGU berupa tanah hak, maka tanah hak tersebut harus
dilakukan pelepasan ata penyerahan hak oleh pemegang hak dengan pemberian ganti
kerugian oleh calon pemegang hak HGU.
Terjadinya HGU dapat melalui
penetapan pemerintah (pemberian hak) dan ketentuan Undang-undang (ketentuan
konversi hak erpacht).
Luas HGU.
Luas HGU.
Luas tanah HGU adalah untuk
perserorangan minimal 5 Ha dan maksimal 25 Ha. Sedangkan untuk badan hukum luas
minimal 5 Ha dan luas maksimal 25 Ha atau lebih (menurut UUPA). Ketentuan luas
maksimal tidak ditentukan dengan jelas tetapi PP No. 40/1996 menyebutkan luas
maksimal ditetapkan oleh menteri dengan memperhatikan pertimbangan pejabat yang
berwenang. Dengan membandingkan kewenangan Surat Keputusan Pemberian Hak
seperti kewenangan Ka BPN Kota/kab maksimal 25 Ha, Kanwil BPN maksimal 200 Ha,
di atas 200 Ha kewenangan Menteri Agraria/Ka BPN.
Jangka waktu HGU mempunyai
jangka waktu untuk pertama kalinya paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang
untuk jangka waktu paling lama 25 tahun (Pasal 29 UUPA). Sedang menurut Pasal 8
PP No. 40/1996 mengatur jangka waktu HGU untuk pertama kalinya 35 tahun,
diperpanjang paling lama 25 tahun dan dapat diperbaharui paling lama 35 tahun.
Permohonan perpanjangan dan pembaharuan diajukan palaing lambat 2 tahun sebelum
berakhirnya jangka waktu HGU.
Syarat yang harus dipenuhi
untuk dapat dilakukan perpanjangan waktu atau pembaharuan adalah:
a.
Tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai keadaan,
sifat dan tujuan pemberian haknya;
b.
Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik
oleh pemegang hak;
c.
Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak.
Kewajiban
pemegang HGU (lihat Pasal 12 ayat (1) PP No. 40/1996):
a.
Membayar uang pemasukan kepada negara;
b.
Melaksanakan usaha pertanian, perkebunan, perikanan dan
atau peternakan;
c.
Mengusahakan sendiri tanah HGU dengan baik sesuai
kelayakan usaha berdasarkan kriteria dari instansi teknis;
d.
Membangun dan memelihara prasarana lingkungan dan
fasilitas tanah yang ada dalam lingkungan HGU;
e.
Memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumber
daya alam dan menjaga kelestarian kemampuan lingkungan hidup;
f.
Menyampaikan laporan tertulis setiap akhir tahun mengenai
penggunaan HGU;
g.
Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan HGU kepada
negara setelah hapus;
h.
Menyerahkan sertifikat HGU yang telah hapus kepada kepala
Kantor Pertanahan.
Hak
pemegang HGU (lihat Pasal 14 PP No. 40.1996):
a.
Menguasai dan mempergunakan tanah untuk usaha pertanian,
perkebunan, perikanan dan atau peternakan;
b.
Penguasaan dan penggunaan sumber air dan sumber daya alam
lainnya di atas tanah;
c.
Mengalihkan hak tersebut kepada pihak lain.
12. Membebani dengan Hak Tanggungan.
12. Membebani dengan Hak Tanggungan.
Sifat dan ciri-ciri HGU:
a.
Tergolong hak yang wajib didaftarkan menurut PP No.
24/1997;
b.
Dapat diwariskan;
c.
Dapat dialihkan , seperti jual beli, hibah, tukar-menukar,
lelang, penyertaan modal;
d.
Dapat dilepaskan untuk kepentingan sosial;
e.
Dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak
Tanggungan;
f.
Haknya mempunyai jangka waktu tertentu;
g.
Dapat berinduk pada hak atas tanah yang lain;
h.
Peruntukkannya terbatas.
Hapusnya HGU (lihat Pasal 34 UUPA
dan Pasal 17 PP No. 40/1996):
a.
Jangka waktunya berakhir;
b.
Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena
sesuatu syarat yang tidak dipenuhi;
c.
Dilepaskan secara suka rela oleh pemegang haknya;
d.
Dicabut untuk kepentingan umum;
e.
Ditelantarkan;
f.
Tanahnya musnah;
g.
Pemegang HGU tidak memenuhi syarat sebagai subyek pemegang
HGU.
(c)
Hak Pakai
Hak Pakai (HP) diatur dalam
Pasal 16 ayat 9) huruf d, 41 s/d 43, 50 ayat (2) UUPA dan Pasal 39 s/d 58 PP
No. 40/1996.
Pengertian HP adalah hak untuk
menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai oleh negara atau
tanah milik orang lain yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan
dalam keputusan pemberian haknya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya,
yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah (lihat
Pasal 41 (1) UUPA).
Subyek
HP (lihat Pasal 42 UUPA dan Pasal 39 PP No. 40/1996):
a.
Warga Negara
Indonesia;
b.
Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia;
c.
Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen dan
Pemerintah Daerah;
d.
Badan-badan keagamaan dan sosial;
e.
Orang asing yang
berkedudukan di Indonesia (lihat PP No. 41/1996);
f.
Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia;
g.
Perwakilan negara asing dan perwakilan badan
internasional.
Asal
atau obyek HP (lihat Pasal 41 (1) PP No. 40/1996):
a.
Tanah Negara;
b.
Tanah Hak Pengelolaan;
c.
Tanah Hak Milik;
Terjadinya HP dapat terjadi karena:
a.
Penetapan Pemerintah (tanah negara dan tanah Hak
Pengelolaan);
b.
Perjanjian pemberian oleh pemegang Hak Milik dengan akta
yang dibuat oleh PPAT;
c.
Undang-undang, ketentuan tentang Konversi.
Jangka waktu HP. Jangka waktu
HP berbeda sesuai dengan asal tanahnya, (lihat Pasal 45 s/d 49 PP No. 40/1996):
a.
HP atas tanah
negara dan tanah Hak Pengelolaan berjangka waktu untuk pertama kali paling lama
25 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun, dan dapat
diperbarui untuk jangka waktu paling lama 20 tahun. Khusus HP yang dipunyai
oleh Departemen, Lembaga Non Departemen, Pemerintah Daerah, badan-badan
keagamaan dan sosial, perwakilan negara asing, dan perwakilan badan
internasional diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama
tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.
b.
HP atas tanah Hak
Milik berjangka waktu paling lama 25 tahun, tidak ada perpanjangan waktu.
Namun, atas kesepakatan antara pemilik tanah dengan pemegang HP dapat
diperbarui dengan pemberian HP baru dengan akta yang dibuat oleh PPAT dan wajib
didaftarkan pada kantor BPN setempat.
(d)
Hak Pengelolaan
Hak Pengelolaan adalah hak atas
tanah yang memberikan wewenang kepada pemegang haknya untuk:
a.
Merencanakan peruntukkan dan penggunaan tanahnya;
b.
Menggunakan tanah untuk keperluan sendiri;
c.
Menyerahkan bagian dari tanahnya kepada pihak ketiga
menurut persyaratan yang telah ditentukan bagi pemegang hak tersebut yang meliputi
segi peruntukan, penggunaan, segi jangka waktu dan segi keuangannya.
Sifat dan ciri Hak Pengelolaan, yaitu:
a.
Tergolong hak yang wajib didaftarkan;
b.
Tidak dapat dipindahtangankan;
c.
Tidak dapat dijadikan jaminan hutang;
d.
Mempunyai segi-segi perdata dan segi-segi publik.
Subjek hukum Hak Pengelolaan, yaitu:
a.
Badan Hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia
b.
Lembaga dan Instansi Pemerintahan.
(2)
Hak atas Tanah Derivatif[11]
Yaitu, hak atas tanah yang
tidak langsung bersumber kepada Hak Bangsa Indonesia dan diberikan kepada
pemilik tanah dengan cara memperolehnya melalui perjanjian pemberian hak antara
pemilik tanah dengan calon pemegang hak yang bersangkutan.
(a)
Hak guna Bangunan
(b)
Hak Pakai
(c)
Hak Sewa
(d)
Hak Usaha Bagi Hasil
(e)
Hak Gadai
(f)
Hak Menumpang
ii)
Hak Jaminan atas Tanah[12]
Yaitu, hak penguasaan atas
tanah yang tidak memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk menggunakan tanah
yang dikuasainya tetapi memberikan wewenang untuk menjual lelang tanah tersebut
apabila pemilik tanah tersebut (debitur) melakukan wanprestasi.
BAB 3
KONVERSI HAK-HAK PERORANGAN ATAS TANAH
1.
Pengertian dan Dasar Hukum Konversi
Pengertian
konversi dalam tulisan ini adalah konversi mengenai hak-hak atas tanah sebagai
mana dimaksudkan oleh pakar Hukum Agraria Bapak Prof. DR.AP Perlindungan SH.
Bahwa konversi adalah :
”Penyesuaian
Hak-Hak atas tanah yang pernah tunduk kepada sistem hukum lama yaitu: Hak-Hak
tanah menurut kitab undang-undang Hukum Perdata Barat dan tanah-tanah yang
tunduk kepada Hukum Adat untuk masuk dalam sistem hak-hak tanah menurut
ketentuan UUPA“
Dari istilah konversi tersebut diatas, dalam
Hukum Agraria dimaksudkan adalah penyesuaian, peralihan atau perubahan dari
hak-hak atas tanah menurut sistem lama yakni hak-hak atas tanah yang pernah
tunduk pada ketentuan KUH Perdata atau pun hak-hak atas tanah yang tunduk pada
Hukum Adat kepada hak-hak atas tanah menurut sistem UUPA.
Dasar Hukum
pelaksanaan konversi terdapat pada bagian kedua UUPA terdiri dari : Ketentuan
konversi bagi tanah yang tunduk pada KUH Perdata diatur dalam pasal I, III, IV,
V mengenai ketentuan pelaksanaannya dituangkan kedalam beberapa peraturan
perundangan antara lain :
a.
Peraturan Menteri Agraria No.2 tahun 1960 tentang
pelaksanaan beberapa ketentuan UUPA;
b.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 tahun 1970 tentang
penyelesaian konversi hak-hak barat menjadi hak guna bangunan dan hak guna
usaha;
c.
Keppres No. 32 tahun 1979 tentang pokok-pokok
kebijaksanaan dalam rangka pemberian hak baru atas tanah asal konversi hak-hak
barat;
d.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No.3 tahun 1979 tentang
ketentuan – ketentuan mengenai permohonan dan pemberian hak atas tanah asal
konversi hak barat .
Sedangkan
konversi hak-hak atas tanah yang tunduk pada Hukum Adat diatur dalam pasal II,
VI dan VII, ketentuan konversi dengan peraturan pelaksanaannya antara lain :
a.
Peraturan Menteri Agraria No. 2 tahun 1960 tentang
pelaksanaan konversi dan pendaftaran bekas hak Indonesia atas tanah;
b.
Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 2 tahun 1962
tentang penegasan konversi dan pendaftaran bekas hak-hak Indonesia atas tanah;
c.
Surat keputusan Mentri Dalam Negri no. Sk.26 / DDA / 1970
tentang penegasan konversi dan pendaftaran bekas hak-hak Indonesia atas tanah.
2.
Tujuan dan Fungsi Konversi
Tujuan dari
konversi hak–hak atas tanah tidak lepas dari tujuan yang hendak dicapai UUPA
yakni unifikasi dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan serta untuk memberikan
jaminan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah dan terciptanya kemakmuran,
kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat. Secara lebih khusus konversi bertujuan
untuk mengadakan unifikasi hak-hak atas
tanah, sehingga kelak tidak ada lagi hak-hak atas tanah produk Hukum yang lama
yakni Hak-hak atas tanah yang tunduk pada KUHperdata yang lebih mengutamakan
kepentingan individu maupun hak-hak atas tanah menurut Hukum adat dengan
keanekaragamannya itu.
Keseluruhan
dari hak-hak atas tanah dari produk
hukum yang lama tersebut disesuaikan, dialihkan atau diubah kedalam salah satu
hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 UUPA yaitu : Hak milik, Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Hutan, Hak
Memungut Hasil Hutan, Dll.
Tentunya
hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam pasal 16 Undang-Undang Pokok Agraria tersebut
tidak bersifat Liminatif, dalam pengertian bahwa masih dimungkinkannya untuk
pengembangan hak-hak atas tanah lainnya, misalnya hak pengelolaan.
Untuk
mewujudkan tujuan dari konversi tersebut, dalam proses konversi hak atas tanah
di Indonesia harus punya 5 prinsip, dari kelima prinsip tersebut akan semakin
jelas terlihat tujuan yang hendak dicapai dan cara penyelesaian dari konversi
yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia dengan kepribadian Indonesia
Prinsip-prinsip
tersebut adalah :
a.
Prinsip Nasionalitas
Prinsip ini
dapat dibaca dalam pasal 9, 21, 30 dan 36 UUPA. Menurut pasal 9 bahwa warga
Negara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi air dan
ruang angkasa, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, mereka
mempunyai hak yang sama untuk memperoleh hak-hak atas tanah.
Ketentuan dari
Prinsip Nasionalitas ini lebih dirinci dalam pasal 21 UUPA yang berbunyi :
a.
Hanya Warga Negara Indonesia yang dapat mempunyai hak
milik
b.
Oleh pemerintah ditetapkan badan-badan yang dapat
mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya.
c.
Orang asing yang sesudah berlakunya UU ini memperoleh hak
milik karena pewarisan tanpa wasiat atau pencampuran harta karena perkawinan,
demikian pula warga Negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah
berlakunya UU ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu dalam jangka
waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan
itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau, hak milik tersebut tidak
dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena Hukum dan tanahnya jatuh pada
Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebani tetap
berlangsung.
d.
Selama seseorang disamping kewarganegaraan Indonesia
mempunyai kewarganegaraan asing maka Ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak
milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat (3) pasal ini
Dari ketentuan
pasal 21 UUPA dapat diketahui bahwa betapa konsekwennya Indonesia terhadap
prinsip Nasionalitas, maka hak milik sebagai hak terpenuh dan terkuat hanya di
peruntukan bagi warga negara Indonesia, orang asing tidak diperkenankan
mempunyai tanah walau pun karena pewarisan.
Begitu pula
halnya dengan orang-orang yang melakukan pencampuran harta, kewarganegaraan
rangkap yakni berkewarganegaraan asing disamping ia warga Negara Indonesia bagi
mereka dikenankan sanksi untuk melepaskan hak miliknya itu, dalam jangka waktu
1 tahun jika tidak tanahnya akan jadi milik Negara.
Pasal 30 UUPA
memuat prinsip Nasionalitas dari hak guna usaha dan pasal 36 UUPA tentang Hak
Guna Bangunan. Dari ketentuan pasal tersebut terlihat bahwa:
“ UUPA telah mengIndonesiakan kembali hak-hak atas tanah
yang terdapat di Indonesia . Di Zaman berlakunya BW hak-hak atas tanah yang
pernah kita kenal seperti hak Eigendom, opstal, Erfacht tidak mempersoalkan kewarganegaraan /
kependudukan seseorang asal saja mau tunduk kepada BW dapat saja memiliki tanah
di Indonesia .”
b.
Prinsip Pengakuan hak-hak atas tanah.
Berlakunya
UUPA terjadilah Unifikasi Hukum di Bidang pertanahan. Namun bukan berarti
hak-hak atas tanah yang tunduk pada Hukum yang lama, yakni Hukum Perdata Barat
dan Hukum Adat menjadi hilang begitu saja, terhadap tanah, yang tunduk pada
sistem hukum lama masih diakui keberadaanya. Untuk kemudian melalui Lembaga
Konversi disesuaikan kedalam salah satu hak atas tanah menurut sistem UUPA.
Hal demikian
memperlihatkan kepribadian dari bangsa Indonesia yang berkeprimanusiaan dalam
melaksanakan ketentuan konversi ini. Berlainan dengan Negara-negara penjajah
maupun Negara–negara komunis yang mengambil alih daerah pada umumnya.
c.
Prinsip Kepentingan Hukum
Dengan adanya
ketentuan konversi maka ada kepastian Hukum mengenai status Hak-hak atas tanah
yang tunduk pada sistem Hukum yang lama. Apakah hak tersebut akan dihapuskan
atau disesuaikan kedalam hak-hak menurut sistem UUPA dan kepastian berakhirnya
masa-masa konversi hak-hak atas tanah bekas tunduk pada KUH Perdata dinyatakan telah berakhir pada tanggal 24
September 1960.
d.
Prinsip Penyesuaian pada Kepentingan Konversi.
Sebagaimana
telah dijelaskan bahwa ketentuan
konversi Indonesia mengakui hak-hak atas tanah, yang lama yang pernah ada
sebelum berlaku UUPA, maka terhadap
hak-hak yang lama tersebut melalui Lembaga konversi disesuaikan atau dipadankan
dengan hak-hak atas tanah menurut UUPA.
Dalam Hal ini
tidak terlepas dari prinsip terdahulu yakni prinsip nasionalitas, masalah
kewarganegaraan sangat menentukan dalam penyesuaian atau pemadanan tersebut.
e. Prinsip Status Quo
hak-hak tanah terdahulu.
Setelah
berlaku nya UUPA maka tidak mungkin lagi di terbitkan hak-hak baru atas tanah
yang tunduk pada Hukum Barat maupun Adat. Dengan demikian setiap ada perbuatan
suatu hak baru atas tanah yang tunduk atau yang akan ditundukkan pada sistim
hukum yang lama adalah batal dan tidak berkekuatan Hukum.
3.
Hak-hak atas tanah yang dikonversi
Di dalam
uraian terdahulu telah dijelaskan bahwa sebelum berlakunya UUPA ada 2 sistem
hukum yang mengatur masalah tanah yaitu sistem menurut KUH Perdata dan Hukum
Adat, semenjak berlakunya UUPA tanggal 24-9-1960 kedua sistem hukum tersebut
tidak diberlakukan lagi dan terhadap yang pernah di timbulkan oleh kedua sistem
hukum tersebut di konversi ke dalam hak-hak atas tanah menurut sistem UUPA.
Untuk jelasnya akan diuraikan dibawah ini:
a.
Konversi atas tanah-tanah yang tunduk pada ex KUHPerdata.
Pasal I
ketentuan konversi menyebutkan:
i.
Hak eigendom atas tanah yang ada pada mulai berlakunya
undang-undang ini sejak saat tersebut menjadi hak milik, kecuali jika yang
mempunyainya tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam pasal 21.
ii.
Hak eigendom kepunyaan Pemerintah Negara Asing, yang
dipergunakan untuk keperluan rumah kediaman kepala perwakilan dan gedung
kedutaan, sejak mulai berlakunya undang-undang ini menjadi hak pakai tersebut
dalam pasal 41 ayat (1) yang akan berlangsung selama tanahnya dipergunakan
untuk keperluan tersebut diatas.
iii.
Hak eigendom kepunyaan orang asing, seorang warga negara
yang disamping kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan asing dan
badan hukum, yang tidak di tunjuk oleh Pemerintah sebagai dimaksud dalam pasal
21 ayat (2) sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak guna bangunan
tersebut dalam pasal 35 ayat (1) dengan jangka waktu 20 tahun.
iv.
Jika hak eigendom tersebut dalam ayat (1) pasal ini
dibebani dengan hak opstal dan hak erfpacht, maka hak opstal dan hak erfpacht
itu sejak mulai berlakunya Undang-Undang itu menjadi hak guna bangunan tersebut
dalam pasal 35 ayat (1) yang membebani hak milik yang bersangkutan selama sisa
waktu hak opstal atau hak erfpacht tersebut diatas,tetapi selama-lamanya 20
tahun.
v.
Jika hak eigendom tersebut dalam ayat (3) pasal ini
dibebani hak opstal atau hak erfpacht, maka hubungan antara yang mempunyai hak
eigendom tersebut dan pemegang hak opstal atau hak erfpacht selanjutnya
diselesaikan menurut pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Agraria.
vi.
Hak-hak hipotik, servitut, vruchtgebruik dan hak-hak lain
yang membenahi hak eigendom tetap membebani hak milik dan hak guna bangunan
tersebut dalam ayat (1) ayat (3) pasal ini, sedangkan hak-hak tersebut menjadi
suatu hak menurut Undang-Undang ini.
Dari ketentuan
pasal ini dapat disimpulkan bahwa hak eigendom itu dapat di konversi kedalam 3
kemungkinan:
i.
Hak eigendom dapat dikonversi menjadi hak milik.
Konversi hak
eigendom menjadi hak milik apabila pemiliknya berwarganegara Indonesia asli
atau berwarganegara tunggal pada tanggal 24 September 1960 atau badan hukum
Indonesia dengan syarat badan hukum tersebut adalah badan hukum yang ditunjuk
oleh Pemerintah sebagai badan hukum yang dapat mempunyai hak milik.
Kepastian mengenai
kewarganegaraan Indonesia tunggal pada tanggal 24-9-1960 berkaitan dengan
orang-orang yang sebelum berstatus dwi kewarganegaraan atau bagi WNI yang
tadinya berwarganegara asing / keturunan asing.
Pasal 2 PMA No.
2/1960 mewajibkan bagi WNI (baik asli maupun tidak) yang pada tanggal 24-9-1960
telah berkewarganegaraan tunggal dalam waktu 6 bulan yaitu sebelum 24 Maret
1961 datang pada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah yang bersangkutan untuk
memberi ketegasan mengenai kewarganegaraannya itu. Pasal 4 PMA No. 2/1960
menambahkan bahwa jika mereka tidak datang dalam jangka waktu tersebut maka hak
eigendomnya tidak dapat dikonversi kedalam hak milik melainkan hanya dapat
diberikan dengan hak guna bangunan.
Bagi WNI keturunan
Tionghoa, maka penegasan itu harus dibuktikan dengan surat tanda
kewarganegaraan menurut PP No. 20/1959 yaitu surat pernyataan melepaskan
kewarganegaraan RRC yang sudah mendapat pengesahan oleh Hakim tertanggal
selambatnya 24-9-1960, yang dipertegas lagi dengan surat edaran dari Departemen
Agraria tanggal 24-9-1960 dan tanggal 14-2-1961 nomor unda 1/7/39 yang
maksudnya bahwa tanggal 24 September 1960 adalah tanggal yang dinyatakan
diterima oleh Hakim Pengadilan Negeri yang ditunjukan sebelah kanan bawah surat
penolakakanya dan bukan dari pejabat yang lain.
Surat Edaran
Menteri Agraria tanggal 14 Februari 1961 No.unda 6/2 menyatakan bahwa, dalam
perundang-undangan RI yang menetapkan siapa-siapa dianggap secara omplisit
hanya berkewarganegaraan RI, supaya ditambahkan orang-orang WNI keturunan
Tionghoa yang menurut keterangan dari panitia Pemilihan Indonesia atau
keterangan-keterangan lainnya membuktikan bahwa mereka ikut memilih dalam
pemilihan umum tahun 1955 untuk DPR atau DPRD di Indonesia. Untuk mereka
mempergunakan formulir C sebagai lampiran dari PP. 20/1959, dengan catatan
formulir tersebut sudah dicantumkam tanggalnya 24 September 1960.
Bagi para WNI bukan
keturunan Cina dapat diajukan sebagai bukti kewarganegaraannya surat tanda
kewarganegaraan Indonesia (STKI) yang diberikan oleh instansi dari Departemen
Dalam Negeri. Kalau STKInya diragukan maka Kepala Kantor Pendaftaran Tanah
dapat mempersilahkan yang bersangkutan untuk datang ke Pengadilan Negeri agar
ditetapkan bahwa ia benar seorang WNI (pasal IV Peraturan Penutup Undang-undang
No. 62/1958).
Bagi mereka itu
dapat pula diajukan tanda bukti kewarganegaraan lainnya yang sah, misalnya
tanda bukti naturalisasi menjadi WNI menurut peraturan yang berlaku pada saat
naturalisasi diberikan (misalnya UU No. 3/1946). Mengenai orang-orang WNI bukan
keturunan asing (WNI asli) cara pembuktian kewarganegaraannya diserahkan kepada
kebijaksanaan KKPT.
Saat mulai berlakunya
UUPA belum ada badan-badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah atas dasar
ketentuan pasal 21 ayat (2) itu. Tetapi walaupun demikian, oleh UUPA sendiri
telah ditetapkan dalam pasal 49 ayat (1), bahwa badan-badan keagamaan dan
sosial dapat mempunyai hak milik atas tanah, asal tanah itu dipergunakan untuk
keperluan yang langsung berhubungan dengan usaha-usaha dalam bidang keagamaan
dan sosial. Oleh karena itu maka untuk konversi hak eigendom kepunyaan
badan-badan keagamaan dan sosial menjadi hak milik diperlukan suatu penegasan,
pertama bahwa badan-badan yang bersangkutan benar-benar badan keagamaan dan
sosial, kedua bahwa tanah eigendom yang dikonversi itu benar-benar dipergunakan
untuk keperluan yang dimaksud. Permohonan penegasan tersebut diajukan kepada
Menteri Agraria melalui Kepala Pengawas Agraria yang bersangkutan, didaerah
dimana tidak ada pejabat ini permohonan diajukan melalui Kepala Inspeksi
Agraria (pasal 6 ayat (1) PMA. No. 2/1960).
Setelah keluarnya PMA No. 2/1960 jo PP 38/1963
semakin jelas bagi kita badan-badan hukum mana saja yang hak eigendomnya dapat
menjadi hak milik. Terhadap badan-badan hukum yang dimaksud dalam peraturan ini
tidak diperlukan lagi suatu penegasan.
ii.
Hak eigendom di
konversi menjadi hak guna bangunan.
Dalam ayat 1 pasal
I KK menentukan bahwa hak eigendom kepunyaan orang asing atau orang yang
berdwikewarganegaraan dikonversi kedalam HGB dengan jangka waktu 20 tahun. Hal
ini bertentangan dengan prinsip nasionalitas yang tidak memungkinkan untuk
orang asing dan orang yang berdwikewarganegaraan (digolongkan dengan orang
asing) mempunyai hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan. Otomatis
didalam praktek ketentuan ayat (3) ini tidak mungkin dilaksanakan.
“Melalui surat edaran Menteri Agraria No. Ka. 40/27/25,
tanggal 4 Juli 1961 yang ditujukan kepada ikatan notaris Indonesia di Jakarta,
menyebutkan bahwa mereka harus melepaskan haknya itu kepada WNI sebelum tanggal
24 September 1961 “
Jadi konversi
kedalam HGB ini dapat terjadi bagi WNI tunggal / asli yang mempunyai hak
eigendom tapi tidak dapat datang untuk membuktikan kewarganegaraannya kepada
KKPT dalam jangka waktu yang ditentukan (Pasal 4 Peraturan Menteri Agraria No.
2 Tahun 1960).
Disamping itu hak
eigendom kepunyaan badan-badan hukum juga dikonversi kedalam HGB, tentunya
dengan syarat badan hukum tersebut adalah badan hukum yang tunduk pada hukum
Indonesia, didirikan menurut hukum Indonesia, dan berdomisili di Indonesia,
jika badan hukum tersebut adalah badan hukum asing maka dalam jangka waktu 1
tahun (24 September1961), ia harus melepaskan HGB asal konversi hak eigendomnya
tersebut, jika tidak maka tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara.
Pasal 1 ayat 4 KK
mengatur perihal konversi hak eigendom yang dibebani hak opstal atau hak
erfpacht, maka hak eigendomnya di konversi kedalam hak milik, sedangkan hak
opstal atau hak erfpachtnya dikonversi kedalam hak HGB dengan jangka waktu sisa
yang dikonversi tetapi selama-lamanya 20 tahun.
Pasal III KK menyebutkan :
a.
Hak erfpacht
untuk perusahaan kebun besar, yang pada mula berlakunya Undang-undang ini,
sejak saat tersebut menjadi hak guna usaha tersebut dalam pasal 28 ayat (1)
yang berlangsung selama sisa waktu hak erfpacht tersebut tetapi selama-lamanya
20 tahun.
b.
Hak erfpacht
untuk pertanian kecil yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, sejak
saat tersebut hapus dan selanjutnya diselesaikan menurut ketentuan-ketentuan
yang diadakan oleh Menteri Agraria.
Hak guna usaha asal
konversi hak erfpacht untuk perkebunan besar selanjutnya diatur lebih lanjut
dengan PMDN No. 2 tahun 1970. Sedangkan bagi
hak erfpacht untuk perkebunan besar yang sudah habis waktunya pada tanggal 24
September 1960 dikonversi menjadi hak pakai. Hak pakai ini akan berlaku
sementara sampai ada keputusan yang pasti mengenai nasib perusahaan perkebunan
tersebut. Mungkin perusahan nya akan diberikan kepada pemegang haknya dengan
hak guna usaha yang baru, mungkin akan diberikan kepada pengusaha lain atau
mungkin akan diusahakan oleh pemerintah.
Hak erfpacht untuk
pertanian kecil dahulu diberikan kepada orang-orang Eropa yang kurang mampu.
Tetapi kenyataannya mereka yang dianggap kurang mampu ini kalau dibandingkan
dengan orang Indonesia asli, termasuk golongan mampu. Dalam hal ini nampak
adanya politik deskriminasi antara orang-orang yang mampu dengan orang yang
tidak mampu, maka hal inilah yang mendorong UUPA menyatakan hapusnya semua hak
erfpacht untuk pertanian kecil sejak 24 September 1960.
Dalam pasal IV KK
mengatur tentang konversi dari pemegang consessie dan sewa untuk perusahaan
perkebunan besar. Kemudian dalam pasalV KK mengatur konversi atas hak opstal
dan hak erfpacht untuk perumahan.
“Hak opstal dan hak Erfpacht untuk perumahan, yang ada
pada mulai berlakunya undang-undang ini, sejak saat tersebut menjadi hak guna
bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat(1) yang berlangsung selama sisa waktu hak
opstal dan hak erfpacht tersebut, tetapi selama-lamanya 20 tahun.”
Hak opstal dan hak
erfpacht untuk perumahan dikonversi kedalam hak guna bangunan selama sisa waktu hak tersebut,
selama-lamanya 20 tahun. Dalam PMA No. 7/1965 ditegaskan bahwa batas akhir
konversi dari kedua hak tersebut adalah 24 September 1980 atau sisa waktu
sebelum tanggal 24 September 1980.
iii.
Hak eigendom di konversikan menjadi hak pakai.
Untuk konversi hak
eigendom menjadi hak pakai diatur dalam pasal I ayat (2) KK diperlukan suatu
penegasan bahwa tanah eigendom tersebut benar-benar digunakan untuk keperluan
rumah kediaman kepala perwakilan asing atau gedung kedutaan sebab jika
dipergunakan untuk keperluan lain maka hak eigendom tersebut dikonversi menjadi
HGB dengan jangka waktu 20 tahun. Ketentuan tersebut dapat dilihat juga dalam
Surat Menteri Agraria tanggal 20 Nopember 1961 No. Ka. 12/5/36 yang menetapkan
bahwa konversi hak eigendom kepunyaan pemerintah Negara asing dan gedung
kedutaannya di konversi menjadi hak pakai.
Hak pakai dimaksud
adalah hak pakai khusus yang tidak tunduk pada ketentuan pasal 41 hingga 43
UUPA, tetapi yang kini diatur oleh PMDN No. 1/1977, yaitu suatu hak pakai yang
berlangsung untuk jangka waktu yang tidak terbatas dan diperlukan untuk
pelaksanaan tugasnya. Hak pakai tersebut digolongkan pada hak pakai publik
rechttelijk, tidak ada Right di sposalnya yang berarti hak pakai tersebut tidak
dapat dialihkan kepada siapapun dan tidak boleh menjadi hak tanggungan.
Konversi dari
hak-hak atas tanah yang tunduk pada bekas KUHPerdata ini dinyatakan berakhir
pada tanggal 24 September 1980 yang ditegaskan dengan Keputusan Presiden Nomor
32 tahun 1979. Jangka waktu selama 20 tahun cukup layak mentolerir keberadaan
hak barat tersebut di bumi Indonesia.
Konversi hak atas
tanah adat dapat dibedakan dalam tiga bentuk yakni konversi langsung, dengan
penegasan hak dan pengakuan. Sebelum diuraikan lebih lanjut maka akan
dibicarakan ketentuan dasar dari konversinya dalam pasal II, VI, VII ketentuan
konversi.
Pasal II
menyatakan :
a. “Hak-hak atas tanah yang memberi hak atas wewenang
sebagaimana atau mirip dengan hak
yang dimaksud dalam pasal 20 ayat (1) seperti yang tersebut dengan nama sebagai
dibawah, yang ada pada mulai berlakunya Undang- undang ini, yakni: hak
agrarisch eigendom, milik yayasan, andarbeni, grant sultan, landeri janbezi
tercht, altijddurende erfpacht, hak usaha atas bekas tanah partikelir dan
hak-hak lain dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh
Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya Undang-undangini menjadi hak milik
tersebut dalam pasal 20 ayat (1), kecuali jika yang mempunyai tidak memenuhi
syarat sebagai yang disebut dalam pasal 21.”
b. Hak-hak tersebut dalam ayat (1) kepunyaan orang asing,
warganegara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai
kewarganegaraan asing dan badan hukum yang tidak ditunjuk oleh Pemerintah
sebagain yang dimaksud dalam pasal 21 ayat (2) menjadi hak guna usaha atau hak
guna bangunan sesuai dengan peruntukannya, sebagai yang akan ditegaskan lebih
lanjut oleh Menteri Agraria.
Dari isi pasal di
atas terdapat unsur-unsur penting agar sesuatu hak atas tanah dapat dikonversi
menjadi hak milik menurut UUPA yakni :
a.
Hak itu memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan
hak milik menurut pasal 20 UUPA;
b.
Hak dimaksud sudah ada sebelum UUPA;
c.
Pemiliknya harus WNI asli /tunggal atau badan yang
ditunjuk oleh Pemerintah(telah dijelaskan terdahulu);
d.
Subyeknya tidak terkena ketentuan prinsip nasionalitas.
Pasal VI menyatakan :
“Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana
atau mirip dengan hak yang dimaksud dalm pasal 41 ayat (1) seperti yang disebut
dengan nama sebagai dibawah, yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini
yaitu vruchtgebruik , gebruik, garant controleur, bruikleen,ganggam
bauntuik,angaduh ,bengkok,lungguh ,pituas,dan hak-hak lain dengan nama apapun
juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak berlakunya
Undang-undang ini menjadi hak pakai tersebut dalam pasal 41 ayat (1) yang
memberi wewenang dan kewajiban sebagaimana dipunyai oleh pemegang haknya pada
mulai berlakunya Undang-undang ini , sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa
dan ketentuan Undang-undang ini.”
Konversi
Tanah Hak Barat
Jenis Haknya
|
Dikonversi Menjadi dan
Jangka Waktunya
|
Keterangan
|
24-Sep-60
|
24-Sep-80
|
|
Hak Eigendom
|
Hak Milik
|
Berlangsung terus
|
Jangka waktu: Tidak terbatas
|
||
Hak Guna Bangunan
|
Hapus menjadi tanah negara.
|
|
Jangka waktu: 20 tahun
|
Diajukan permohonan baru
|
|
Hak Pakai
|
Berlangsung terus selama diperlukan
|
|
Jangka waktu: Selama diperlukan
|
||
Hak Opstal
|
Hak Guna Bangunan
|
|
Jangka waktu: sisa jangka
waktunya.
|
Hapus menjadi tanah negara.
|
|
Dan paling lama 20 tahun
|
Diajukan permohonan baru
|
|
Hak Erpacht
|
Hak Guna Bangunan
(Perkebunan Besar)
|
|
Jangka waktu: sisa jangka
waktunya.
|
Hapus menjadi tanah negara.
|
|
Dan paling lama 20 tahun
|
Diajukan permohonan baru
|
|
Hak Guna Bangunan (Di
kota/tempat peristirahatan)
|
|
|
Jangka waktu: sisa jangka
waktunya.
|
Hapus menjadi tanah negara.
|
|
Dan paling lama 20 tahun
|
Diajukan permohonan baru
|
|
Hak Guna Bangunan ( Pertanian kecil)
|
|
|
Dihapuskan
|
Hapus menjadi tanah negara.
|
|
Hak Gebruik
|
Hak Pakai
|
|
Jangka waktu: sisa jangka
waktunya.
|
Hapus menjadi tanah negara.
|
|
Dan paling lama 20 tahun
|
Diajukan permohonan baru
|
|
Hak Sewa (atas tanah
negara)
|
Hak Pakai
|
|
Jangka waktu: sisa jangka
waktunya.
|
Hapus menjadi tanah negara.
|
|
Dan paling lama 20 tahun
|
Diajukan permohonan baru
|
|
|
|
|
BAB 4
KESIMPULAN
Pengertian “penguasaan” dan “menguasai”
dapat dipakai dalam arti fisik, juga dalam arti yuridis. Juga beraspek perdata
dan beraspek publik. Penguasaan dalam arti yuridis adalah penguasaan yang
dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan pada umumnya memberi kewenangan
kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki, misalnya
pemilik tanah mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihaki,
tidak diserahkan kepada pihak lain.
Dalam UUPA diatur dan sekaligus
ditetapkan tata jenjang atau hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum
Tanah Nasional kita, Yaitu:
1)
Hak Bangsa
Indonesia atas tanah
2)
Hak menguasai
dari Negara atas tanah
3)
Hak ulayat
masyarakat hukum adat
4)
Hak perorangan
atas tanah meliputi: hak-hak atas tanah, wakaf tanah hak milik, hak tanggungan.
Hak penguasaan atas tanah sebagai
lembaga hukum adalah hak penguasaan atas tanah yang belum dihubungkan dengan
tanah dan orang atau badan hukum tertentu sebagai pemegang haknya. sedangkan
Hak penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum yang konkret yaitu hak
penguasaan atas tanah yang sudah dihubungkan dengan tanah tertentu sebagai
objeknya dan orang atau badan hukum tertentu sebagai subjek atau pemegang
haknya.
Konversi hak atas tanah adalah penyesuaian hak-hak atas tanah yang pernah
tunduk kepada sistem hukum lama yaitu: hak-hak tanah menurut kitab
undang-undang Hukum Perdata Barat dan tanah-tanah yang tunduk kepada Hukum Adat
untuk masuk dalam sistem hak-hak tanah menurut ketentuan UUPA.
Dengan dilakukannya konversi hak atas tanah, maka telah terjadilah
unifikasi terhadap hukum tanah dengan ketentuan-ketentuan nasional. Konversi
hak atas tanah tentu tidak semudah yang diperkirakan, tentu ada kendala-kendala
yang dihadapi oleh pemerintah dalam pelaksanaannya, terutama konversi hak atas
tanah yang tunduk pada hukum adat, seperti gogolan, ganggam bauntuak.
Konversi
hak atas tanah harus memiliki prinsip sebagai berikut :
- Prinsip Nasionalita;
- Prinsip Pengakuan hak – hak atas tanah;
- Prinsip Kepentingan Hukum;
- Prinsip Penyesuaian pada Kepentingan Konversi;
- Prinsip Status Quo hak-hak tanah terdahulu.
DAFTAR PUSTAKA
Harsono, Budi, 1999, Hukum Agraria Indonesia ( Sejarah Pembentukan UUPA),
Djambatan, Jakarta
Parlindungan A.P, 1991, Pedoman Pelaksanaan UUPA dan Tata Cara PPAT, Mandar
Maju, Bandung
--------------------, 1999, Politik Pertanahan Nasional Sampai Orde
Reformasi, Bandung
S, Arie Hutagalung,
2001, Asas-Asas Hukum Agraria, UI-Press, Jakarta
http://hasyimsoska.blogspot.com/2011/05/hak-hak-atas-tanah-menurut-uupa-dan-pp.html
http://leafmyallif.blogspot.com/2012/10/hak-penguasaan-atas-tanah.html
[1] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia
(Jakarta: Djambatan, 2008), hal 23.
[2]
http://leafmyallif.blogspot.com/2012/10/hak-penguasaan-atas-tanah.html
[3] Urip Santoso, Hukum Agraria dan
Hak-hak Atas Tanah (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), hal 73-74.
[4] Arie S Hutagalung, Asas-Asas
Hukum Agraria, UI Press, Jakarta, 2001, h.26
[5]
http://leafmyallif.blogspot.com/2012/10/hak-penguasaan-atas-tanah.html
[6] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia,
Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid
1, Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Cet. Ke-5, Jakarta, 1994, h.193.
[7]
Arie S Hutagalung, Op Cit, h.26
[8]
Ibid, h. 26
[9]
http://hasyimsoska.blogspot.com/2011/05/hak-hak-atas-tanah-menurut-uupa-dan-pp.html
[10] A.P Parlindungan, Komentar Atas
Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung, 1993, h. 124
[11]
Arie S Hutagalung, Op Cit. h. 27
[12]
Ibid, h. 28
Tidak ada komentar:
Posting Komentar