BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perkembangan
pasar modal berbasis syariah di Indonesia cukup dinamis Baik dilihatdari beragamnya
efek syariah yang diterbitkan, indeks syariah yang Diluncurkan maupun Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis
Ulama Indonesia (DSN-MUI) terkait pasar modal dan peraturan Bapepam-LK yang mengatur
mengenai pasar modal berbasis syariah. Penerbitan reksadana syariah oleh PT. Danareksa
Investment Management pada tanggal 3Juli1997 merupakan tonggak pertama perkembangan
pasar modal berbasis syariah di Indonesia.Tonggak berikutnya adalah peluncuran Jakarta
Islamic Index pada tanggal 3 Juli 2000 oleh PT. Bursa Efek Indonesia (PT. Bursa Efek Jakarta) berkerja sama dengan PT.
Danareksa Investment Management.
Selanjutnya, perkembangan pasar modal berbasis
syariah sampai dengan saat ini ditandai dengan
banyaknya produk yang diterbitkan seperti penerbitan sukuk (obligasi syariah), reksadana
syariah, saham yang memenuhi criteria sebagai efek syariah, dan peluncuran Indeks
Saham Syariah Indonesia (ISSI) oleh PT Bursa Efek Indonesia (BEI). Selain
itu terdapat produk syariah lainnya berupa Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)
yang telah diatur melalui Undang-Undang SBSN Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga
Syariah Negara.Sebagai implementasi dari UU tersebut, pemerintah pertama kali menerbitkan
SBSN pada 26 Agustus 2008 yaitu SBSN IFR senilai Rp2,7 triliun dan SBSN IFR 0001
senilai Rp1,9triliun. PenerbitanSBSN
ritel juga menjadi salah satu momentum dalam perkembangan pasar modal syariah. SBSN
ritel yang pertama kali diterbitkan pada tanggal 25 Februari 2009 adalah SR001 senilai
Rp. 5,56 triliun.
Beragamnya produk syariah dipasar modal tersebut
memerlukan adanya kepastian hukum khususnya terkait aspek kesyariahannya. Untuk
itu DSN-MUI telah menerbitkan Fatwa-fatwa terkait pasar modal. Fatwa pertama yang
diterbitkan adalah Fatwa No.20/DSN-MUI/IV/2001 tentang Pedoman Pelaksanan Investasi
untuk Reksadana Syariah. Selanjutnya, DSN-MUI telah menerbitkan Fatwa-fatwa terkait
pasar modal berbasis syariah antaralain FatwaNo.32/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi
Syariah, Fatwa No.40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan
Prinsip Syariah diBidang Pasar Modal, dan Fatwa No.80/DSN-MUI/III/2011 tentang Penerapan
Syariah dalam Mekanisme Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas di Pasar Reguler Bursa
Efek.
Perkembangan pasar modal di Indonesia khususnya
pasar modal berbasis syariah yang dinamis perlu juga didukung dengan kejelasan regulasi
yang diterbitkan oleh Bapepam LK sebagai regulator industri pasar modal di Indonesia.
Hal ini mengingat Fatwa DSN-MUI terkait pasar modal yang telah diterbitkan tidak
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi seluruh pemangku kepentingan diindustri
pasar modal. Oleh karena itu, untuk mendukung perkembangan pasar modal berbasis
syariah, Bapepam-LK telah menerbitkan paket Peraturan terkait pasar modal syariah
yaitu Peraturan Nomor IX.A.13 tentang Penerbitan Efek Syariah, Peraturan Nomor IX.A.14
tentang Akad-akad yang Digunakan dalam Penerbitan Efek Syariah di Pasar Modal, dan
Peraturan Nomor II.K.I tentang Kriteria dan Penerbitan Daftar Efek Syariah.
Dalam implementasi kegiatan pasar modal berbasis
syariah, peraturan Bapepam-LK terkait pasar modal berbasis syariah dan Fatwa DSN-MUI
terkait pasar modal telah dapat memfasilitasi dinamika perkembangan pasar modal
berbasis syariah.
Namun demikian, perkembangan yang cukup dinamis
tersebut perlu terus didukung oleh adanya peraturan Bapepam-LK dan Fatwa DSN-MUI
yang mengatur mengenai kegiatan maupun produk syariah di pasar modal.
Perkembangan pasar modal berbasis syariah yang
cukup dinamis tersebut seringkali mengakibatkan adanya beberapa praktik pasar modal
yang belum tercakup baik dalam Fatwa DSN-MUI ataupun peraturan Bapepam-LK. Beberapa
kegiatan pasar modal yang belum mempunyai landasan Fatwa DSN-MUI namun telah diatur
dalam peraturan Bapepam-LK seperti kegiatan terkait produk derivatif dan produk
syariah yaitu sukuk. Beberapa praktik kegiatan pasar modal yang ada saat ini dan
telah mempunyai landasan Fatwa DSN-MUI namun belum diatur secara khusus dalam peraturan
Bapepam-LK seperti mekanisme pasar reguler untuk perdagangan efek syariah dan DPS.
Disamping itu, beberapa pengaturan dalam Fatwa DSN-MUI terkait pasar modal syariah
belum selaras dengan pengaturan dalam peraturan Bapepam-LK seperti pengertian tentang
nilai wajar dan hak-hak istimewa atas saham.
Berdasarkan uraian diatas menunjukkan bahwa
masih terdapat kesenjangan antara Fatwa DSN-MUI, peraturan dibidang pasar modal,
dan praktik yang ada. Dalam rangka mengetahui lebih lanjut adanya kesenjangan maka
perlu dilakukan suatu kajian yang akan mengidentifikasi kesenjangan antara Fatwa
DSN-MUI, ketentuan dibidang pasar modal, dan praktik yang ada. Dengan adanya kesenjangan
tersebut, dalam rangka menselaraskan Fatwa
DSN-MUI, peraturan Bapepam-LK dan praktik yang ada maka perlu dilakukan sinkronisasi
dan harmonisasi pengaturan mengenai pasar modal syariah antara fatwa DSN-MUI dengan
ketentuan di bidang pasar modal dan praktik yang ada. Kajian ini diharapkan dapat
memberikan masukan kepada pimpinan Bapepam-LK yang akan ditindak lanjuti dengan
melakukan koordinasi dalam rangka penyamaan persepsi antara peraturan dibidang pasar
modal dan Fatwa DSN-MUI terkait pasar modal.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa tugas dan wewenang Dewan Pengawas Syariah
(DPS)?
2.
Bagaimana penerapan prinsip kehati-hatian?
3.
Bagaimana penerapan prinsip syariah dalam Pasar
Modal Syariah?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. PENGAWASAN
PASAR MODAL SYARIAH
Pesatnya
perkembangan bisnis syariah yang terjadi di sector perbankan dan asuransi ternyata juga berdampak pada
pengembangan pasar modal syariah. Sejak diluncurkan secara resmi pada Maret
2003 lalu, pasar modal syariah mengalami perkembangan yang signifikan. Meskipun
Bursa Efek Jakarta (BEJ) telah menerbitkan daftar reksa dana, saham, dan
obligasi syariah dalam Jakarta Islamic Index (JII) pada 3 Juli 2000.
Akan tetapi, dalam mendukung kinerjanya, pasar modal
syariah belum memiliki standar pengawasan berupa ketentuan Badan Pengawas Pasar
Modal (Bapepam). Selama ini, pengawasan pasar modal syariah hanya berjalan
berdasarkan pedoman yang diterbitkan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia (DSN-MUI). Pedoman tersebut mensyaratkan adanya Dewan Pengawas
Syariah (DPS) bagi produk reksa dana syariah dan tim ahli syariah bagi obligasi
dan saham syariah. Sementara itu, JII menggunakan jasa DPS Dana reksa untuk
menyeleksi kesesuaian syariah produk reksa dana, saham, dan obligasi.
Menurut Ketua Umum DSN-MUI, KH Ma’ruf Amin, DSN-MUI
bersama dengan Bapepam tengah berupaya meningkatkan status pengawasan pasar
modal syariah menjadi regulasi formal. Peningkatan status dilakukan dengan
melakukan evaluasi dan penyempurnaan atas pedoman pasar modal syariah versi
DSN-MUI. Jadi, kita membantu Bapepam dalam menyiapkan peraturan pasar modal
syariah. Pedoman yang sudah ada kita perjelas secara detil lalu nanti akan
menjadi peraturan Bapepam.[1]
Ma’ruf menyebutkan, peningkatan status pengawasan menjadi
ketentuan Bapepam sangat penting dilakukan. Tujuannya untuk lebih mendorong
perkembangan industri pasar modal syariah di Indonesia. Ketentuan Bapepam
menunjukkan adanya dukungan dan legitimasi regulator dalam hal pengawasan.
Untuk mendorong perkembangan pasar modal syariah,
pemerintah perlu membuat peraturan perpajakan yang ramah bagi pasar modal
syariah. Undang-undang perpajakan saat ini dinilai menghambat perkembangan
sejumlah instrumen investasi pasar modal syariah. Kendalanya adalah pajak
ganda.
B.
PENGAWASAN DAN PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN
Berkaitan dengan kegiatan usaha lembaga keuangan syariah
termasuk di pasar modal syariah, maka pengawasan merupakan salah satu tugas
pokok Bapepam untuk mengawasi kegiatan usaha di pasar modal syariah. Dalam
menjalankan tugasnya otoritas pengawas pasar modal syariah memerlukan data dan
informasi yang senantiasa kini dan akurat dari para pelaku usaha di pasar modal
syariah yang sehat. Selain memiliki data yang kini dan akurat, pengawasan pasar
modal syariah juga memerlukan piranti pengaturan dalam bentuk standar-standar
pengukuran kinerja atau tingkat kesehatan perbankan seperti standar Camel atau
prinsip kehati-hatian.
Mengingat secara mekanisme kegiatan usaha terdapat
perbedaan yang prinsipil antara pasar modal konvensional dan pasar modal
syariah maka timbul pertanyaan mendasar bagaimana penerapan prudential
regulation pada pasar modal syariah.[2]
Pertanyaan mendasar yang muncul adalah apakah prinsip kehati-hatian dalam
perbankan syariah mengingat dalam perbankan syariah hakikatnya risiki investasi
dana masyarakat pada pasar modal syariah ditanggung pula oleh pihak pemilik dana
atau investor dana.
Meskipun demikian, harus disadari terlebih dahulu bahwa
sebagaimana pada umumnya pembentukan suatu sistem baru maka sistem pasar modal
syariah dewasa ini berada pada tahap pembentukkan. Pada tahap pembentukan ini
maka diperlakuan edukasi dan tahapan agar embrio dari sistem baru tersebut
dapat bertahan hidup dan berkembang. Dengan demikian, apabila pada tahap
pertumbuhan pasar modal syariah sudah harus menjalani persyaratan yang ketat
yang diperlakukan kepada sistem lembaga keuangan yang sudah mapan, maka dengan
kondisi sumber daya yang dewasa ini belum memadai, tanpa adanya jaringan kantor
yang cukup, serta tanpa didukung oleh lingkungan yang kondusif, dapat terjadi
pertumbuhan yang prematur dan mengecewakan.
C.
PENGAWASAN PENERAPAN PRINSIP SYARIAH
Di Indonesia, fatwa ulama mengenai produk dan jasa
keungan syariah diberikan oleh Majelis Ulama Indonesia melalui Dewan Syariah
Nasional. Kemudian untuk mengawasi pelaksanaan pemberian produk produk dan jasa
keuangan oleh lembaga keuangan Dewan
Syariah Nasional akan menunjuk Dewan Pengawas Syariah untuk tiap lembaga
keuangan yang bersangkutan.
Peran Dewan Syariah Nasional dan Dewan Pengawas Syariah
memang tidak terbatas pada pemberian fatwa atas produk, jasa dan transaksi
keuangan yang akan dilakukan oleh lembaga keuangan, tetapi juga harus
menentukkan proses purifikasi dan memonitor pengelolaan lembaga keuangan.
Secara umum tugas Dewan Syariah Nasional dan Dewan Pengawas Syariah meliputi:[3]
1.
Penentuan transaksi keuangan yang diperbolehkan
Mengingat pada ibadah muamallat, maka penentuan transaksi
pembiayaan maupun investasi yang halal menjadi sangat vital. Apabila penerapan
prinsip syariah tidak dilaksanakan dengan konsisten (istiqomah), tetapi
kreatif (fathonah) maka akan menurunkan nilai hakiki dan prinsip syariah
itu sendiri.
2.
Purifikasi
Pada prinsipnya, mencampurkan hal yang halal dan haram
tidak pernah diperbolehkan. Akan tetapi, bila dalam suatu transaksi yang
diperbolehkan kemudian ternyata pemilik dana (investor) dihadapkan pada keadaan
dimana ada pendapatan haram yang tercampur kedalamnya, maka bagian yang haram
tersebut harus dikeluarkan melalui proses yang disebut purifikasi. Akan tetapi,
bila transaksi yang dilakukan sudah haram, maka purifikasi tidak relevan lagi
karena yang diizinkan adalah memisahkan yang haram.
3.
Advokasi untuk investor maupun emiten
Kepentingan pemilik dana (investor) maupun pemilik usaha
(emiten), harus dijunjung tinggi karena itu transaksi keuangan syariah harus
memberikan perlindungan terhadap yang haram khususnya untuk menjaga keimanan,
kehidupan, dan akal mereka. Kepentingan investor maupun emiten harus
ditempatkan secara proporsional, termasuk kepetingan terkait dalam pembagian
hasil usaha (deviden) dan kegiatan perdagangan efek.
4.
Monitor Kepatuhan
Mengingat sifat manusia yang rentan terhadap kesalahan,
maka diperlukan pengawasan atas kepatuhan dari pelaksanaan transaksi terhadap
fatwa yang sudah diberikan. Pengawasan kepatuhan dapat dilakukan dengan
memonitor pelaksanaan sejak awak hingga akhir, termasuk kajian atas dokumentasi
transaksi, dan membuat laporan yang akurat dan tepat waktu atas penyimpangan
yang ada.
5.
Kepedulian pada masyarakat sekitar
Dalam memanfaatkan sumber daya alam yang ada, maka harus
diatur bagaimana alokasi yang jelas bagi pembiayaan untuk kegiatan ekonomi
masyarakat terdekat.
6.
Tanggung jawab sosial
Pada dasarnya Dewan Pengawas Syariah ditempatkan pada
bursa efek dan semua emiten yang menawarkan efek syariah harus mencatatkan efek
syariah tersebut di bursa efek. Dan kemudian bursa efek harus mengeluarkan
ketentuan khusus untuk efek syariah.
D.
PERAN DEWAN PENGAWAS SYARIAH
DSN-MUI dibentuk berdasarkan Surat Keputusan MUI Nomor Kep-754/MUI/II/1999
tanggal 10 Februari 1999 tentang Pembentukan Dewan Syariah Nasional. Anggota DSN-
MUI terdiri dari para ulama, praktisi dan para pakar dalam bidang yang terkait dengan
muamalah syariah. Adapun fungsi DSN-MUI melaksanakan tugas-tugas MUI dalam menangani
masalah-masalah yang berhubungan dengan aktifitas lembaga keuangan syariah. Salah
satu tugas pokok DSN-MUI adalah mengkaji, menggali dan merumuskan nilai dan prinsip-prinsip
hukum Islam (syariah) dalam bentuk fatwa untuk dijadikan pedoman dalam kegiatan
transaksi pada industri keuangan syariah.
Selanjutnya, pada tanggal 1 April 2000, DSN-MUI melalui Keputusan
Nomor 01 Tahun 2000 menerbitkan Pedoman Dasar Dewan Syariah Nasional- Majelis Ulama
Indonesia. Pada angka V, dijelaskan bahwa tugas DSN-MUI adalah (a) menumbuh-kembangkan
penerapan nilainilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan keuangan
pada khususnya; (b) mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan; (c) mengeluarkan
fatwa atas produk dan Jasa keuangan syariah; dan (d) mengawasi penerapan fatwa yang
telah dikeluarkan.
Sedangkan wewenangnya adalah (a) mengeluarkan fatwa yang mengikat
Dewan Pengawas Syariah (DPS) dimasing-masing lembaga keuangan syariah dan menjadi
dasar tindakan hukum pihak terkait; (b) mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan
bagi ketentuan/peraturan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti
Departemen Keuangan dan BankIndonesia; (c) memberikan rekomendasi dan/atau mencabut
rekomendasi nama-nama yang akan duduk sebagai DPS pada suatu lembaga keuangan syariah;
(d) mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang diperlukan dalam pembahasan
ekonomi syariah, termasuk otoritas moneter/ lembaga keuangan dalam maupun luar negeri;
(e) memberikan peringatan kepada lembaga keuangan syariah untuk menghentikan penyimpangan
dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh DSN; dan (f) mengusulkan kepada instansi
yang berwenang untuk mengambil tindakan apabila peringatan tidak diindahkan.
Dewan Pengawas Syariah adalah badan yang ditunjuk oleh
Dewan Syariah Nasional yang ditempatkan di lembaga keuangan atau bisnis syariah
yang bertugas mengawasi kegiatan usaha perusahaan agar sesuai dengan prinsip
syariah.[4]
Dalam Pasal 10 ayat (1) s.d (3) Peraturan ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Per-03/BI/2007 Tentang
Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah telah dikemukakan
mengenai peran Dewan Pengawas Syariah. Dalam ayat (1) dikemukakan bahwa
perusahaan pembiayaan yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah
wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah
yang terdiri paling kurang 2 (dua) orang anggota dan satu orang ketua.
Pada ayat 2 (dua) menegaskan bahwa anggota Dewan Pengawas Syariah diangkat
dalam rapat umum pemegang saham atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia dan
ayat 3 (tiga) menegaskan bahwa Dewan Pengawas Syariah bertugas memberikan
nasihat dan saran kepada direksi, mengawasi aspek syariah kegiatan operasional
perusahaan pembiayaan dan sebagai mediator antara perusahaan pembiayaan dengan
DSN-MUI.
Demikian juga dalam pasal 109 Undang-undang Nomor 40
tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengemukakan bahwa:
1.
Perseroan yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah selain mempunyai Dewan Komisaris wajib mempunyai Dewan Pengawas
Syariah.
2.
Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas seorang ahli syariah atau lebih yang diangkat oleh Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS) atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia.
3.
Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertugas memberikan nasihat dan saran kepada Direksi, serta mengawasi kegiatan
Perseroan agar sesuai dengan prinsip Syariah.
Ketentuan baru dalam Undang-Undang Perseroan terbatas
tersebut merupakan kewajiban perusahaan membentuk Dewan Pengawas Syariah. Bagi
perusahaan yang menjalankan usahanya dengan prinsip syariah selain mempunyai
Dewan Komisaris juga mempunyai Dewan Pengawas Syariah. Dalam ketentuan
tersebut, Dewan Pengawas Syariah tugasnya, memberi nasihat dan saran kepada
direksi, serta mengawasi jalannya perseroan.
Selanjutnya dalam pasal 6 Peraturan Ketua Badan
Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Per-03/BI/2007 tentang
Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah dikemukakan bahwa
kegiatan pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam
pasal 5 adalah:
a.
Sewa Guna Usaha, yang dilakukan berdasarkan:
1) Ijarah;
atau
2) Ijarah
Muntahiyah Bittamlik.
b.
Anjak Piutang, yang dilakukan berdasarkan akada Wakalah
bil Ujrah.
c.
Pembiayaan konsumen yang dilakukan berdasarkan:
1) Murabahah;
2) Salam,
atau
3) Istishna
d.
Usaha kartu kredit yang dilakukan sesuai dengan prinsip
syariah.
e.
Kegiatan pembiayaan lainnya yang dilakukan sesuai dengan
prinsip syariah.
Tugas Dewan Pengawas Syariah sebagai pengawas kegiatan
usaha di pasar modal agar senantiasa sejalan dengan prinsip syariah adalah
sebuah tugas yang sangat berat. Terlebih
lagi apabila mengingat tidak adanya aturan hokum yang cukup jelas mengenai
kewenangan pengawasan tersebut. Tugas Dewan Pengawas Syariah antara lain
bertanggung jawab atas pelaksaaan fatwa DSN-MUI dan menyampaikan hasil laporan
pengawasan di dalam pelaksanaan obligasi syariah.
Tugasnya yang berat tampaknya akan seakin berat dalam
pelaksanaannya karena tidak diimbangi dengan pengaturan yang lebih rinci. Tidak
ada aturan mengenai tata hubungan yang jelas antara Dewan pengawas Syariah,
komisaris, dan direksi. Hasil pengawasan Dewan Pengawas Syariah pun tidak jelas
status hukumnya. Tidak ada jaminan bahwa hasil pengawasannya dapat mengikat
direksi, karea hasil pengawasannya bersifat rekomendatif. Oleh karena itu,
tampaknya akan jauh lebih baik, apabila Bapepam yang sekarang menjadi OJK
mengeluarkan aturan lebih rinci mengenai Dewan Pengawas Syariah. Selain itu,
berbagai fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional juga sebaiknya
dicoba untuk diformalkan dalam peraturan yang berlaku di kalangan pasar modal.
Hal ini disebabkan MUI bukanlah lembaga Negara yang punya
kewenangan untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang mengikat publik.[5]
Sebaliknya, di sisi OJK adalah perangkat pemerintah dibidang pasar modal yang
dapat menciptakan kebijakan hokum atau peraturan perundang-undangan. Oleh
karena itu, perlu diupayakan suatu pola hubungan antara OJK dan Dewan Syariah
Nasional dimana Nasional sebagai perumus substansi atau materi pengaturan dan
OJK sebagai lembaga yang akan memformalkan materi tersebut sesuai dengan tata
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Apabila hal tersebut
dimungkinkan, peran Dewan Pengawas Syariah tampaknya akan lebih optimal dalam
menyelenggarakan pasar modal syariah. Sebagai perseroan terbatas kepentingan
pasar modal syariah pada dasarnya sama dengan badan usaha yang berbentuk
perseroan terbatas lainnya, yaitu menghasilkan keuntungan ekonomis. Nilai
materialism yang begitu kental dalam konsep tidak sejalan dengan prinsip
syariah. Sebagai sebuah paradigm piritualis, memperoleh kebaikan di dunia,
tetapi yang terpenting adalah memperoleh kebikan dunia akhirat
Pada konteks ini, umumnya dipahami bahwa manusia akan
memperoleh kebaikan di akhirat apabila tuhan ridha dengan dirinya. Berdasarkan
paradigma tersebut seharusnya kepentingan pelaku usaha pasar modal syariah
tidak bisa semata-mata hanya menghasilkan keuntungan ekonomis. Kepentingan
utama penyelenggaraan pasar modal syariah adalah untuk mencari keridhaan Tuhan.
Artinya, keberadaan pasar modal syariah tidak semata-mata ditentukan oleh besar
kecilnya keuntungan yang dihasilkan. Apabila penyelenggaraan pasar modal
syariah hanya terfokus pada upaya untuk menghasilkan keuntungan ekonomis maka
pasar modal syariah telah menjadi salah satu penopang sitem ekonomi
kapitalistik dan itu artinya pasar modal syariah ikut bertanggung jawab atas
eksploitasi dan penghisapan antarmanusia yang lahir sebgai konsekuensi dari
system tersebut.
Fungsi Dewan Pengawas Syariah sebagai pengawas memiliki
kesamaan dengan fungsi komisaris. Bedanya, kepentingan komisaris dalam
melakukan fungsinya adalah memastikan pasar modal selalu menghasilkan
keuntungan ekonomis. Akan tetapi, kepentingan Dewan Pengawas Syariah
semata-mata hanya untuk menjaga kemurnian ajaran Islam dalam praktik kegiatan
di pasar modal syariah. Leh karena itu, kedudukan Dewan pengawas Syariah dan
Komisaris sebenarnya punya potensi besar melahirkan konflik sebab Dewan Pengawas Syariah harus berpihak
pada kemurnian ajaran Islam walaupun itu bisa membuat perusahaan kehilangan
keuntungan.
Sebaliknya, di sisi lain, Komisaris harus berpihak pada
keuntungan, walaupun itu artinya harus menyimpangi syariah. Oleh
karena itu, agar Dewan Pengawas Syariah bisa berperan optimal tampaknya perlu
ada ketegasan dalam anggaran dasar perseroan terbatas yang menjalankan usaha
pasar modal syariah bahwa tujuan penyelenggaraannya adalah untuk memperoleh
ridha Allah dan bahwa itu harus menjadi prinsip dasar pengelolaan secara
syariah. Dapat pula dibuat semacam aturan yang agak rinci mengenai pelanggaran
prinsip syariah dan sanksi dapat dijatuhkan.
Dengan demikian, Dewan Pengawas Syariah adalah lembaga
khas dimiliki oleh pasar modal syariah.
Tugasnya sangat berat, yaitu sebagai pengawas kegiatan usaha pasar modal
agar senantiasa sejalan dengan prinsip syariah. Dalam menjalankan tugas
tersebut adalah sangat penting untuk membekali Dewan Pengawas Syariah dengan
wewenang yang cukup dan membuat aturan yang rinci mengenai kedudukannya. Hal
tersebut akan membuat prinsip good
corporate governance lebih udah dirterapkan dalam Dewan Pengawas Syariah.
Pada kenyataannya, pengaturan Dewan Pengawas Syariah yang
ada sekarang sangat minim. Hal ini terlihat sekali apabila pengaturan untuk
Dewan Pengawas Syariah dibandingkan dengan pengaturan untuk RUPS, komisaris,
direksi. Tanpa ada pengaturan yang cukup rinci, Dewan Pengawas Syariah
tampaknya tidak dapat optimal dalam menjalankan fungsi pengawasaannya. Bahkan
bukan tidak mungkin, Dewan Pengawas Syariah hanya menjadi lembaga stempel saja.
Artinya Dewan Pengawas Syariah menjadi lembaga yang membuat seolah-olah semua
produk pasar modal telah sesuai syariah, padahal pada kenyataannya tidak. Ini
sangat berbahaya karena mereka adalah otoritas yang menentukan kesesuaian
penerapan hukum islam dalam operasional para pelaku usaha di pasar modal. Untuk
mencegah hal tersebut aturan mengenai Dewan Pengawas Syariah tidak hanya perlu,
melainkan sangat mendesak sifatnya.
Pada akhirnya, kunci optimalisasi Dewan Pengawas Syariah
ada pada kebijaksanaan OJK. Kedudukan Dewan Pengawas Syariah
dan tata cara kerjanya dalam penyelenggaraan pasar modal syariah harus diatur
dalam peraturan yang berlaku di OJK. Segala fatwa yang dibuat Dewan Syariah
Nasional yang menjadi acuan kerja Dewan Pengawas Syariah sebisa mungkin juga
harus diperjuangkan untuk diadopsi dalam peraturan OJK. Dengan demikian, fatwa tersebut akan memiliki daya laku
dan daya ikat yang lebih kuat. Semoga hal tersebut dapat mendorong optimalisasi
Dewan Pengawas Syariah dalam penyelenggaraan pasar modal syariah.
E.
KETERKAITAN FATWA DALAM PASAR MODAL SYARIAH
Pasar modal syariah dapat diartikan sebagai pasar modal yang
menerapkan prinsip-prinsip syariah dalam kegiatan transaksi ekonomi dan terlepas
dari hal-hal yang dilarang seperti riba, perjudian, spekulasi dan lain-lain. Ketentuan
operasional pasar modal syariah diatur melalui fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI.
Selama ini DSN-MUI menampung berbagai masalah/kasus yang berhubungan dengan masalah
ekonomi/keuangan untuk mendorong penerapan prinsip-prinsip syariah di pasar modal.
DSN-MUI juga memiliki kerja sama yang erat dengan Bapepam-LK dalam mengembangkan
pasar modal syariah melalui penyusunan regulasi-regulasi terkait pasar modal syariah
untuk memberikan kemudahan bagi semua pihak yang memiliki minat atau kepentingan
terhadap pasar modal berbasis syariah untuk memahami kerangka dalam prinsip-prinsip
syariah dipasar modal.
Sampai dengan saat ini, terdapat sekitar 20 Fatwa DSN-MUI
yang berhubungan dengan pasar modal syariah. Fatwa terbaru yang diterbitkan adalah
Fatwa No.80/DSN-MUI/III/2011 tentang Penerapan Syariah dalam Mekanisme Perdagangan
Efek Bersifat Ekuitas di Pasar Reguler Bursa Efek. Adapun fatwa-fatwa terkait industri
keuangan syariah termasuk fatwa tentang pasar modal syariah, sebagai berikut:
a. Fatwa No.07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh)
(FatwaNo.07)
b. Fatwa No.08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah (FatwaNo.08)
c. Fatwa No.09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah(FatwaNo.09)
d. Fatwa No.10/DSN-MUI/IV/2000 tentang Wakalah (FatwaNo.10)
e. Fatwa No.11/DSN-MUI/IV/2000 tentang Kafalah (FatwaNo.11)
f.
Fatwa No.20/DSN-MUI/IV/2001 tentang Pedoman Pelaksanaan
Investasi untuk ReksaDana Syariah (FatwaNo.20)
g. Fatwa No.32/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah(FatwaNo.32)
h. Fatwa No.33/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah Mudharabah
(FatwaNo.33)
i.
Fatwa No.40/DSN-MUI/X/2003 tentang
Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah diBidang Pasar Modal
(FatwaNo.40)
j.
Fatwa No.41/DSN-MUI/III/2004
tentang Obligasi Syariah Ijarah (FatwaNo.41)
k. Fatwa No.50/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Mudharabah
Musytarakah
(FatwaNo.50)
l.
Fatwa No.59/DSN-MUI/V/2007
tentang Obligasi Syariah Mudharabah Konversi (FatwaNo.59)
m. Fatwa No.65/DSN-MUI/III/2008 tentang Hak Memesan Efek Terlebih
Dahulu Syariah (FatwaNo.65)
n. Fatwa No.66/DSN-MUI/III/2008 tentang Waran Syariah (FatwaNo.66)
o. Fatwa No.69/DSN-MUI/VI/2008 tentang Surat Berharga Syariah
Negara (FatwaNo.69)
p.
Fatwa No.70/DSN-MUI/VI/2008 tentang Metode
Penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (FatwaNo.70)
q. Fatwa No.71/DSN-MUI/VI/2008 tentang Sale dan Lease
Back (FatwaNo.71)
r.
Fatwa No.72/DSN-MUI/VI/2008
tentang Surat Berharga Syariah Negara Ijarah Sale dan Lease Back (FatwaNo.72)
s. Fatwa No.76/DSN-MUI/VI/2010 tentang Surat Berharga Syariah
Negara Ijarah Asset To Be Leased (FatwaNo.76)
t.
Fatwa No.80/DSN-MUI/III/2011 tentang Penerapan
Syariah dalamMekanisme Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas di Pasar Reguler Bursa
Efek (FatwaNo.80)
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan analisis dan pembahasan yang telah diuraikan
dalam Bab sebelumnya dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1.
Hasil identifikasi menunjukkan bahwa secara garis besar
ketentuan didalam fatwa-fatwa DSN-MUI terkait penerapan prinsip-prinsip syariah
di pasar modal telah sejalan dengan ketentuan dan praktik yang ada di bidang
pasar modal. Hal ini di dukung dengan hasil bahwa pada prinsipnya peraturan Bapepam-LK
dan praktik yang ada telah sejalan dengan Fatwa DSN-MUI.
2.
Hasil identifikasi menunjukkan bahwa terdapat beberapa
pokok bahasan dalam fatwa DSN-MUI yang secara substansi belum selaras dengan
Peraturan dibidang pasar modal dan praktik yang ada, antara lain sebagai
berikut:
a.
Saham yang memiliki hak-hak istimewa dalam definisi saham
syariah dalam Fatwa No.40 dijelaskan bahwa saham-saham yang memiliki hak-hak istimewa
tidak termasuk didalam saham syariah. Namun demikian, fatwa tersebut belum memberikan
penjelasan mengenai pengertian dan batasan saham yang memiliki hak-hak istimewa.
Sedangkan dalam UUPM maupun Peraturan Nomor IX.A.13 tidak secara jelas memberikan
pelarangan terhadap saham yang memiliki hak-hak istimewa sebagai saham syariah.
b.
Dewan Pengawas Syariah (DPS) dan Pihak-pihak yang mengerti
prinsip syariah dipasar modal. Keberadaan DPS tidak diatur dalam Fatwa No.20 maupun
Peraturan Bapepam-LK dalam Peraturan Nomor IX.A.13 pihak yang menerbitkan efek syariah
hanya diwajibkan untuk memiliki anggota direksi atau wakil dan penanggung jawab
atas pelaksanaan kegiatan kustodian yang mengerti dan memahami prinsip-prinsip syariah
dipasarmodal. Sementara itu, praktik penerbitan reksa dana syariah, pihak penerbit
pada umumnya mengangkat atau menunjuk DPS dalam rangka pemenuhan kesyariahaannya.
c.
Mekanisme Operasional dalam Reksa Dana Syariah. Ketentuan
mekanisme operasional dalam reksa dana syariah pada Fatwa No.20 dibagi menjadi 2
akad, sedangkan di peraturan hanya menggunakan satu jenis akad. Berkenaan dengan
hal tersebut, untuk saat ini ketentuan terkait mekanisme operasional dalam reksa
dana syariah mengikuti peraturan Bapepam-LK.
d.
Mekanisme Pembersihan Kekayaan Non Halal Reksa Dana Syariah
ketentuan pembersihan unsur non halal sebagaimana diatur dalam Fatwa No.20 bahwa
hasil investasi yang dibagikan harus bersih dari unsur non halal. Sedangkan dalam
Peraturan Nomor IX.A.13 mengatur mengenai pembersihan unsur non halal yang lebih
luas yaitu kekayaan reksa dana syariah.
e.
Transaksi Efek. Pengaturan transaks iefek dalam Fatwa
No.40 yang diuraikan lebih lanjut dalam Fatwa No.80 secara eksplisit melarang
transaksi shortselling dan transaksi marjin. Namun demikian, untuk
anggota bursa yang menawarkan produk atau jasa transaksi syariah kepada nasabah
belum terdapat ketentuan di bidang pasar modal yang melarang transaksi shortselling
dan transaksi marjin.
3.
Bapepam-LK dan DSN-MUI sangat mungkin untuk melakukan penyempurnaan
terhadap peraturan dan fatwa sebagai tindak lanjut harmonisasi dan sinkronisasi.
Penyempurnaan tersebut dilakukan dengan penyusunan dan atau revisi peraturan oleh
Bapepam-LK dan penerbitan fatwa baru atau opini oleh DSN-MUI.
DAFTAR PUSTAKA
Adrian
Sutedi, Pasar Modal Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011),
Tidak ada komentar:
Posting Komentar