Minggu, 15 September 2013

Makalah Hukum Pasar Modal : Peran Dewan Pengawas Syariah (DPS) dalam Pasar Modal Syariah



BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Perkembangan pasar modal berbasis syariah di Indonesia cukup dinamis Baik dilihatdari beragamnya efek syariah yang diterbitkan, indeks syariah yang  Diluncurkan maupun Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) terkait pasar modal dan peraturan Bapepam-LK yang mengatur mengenai pasar modal berbasis syariah. Penerbitan reksadana syariah oleh PT. Danareksa Investment Management pada tanggal 3Juli1997 merupakan tonggak pertama perkembangan pasar modal berbasis syariah di Indonesia.Tonggak berikutnya adalah peluncuran Jakarta Islamic Index pada tanggal 3 Juli 2000 oleh PT. Bursa Efek Indonesia (PT. Bursa Efek Jakarta) berkerja sama dengan PT. Danareksa Investment Management.
Selanjutnya, perkembangan pasar modal berbasis syariah sampai dengan saat  ini ditandai dengan banyaknya produk yang diterbitkan seperti penerbitan sukuk (obligasi syariah), reksadana syariah, saham yang memenuhi criteria sebagai efek syariah, dan peluncuran Indeks Saham Syariah Indonesia (ISSI) oleh PT Bursa Efek Indonesia (BEI). Selain itu terdapat produk syariah lainnya berupa Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) yang telah diatur melalui Undang-Undang SBSN Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara.Sebagai implementasi dari UU tersebut, pemerintah pertama kali menerbitkan SBSN pada 26 Agustus 2008 yaitu SBSN IFR senilai Rp2,7 triliun dan SBSN IFR 0001 senilai Rp1,9triliun. PenerbitanSBSN ritel juga menjadi salah satu momentum dalam perkembangan pasar modal syariah. SBSN ritel yang pertama kali diterbitkan pada tanggal 25 Februari 2009 adalah SR001 senilai Rp. 5,56 triliun.
Beragamnya produk syariah dipasar modal tersebut memerlukan adanya kepastian hukum khususnya terkait aspek kesyariahannya. Untuk itu DSN-MUI telah menerbitkan Fatwa-fatwa terkait pasar modal. Fatwa pertama yang diterbitkan adalah Fatwa No.20/DSN-MUI/IV/2001 tentang Pedoman Pelaksanan Investasi untuk Reksadana Syariah. Selanjutnya, DSN-MUI telah menerbitkan Fatwa-fatwa terkait pasar modal berbasis syariah antaralain FatwaNo.32/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah, Fatwa No.40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah diBidang Pasar Modal, dan Fatwa No.80/DSN-MUI/III/2011 tentang Penerapan Syariah dalam Mekanisme Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas di Pasar Reguler Bursa Efek.
Perkembangan pasar modal di Indonesia khususnya pasar modal berbasis syariah yang dinamis perlu juga didukung dengan kejelasan regulasi yang diterbitkan oleh Bapepam LK sebagai regulator industri pasar modal di Indonesia. Hal ini mengingat Fatwa DSN-MUI terkait pasar modal yang telah diterbitkan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi seluruh pemangku kepentingan diindustri pasar modal. Oleh karena itu, untuk mendukung perkembangan pasar modal berbasis syariah, Bapepam-LK telah menerbitkan paket Peraturan terkait pasar modal syariah yaitu Peraturan Nomor IX.A.13 tentang Penerbitan Efek Syariah, Peraturan Nomor IX.A.14 tentang Akad-akad yang Digunakan dalam Penerbitan Efek Syariah di Pasar Modal, dan Peraturan Nomor II.K.I tentang Kriteria dan Penerbitan Daftar Efek Syariah.
Dalam implementasi kegiatan pasar modal berbasis syariah, peraturan Bapepam-LK terkait pasar modal berbasis syariah dan Fatwa DSN-MUI terkait pasar modal telah dapat memfasilitasi dinamika perkembangan pasar modal berbasis syariah.
Namun demikian, perkembangan yang cukup dinamis tersebut perlu terus didukung oleh adanya peraturan Bapepam-LK dan Fatwa DSN-MUI yang mengatur mengenai kegiatan maupun produk syariah di pasar modal.
Perkembangan pasar modal berbasis syariah yang cukup dinamis tersebut seringkali mengakibatkan adanya beberapa praktik pasar modal yang belum tercakup baik dalam Fatwa DSN-MUI ataupun peraturan Bapepam-LK. Beberapa kegiatan pasar modal yang belum mempunyai landasan Fatwa DSN-MUI namun telah diatur dalam peraturan Bapepam-LK seperti kegiatan terkait produk derivatif dan produk syariah yaitu sukuk. Beberapa praktik kegiatan pasar modal yang ada saat ini dan telah mempunyai landasan Fatwa DSN-MUI namun belum diatur secara khusus dalam peraturan Bapepam-LK seperti mekanisme pasar reguler untuk perdagangan efek syariah dan DPS. Disamping itu, beberapa pengaturan dalam Fatwa DSN-MUI terkait pasar modal syariah belum selaras dengan pengaturan dalam peraturan Bapepam-LK seperti pengertian tentang nilai wajar dan hak-hak istimewa atas saham.
Berdasarkan uraian diatas menunjukkan bahwa masih terdapat kesenjangan antara Fatwa DSN-MUI, peraturan dibidang pasar modal, dan praktik yang ada. Dalam rangka mengetahui lebih lanjut adanya kesenjangan maka perlu dilakukan suatu kajian yang akan mengidentifikasi kesenjangan antara Fatwa DSN-MUI, ketentuan dibidang pasar modal, dan praktik yang ada. Dengan adanya kesenjangan tersebut,  dalam rangka menselaraskan Fatwa DSN-MUI, peraturan Bapepam-LK dan praktik yang ada maka perlu dilakukan sinkronisasi dan harmonisasi pengaturan mengenai pasar modal syariah antara fatwa DSN-MUI dengan ketentuan di bidang pasar modal dan praktik yang ada. Kajian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pimpinan Bapepam-LK yang akan ditindak lanjuti dengan melakukan koordinasi dalam rangka penyamaan persepsi antara peraturan dibidang pasar modal dan Fatwa DSN-MUI terkait pasar modal.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa tugas dan wewenang Dewan Pengawas Syariah (DPS)?
2.      Bagaimana penerapan prinsip kehati-hatian?
3.      Bagaimana penerapan prinsip syariah dalam Pasar Modal Syariah?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGAWASAN PASAR MODAL SYARIAH
Pesatnya perkembangan bisnis syariah yang terjadi di sector perbankan dan asuransi ternyata juga berdampak pada pengembangan pasar modal syariah. Sejak diluncurkan secara resmi pada Maret 2003 lalu, pasar modal syariah mengalami perkembangan yang signifikan. Meskipun Bursa Efek Jakarta (BEJ) telah menerbitkan daftar reksa dana, saham, dan obligasi syariah dalam Jakarta Islamic Index (JII) pada 3 Juli 2000.
Akan tetapi, dalam mendukung kinerjanya, pasar modal syariah belum memiliki standar pengawasan berupa ketentuan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam). Selama ini, pengawasan pasar modal syariah hanya berjalan berdasarkan pedoman yang diterbitkan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Pedoman tersebut mensyaratkan adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS) bagi produk reksa dana syariah dan tim ahli syariah bagi obligasi dan saham syariah. Sementara itu, JII menggunakan jasa DPS Dana reksa untuk menyeleksi kesesuaian syariah produk reksa dana, saham, dan obligasi.
Menurut Ketua Umum DSN-MUI, KH Ma’ruf Amin, DSN-MUI bersama dengan Bapepam tengah berupaya meningkatkan status pengawasan pasar modal syariah menjadi regulasi formal. Peningkatan status dilakukan dengan melakukan evaluasi dan penyempurnaan atas pedoman pasar modal syariah versi DSN-MUI. Jadi, kita membantu Bapepam dalam menyiapkan peraturan pasar modal syariah. Pedoman yang sudah ada kita perjelas secara detil lalu nanti akan menjadi peraturan Bapepam.[1]
Ma’ruf menyebutkan, peningkatan status pengawasan menjadi ketentuan Bapepam sangat penting dilakukan. Tujuannya untuk lebih mendorong perkembangan industri pasar modal syariah di Indonesia. Ketentuan Bapepam menunjukkan adanya dukungan dan legitimasi regulator dalam hal pengawasan.
Untuk mendorong perkembangan pasar modal syariah, pemerintah perlu membuat peraturan perpajakan yang ramah bagi pasar modal syariah. Undang-undang perpajakan saat ini dinilai menghambat perkembangan sejumlah instrumen investasi pasar modal syariah. Kendalanya adalah pajak ganda.

B.     PENGAWASAN DAN PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN
Berkaitan dengan kegiatan usaha lembaga keuangan syariah termasuk di pasar modal syariah, maka pengawasan merupakan salah satu tugas pokok Bapepam untuk mengawasi kegiatan usaha di pasar modal syariah. Dalam menjalankan tugasnya otoritas pengawas pasar modal syariah memerlukan data dan informasi yang senantiasa kini dan akurat dari para pelaku usaha di pasar modal syariah yang sehat. Selain memiliki data yang kini dan akurat, pengawasan pasar modal syariah juga memerlukan piranti pengaturan dalam bentuk standar-standar pengukuran kinerja atau tingkat kesehatan perbankan seperti standar Camel atau prinsip kehati-hatian.
Mengingat secara mekanisme kegiatan usaha terdapat perbedaan yang prinsipil antara pasar modal konvensional dan pasar modal syariah maka timbul pertanyaan mendasar bagaimana penerapan prudential regulation pada pasar modal syariah.[2] Pertanyaan mendasar yang muncul adalah apakah prinsip kehati-hatian dalam perbankan syariah mengingat dalam perbankan syariah hakikatnya risiki investasi dana masyarakat pada pasar modal syariah ditanggung pula oleh pihak pemilik dana atau investor dana.
Meskipun demikian, harus disadari terlebih dahulu bahwa sebagaimana pada umumnya pembentukan suatu sistem baru maka sistem pasar modal syariah dewasa ini berada pada tahap pembentukkan. Pada tahap pembentukan ini maka diperlakuan edukasi dan tahapan agar embrio dari sistem baru tersebut dapat bertahan hidup dan berkembang. Dengan demikian, apabila pada tahap pertumbuhan pasar modal syariah sudah harus menjalani persyaratan yang ketat yang diperlakukan kepada sistem lembaga keuangan yang sudah mapan, maka dengan kondisi sumber daya yang dewasa ini belum memadai, tanpa adanya jaringan kantor yang cukup, serta tanpa didukung oleh lingkungan yang kondusif, dapat terjadi pertumbuhan yang prematur dan mengecewakan.

C.     PENGAWASAN PENERAPAN PRINSIP SYARIAH
Di Indonesia, fatwa ulama mengenai produk dan jasa keungan syariah diberikan oleh Majelis Ulama Indonesia melalui Dewan Syariah Nasional. Kemudian untuk mengawasi pelaksanaan pemberian produk produk dan jasa keuangan oleh lembaga  keuangan Dewan Syariah Nasional akan menunjuk Dewan Pengawas Syariah untuk tiap lembaga keuangan yang bersangkutan.
Peran Dewan Syariah Nasional dan Dewan Pengawas Syariah memang tidak terbatas pada pemberian fatwa atas produk, jasa dan transaksi keuangan yang akan dilakukan oleh lembaga keuangan, tetapi juga harus menentukkan proses purifikasi dan memonitor pengelolaan lembaga keuangan. Secara umum tugas Dewan Syariah Nasional dan Dewan Pengawas Syariah meliputi:[3]
1.      Penentuan transaksi keuangan yang diperbolehkan
Mengingat pada ibadah muamallat, maka penentuan transaksi pembiayaan maupun investasi yang halal menjadi sangat vital. Apabila penerapan prinsip syariah tidak dilaksanakan dengan konsisten (istiqomah), tetapi kreatif (fathonah) maka akan menurunkan nilai hakiki dan prinsip syariah itu sendiri.
2.      Purifikasi
Pada prinsipnya, mencampurkan hal yang halal dan haram tidak pernah diperbolehkan. Akan tetapi, bila dalam suatu transaksi yang diperbolehkan kemudian ternyata pemilik dana (investor) dihadapkan pada keadaan dimana ada pendapatan haram yang tercampur kedalamnya, maka bagian yang haram tersebut harus dikeluarkan melalui proses yang disebut purifikasi. Akan tetapi, bila transaksi yang dilakukan sudah haram, maka purifikasi tidak relevan lagi karena yang diizinkan adalah memisahkan yang haram.
3.      Advokasi untuk investor maupun emiten
Kepentingan pemilik dana (investor) maupun pemilik usaha (emiten), harus dijunjung tinggi karena itu transaksi keuangan syariah harus memberikan perlindungan terhadap yang haram khususnya untuk menjaga keimanan, kehidupan, dan akal mereka. Kepentingan investor maupun emiten harus ditempatkan secara proporsional, termasuk kepetingan terkait dalam pembagian hasil usaha (deviden) dan kegiatan perdagangan efek.
4.      Monitor Kepatuhan
Mengingat sifat manusia yang rentan terhadap kesalahan, maka diperlukan pengawasan atas kepatuhan dari pelaksanaan transaksi terhadap fatwa yang sudah diberikan. Pengawasan kepatuhan dapat dilakukan dengan memonitor pelaksanaan sejak awak hingga akhir, termasuk kajian atas dokumentasi transaksi, dan membuat laporan yang akurat dan tepat waktu atas penyimpangan yang ada.
5.      Kepedulian pada masyarakat sekitar
Dalam memanfaatkan sumber daya alam yang ada, maka harus diatur bagaimana alokasi yang jelas bagi pembiayaan untuk kegiatan ekonomi masyarakat terdekat.
6.      Tanggung jawab sosial
Pada dasarnya Dewan Pengawas Syariah ditempatkan pada bursa efek dan semua emiten yang menawarkan efek syariah harus mencatatkan efek syariah tersebut di bursa efek. Dan kemudian bursa efek harus mengeluarkan ketentuan khusus untuk efek syariah.

D.    PERAN DEWAN PENGAWAS SYARIAH
DSN-MUI dibentuk berdasarkan Surat Keputusan MUI Nomor Kep-754/MUI/II/1999 tanggal 10 Februari 1999 tentang Pembentukan Dewan Syariah Nasional. Anggota DSN- MUI terdiri dari para ulama, praktisi dan para pakar dalam bidang yang terkait dengan muamalah syariah. Adapun fungsi DSN-MUI melaksanakan tugas-tugas MUI dalam menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan aktifitas lembaga keuangan syariah. Salah satu tugas pokok DSN-MUI adalah mengkaji, menggali dan merumuskan nilai dan prinsip-prinsip hukum Islam (syariah) dalam bentuk fatwa untuk dijadikan pedoman dalam kegiatan transaksi pada industri keuangan syariah.
Selanjutnya, pada tanggal 1 April 2000, DSN-MUI melalui Keputusan Nomor 01 Tahun 2000 menerbitkan Pedoman Dasar Dewan Syariah Nasional- Majelis Ulama Indonesia. Pada angka V, dijelaskan bahwa tugas DSN-MUI adalah (a) menumbuh-kembangkan penerapan nilainilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan keuangan pada khususnya; (b) mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan; (c) mengeluarkan fatwa atas produk dan Jasa keuangan syariah; dan (d) mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan.
Sedangkan wewenangnya adalah (a) mengeluarkan fatwa yang mengikat Dewan Pengawas Syariah (DPS) dimasing-masing lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar tindakan hukum pihak terkait; (b) mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan/peraturan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti Departemen Keuangan dan BankIndonesia; (c) memberikan rekomendasi dan/atau mencabut rekomendasi nama-nama yang akan duduk sebagai DPS pada suatu lembaga keuangan syariah; (d) mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang diperlukan dalam pembahasan ekonomi syariah, termasuk otoritas moneter/ lembaga keuangan dalam maupun luar negeri; (e) memberikan peringatan kepada lembaga keuangan syariah untuk menghentikan penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh DSN; dan (f) mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk mengambil tindakan apabila peringatan tidak diindahkan.

Dewan Pengawas Syariah adalah badan yang ditunjuk oleh Dewan Syariah Nasional yang ditempatkan di lembaga keuangan atau bisnis syariah yang bertugas mengawasi kegiatan usaha perusahaan agar sesuai dengan prinsip syariah.[4]
Dalam Pasal 10 ayat (1) s.d (3) Peraturan ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Per-03/BI/2007 Tentang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah telah dikemukakan mengenai peran Dewan Pengawas Syariah. Dalam ayat (1) dikemukakan bahwa perusahaan pembiayaan yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah  yang terdiri paling kurang 2 (dua) orang anggota dan satu orang ketua. Pada ayat 2 (dua) menegaskan bahwa anggota Dewan Pengawas Syariah diangkat dalam rapat umum pemegang saham atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia dan ayat 3 (tiga) menegaskan bahwa Dewan Pengawas Syariah bertugas memberikan nasihat dan saran kepada direksi, mengawasi aspek syariah kegiatan operasional perusahaan pembiayaan dan sebagai mediator antara perusahaan pembiayaan dengan DSN-MUI.
Demikian juga dalam pasal 109 Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengemukakan bahwa:
1.      Perseroan yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah selain mempunyai Dewan Komisaris wajib mempunyai Dewan Pengawas Syariah.
2.      Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas seorang ahli syariah atau lebih yang diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia.
3.      Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas memberikan nasihat dan saran kepada Direksi, serta mengawasi kegiatan Perseroan agar sesuai dengan prinsip Syariah.

Ketentuan baru dalam Undang-Undang Perseroan terbatas tersebut merupakan kewajiban perusahaan membentuk Dewan Pengawas Syariah. Bagi perusahaan yang menjalankan usahanya dengan prinsip syariah selain mempunyai Dewan Komisaris juga mempunyai Dewan Pengawas Syariah. Dalam ketentuan tersebut, Dewan Pengawas Syariah tugasnya, memberi nasihat dan saran kepada direksi, serta mengawasi jalannya perseroan.
Selanjutnya dalam pasal 6 Peraturan Ketua Badan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Per-03/BI/2007 tentang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah dikemukakan bahwa kegiatan pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 adalah:
a.       Sewa Guna Usaha, yang dilakukan berdasarkan:
1)      Ijarah; atau
2)      Ijarah Muntahiyah Bittamlik.
b.      Anjak Piutang, yang dilakukan berdasarkan akada Wakalah bil Ujrah.
c.       Pembiayaan konsumen yang dilakukan berdasarkan:
1)      Murabahah;
2)      Salam, atau
3)      Istishna
d.      Usaha kartu kredit yang dilakukan sesuai dengan prinsip syariah.
e.       Kegiatan pembiayaan lainnya yang dilakukan sesuai dengan prinsip syariah.

Tugas Dewan Pengawas Syariah sebagai pengawas kegiatan usaha di pasar modal agar senantiasa sejalan dengan prinsip syariah adalah sebuah tugas yang sangat berat.  Terlebih lagi apabila mengingat tidak adanya aturan hokum yang cukup jelas mengenai kewenangan pengawasan tersebut. Tugas Dewan Pengawas Syariah antara lain bertanggung jawab atas pelaksaaan fatwa DSN-MUI dan menyampaikan hasil laporan pengawasan di dalam pelaksanaan obligasi syariah.
Tugasnya yang berat tampaknya akan seakin berat dalam pelaksanaannya karena tidak diimbangi dengan pengaturan yang lebih rinci. Tidak ada aturan mengenai tata hubungan yang jelas antara Dewan pengawas Syariah, komisaris, dan direksi. Hasil pengawasan Dewan Pengawas Syariah pun tidak jelas status hukumnya. Tidak ada jaminan bahwa hasil pengawasannya dapat mengikat direksi, karea hasil pengawasannya bersifat rekomendatif. Oleh karena itu, tampaknya akan jauh lebih baik, apabila Bapepam yang sekarang menjadi OJK mengeluarkan aturan lebih rinci mengenai Dewan Pengawas Syariah. Selain itu, berbagai fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional juga sebaiknya dicoba untuk diformalkan dalam peraturan yang berlaku di kalangan pasar modal.
Hal ini disebabkan MUI bukanlah lembaga Negara yang punya kewenangan untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang mengikat publik.[5] Sebaliknya, di sisi OJK adalah perangkat pemerintah dibidang pasar modal yang dapat menciptakan kebijakan hokum atau peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, perlu diupayakan suatu pola hubungan antara OJK dan Dewan Syariah Nasional dimana Nasional sebagai perumus substansi atau materi pengaturan dan OJK sebagai lembaga yang akan memformalkan materi tersebut sesuai dengan tata peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Apabila hal tersebut dimungkinkan, peran Dewan Pengawas Syariah tampaknya akan lebih optimal dalam menyelenggarakan pasar modal syariah. Sebagai perseroan terbatas kepentingan pasar modal syariah pada dasarnya sama dengan badan usaha yang berbentuk perseroan terbatas lainnya, yaitu menghasilkan keuntungan ekonomis. Nilai materialism yang begitu kental dalam konsep tidak sejalan dengan prinsip syariah. Sebagai sebuah paradigm piritualis, memperoleh kebaikan di dunia, tetapi yang terpenting adalah memperoleh kebikan dunia akhirat
Pada konteks ini, umumnya dipahami bahwa manusia akan memperoleh kebaikan di akhirat apabila tuhan ridha dengan dirinya. Berdasarkan paradigma tersebut seharusnya kepentingan pelaku usaha pasar modal syariah tidak bisa semata-mata hanya menghasilkan keuntungan ekonomis. Kepentingan utama penyelenggaraan pasar modal syariah adalah untuk mencari keridhaan Tuhan. Artinya, keberadaan pasar modal syariah tidak semata-mata ditentukan oleh besar kecilnya keuntungan yang dihasilkan. Apabila penyelenggaraan pasar modal syariah hanya terfokus pada upaya untuk menghasilkan keuntungan ekonomis maka pasar modal syariah telah menjadi salah satu penopang sitem ekonomi kapitalistik dan itu artinya pasar modal syariah ikut bertanggung jawab atas eksploitasi dan penghisapan antarmanusia yang lahir sebgai konsekuensi dari system tersebut.
Fungsi Dewan Pengawas Syariah sebagai pengawas memiliki kesamaan dengan fungsi komisaris. Bedanya, kepentingan komisaris dalam melakukan fungsinya adalah memastikan pasar modal selalu menghasilkan keuntungan ekonomis. Akan tetapi, kepentingan Dewan Pengawas Syariah semata-mata hanya untuk menjaga kemurnian ajaran Islam dalam praktik kegiatan di pasar modal syariah. Leh karena itu, kedudukan Dewan pengawas Syariah dan Komisaris sebenarnya punya potensi besar melahirkan konflik  sebab Dewan Pengawas Syariah harus berpihak pada kemurnian ajaran Islam walaupun itu bisa membuat perusahaan kehilangan keuntungan.
Sebaliknya, di sisi lain, Komisaris harus berpihak pada keuntungan, walaupun itu artinya harus menyimpangi syariah. Oleh karena itu, agar Dewan Pengawas Syariah bisa berperan optimal tampaknya perlu ada ketegasan dalam anggaran dasar perseroan terbatas yang menjalankan usaha pasar modal syariah bahwa tujuan penyelenggaraannya adalah untuk memperoleh ridha Allah dan bahwa itu harus menjadi prinsip dasar pengelolaan secara syariah. Dapat pula dibuat semacam aturan yang agak rinci mengenai pelanggaran prinsip syariah dan sanksi dapat dijatuhkan.
Dengan demikian, Dewan Pengawas Syariah adalah lembaga khas dimiliki oleh pasar modal syariah.  Tugasnya sangat berat, yaitu sebagai pengawas kegiatan usaha pasar modal agar senantiasa sejalan dengan prinsip syariah. Dalam menjalankan tugas tersebut adalah sangat penting untuk membekali Dewan Pengawas Syariah dengan wewenang yang cukup dan membuat aturan yang rinci mengenai kedudukannya. Hal tersebut akan membuat prinsip good corporate governance lebih udah dirterapkan dalam Dewan Pengawas Syariah.
Pada kenyataannya, pengaturan Dewan Pengawas Syariah yang ada sekarang sangat minim. Hal ini terlihat sekali apabila pengaturan untuk Dewan Pengawas Syariah dibandingkan dengan pengaturan untuk RUPS, komisaris, direksi. Tanpa ada pengaturan yang cukup rinci, Dewan Pengawas Syariah tampaknya tidak dapat optimal dalam menjalankan fungsi pengawasaannya. Bahkan bukan tidak mungkin, Dewan Pengawas Syariah hanya menjadi lembaga stempel saja. Artinya Dewan Pengawas Syariah menjadi lembaga yang membuat seolah-olah semua produk pasar modal telah sesuai syariah, padahal pada kenyataannya tidak. Ini sangat berbahaya karena mereka adalah otoritas yang menentukan kesesuaian penerapan hukum islam dalam operasional para pelaku usaha di pasar modal. Untuk mencegah hal tersebut aturan mengenai Dewan Pengawas Syariah tidak hanya perlu, melainkan sangat mendesak sifatnya.
Pada akhirnya, kunci optimalisasi Dewan Pengawas Syariah ada pada kebijaksanaan OJK. Kedudukan Dewan Pengawas Syariah dan tata cara kerjanya dalam penyelenggaraan pasar modal syariah harus diatur dalam peraturan yang berlaku di OJK. Segala fatwa yang dibuat Dewan Syariah Nasional yang menjadi acuan kerja Dewan Pengawas Syariah sebisa mungkin juga harus diperjuangkan untuk diadopsi dalam peraturan OJK. Dengan demikian, fatwa tersebut akan memiliki daya laku dan daya ikat yang lebih kuat. Semoga hal tersebut dapat mendorong optimalisasi Dewan Pengawas Syariah dalam penyelenggaraan pasar modal syariah.

E.     KETERKAITAN FATWA DALAM PASAR MODAL SYARIAH
Pasar modal syariah dapat diartikan sebagai pasar modal yang menerapkan prinsip-prinsip syariah dalam kegiatan transaksi ekonomi dan terlepas dari hal-hal yang dilarang seperti riba, perjudian, spekulasi dan lain-lain. Ketentuan operasional pasar modal syariah diatur melalui fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI. Selama ini DSN-MUI menampung berbagai masalah/kasus yang berhubungan dengan masalah ekonomi/keuangan untuk mendorong penerapan prinsip-prinsip syariah di pasar modal. DSN-MUI juga memiliki kerja sama yang erat dengan Bapepam-LK dalam mengembangkan pasar modal syariah melalui penyusunan regulasi-regulasi terkait pasar modal syariah untuk memberikan kemudahan bagi semua pihak yang memiliki minat atau kepentingan terhadap pasar modal berbasis syariah untuk memahami kerangka dalam prinsip-prinsip syariah dipasar modal.
Sampai dengan saat ini, terdapat sekitar 20 Fatwa DSN-MUI yang berhubungan dengan pasar modal syariah. Fatwa terbaru yang diterbitkan adalah Fatwa No.80/DSN-MUI/III/2011 tentang Penerapan Syariah dalam Mekanisme Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas di Pasar Reguler Bursa Efek. Adapun fatwa-fatwa terkait industri keuangan syariah termasuk fatwa tentang pasar modal syariah, sebagai berikut:
a.       Fatwa No.07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh) (FatwaNo.07)
b.      Fatwa No.08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah (FatwaNo.08)
c.       Fatwa No.09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah(FatwaNo.09)
d.      Fatwa No.10/DSN-MUI/IV/2000 tentang Wakalah (FatwaNo.10)
e.       Fatwa No.11/DSN-MUI/IV/2000 tentang Kafalah (FatwaNo.11)
f.       Fatwa No.20/DSN-MUI/IV/2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk ReksaDana Syariah (FatwaNo.20)
g.      Fatwa No.32/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah(FatwaNo.32)
h.      Fatwa No.33/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah Mudharabah (FatwaNo.33)
i.        Fatwa No.40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah diBidang Pasar Modal (FatwaNo.40)
j.        Fatwa No.41/DSN-MUI/III/2004 tentang Obligasi Syariah Ijarah (FatwaNo.41)
k.      Fatwa No.50/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Mudharabah Musytarakah
(FatwaNo.50)
l.        Fatwa No.59/DSN-MUI/V/2007 tentang Obligasi Syariah Mudharabah Konversi (FatwaNo.59)
m.    Fatwa No.65/DSN-MUI/III/2008 tentang Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu Syariah (FatwaNo.65)
n.      Fatwa No.66/DSN-MUI/III/2008 tentang Waran Syariah (FatwaNo.66)
o.      Fatwa No.69/DSN-MUI/VI/2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (FatwaNo.69)
p.      Fatwa No.70/DSN-MUI/VI/2008 tentang Metode Penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (FatwaNo.70)
q.      Fatwa No.71/DSN-MUI/VI/2008 tentang Sale dan Lease Back (FatwaNo.71)
r.        Fatwa No.72/DSN-MUI/VI/2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara Ijarah Sale dan Lease Back (FatwaNo.72)
s.       Fatwa No.76/DSN-MUI/VI/2010 tentang Surat Berharga Syariah Negara Ijarah Asset To Be Leased (FatwaNo.76)
t.        Fatwa No.80/DSN-MUI/III/2011 tentang Penerapan Syariah dalamMekanisme Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas di Pasar Reguler Bursa Efek (FatwaNo.80)


BAB III
PENUTUP

Berdasarkan analisis dan pembahasan yang telah diuraikan dalam Bab sebelumnya dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1.      Hasil identifikasi menunjukkan bahwa secara garis besar ketentuan didalam fatwa-fatwa DSN-MUI terkait penerapan prinsip-prinsip syariah di pasar modal telah sejalan dengan ketentuan dan praktik yang ada di bidang pasar modal. Hal ini di dukung dengan hasil bahwa pada prinsipnya peraturan Bapepam-LK dan praktik yang ada telah sejalan dengan Fatwa DSN-MUI.
2.      Hasil identifikasi menunjukkan bahwa terdapat beberapa pokok bahasan dalam fatwa DSN-MUI yang secara substansi belum selaras dengan Peraturan dibidang pasar modal dan praktik yang ada, antara lain sebagai berikut:
a.       Saham yang memiliki hak-hak istimewa dalam definisi saham syariah dalam Fatwa No.40 dijelaskan bahwa saham-saham yang memiliki hak-hak istimewa tidak termasuk didalam saham syariah. Namun demikian, fatwa tersebut belum memberikan penjelasan mengenai pengertian dan batasan saham yang memiliki hak-hak istimewa. Sedangkan dalam UUPM maupun Peraturan Nomor IX.A.13 tidak secara jelas memberikan pelarangan terhadap saham yang memiliki hak-hak istimewa sebagai saham syariah.
b.      Dewan Pengawas Syariah (DPS) dan Pihak-pihak yang mengerti prinsip syariah dipasar modal. Keberadaan DPS tidak diatur dalam Fatwa No.20 maupun Peraturan Bapepam-LK dalam Peraturan Nomor IX.A.13 pihak yang menerbitkan efek syariah hanya diwajibkan untuk memiliki anggota direksi atau wakil dan penanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan kustodian yang mengerti dan memahami prinsip-prinsip syariah dipasarmodal. Sementara itu, praktik penerbitan reksa dana syariah, pihak penerbit pada umumnya mengangkat atau menunjuk DPS dalam rangka pemenuhan kesyariahaannya.
c.       Mekanisme Operasional dalam Reksa Dana Syariah. Ketentuan mekanisme operasional dalam reksa dana syariah pada Fatwa No.20 dibagi menjadi 2 akad, sedangkan di peraturan hanya menggunakan satu jenis akad. Berkenaan dengan hal tersebut, untuk saat ini ketentuan terkait mekanisme operasional dalam reksa dana syariah mengikuti peraturan Bapepam-LK.
d.      Mekanisme Pembersihan Kekayaan Non Halal Reksa Dana Syariah ketentuan pembersihan unsur non halal sebagaimana diatur dalam Fatwa No.20 bahwa hasil investasi yang dibagikan harus bersih dari unsur non halal. Sedangkan dalam Peraturan Nomor IX.A.13 mengatur mengenai pembersihan unsur non halal yang lebih luas yaitu kekayaan reksa dana syariah.
e.       Transaksi Efek. Pengaturan transaks iefek dalam Fatwa No.40 yang diuraikan lebih lanjut dalam Fatwa No.80 secara eksplisit melarang transaksi shortselling dan transaksi marjin. Namun demikian, untuk anggota bursa yang menawarkan produk atau jasa transaksi syariah kepada nasabah belum terdapat ketentuan di bidang pasar modal yang melarang transaksi shortselling dan transaksi marjin.
3.      Bapepam-LK dan DSN-MUI sangat mungkin untuk melakukan penyempurnaan terhadap peraturan dan fatwa sebagai tindak lanjut harmonisasi dan sinkronisasi. Penyempurnaan tersebut dilakukan dengan penyusunan dan atau revisi peraturan oleh Bapepam-LK dan penerbitan fatwa baru atau opini oleh DSN-MUI.
DAFTAR PUSTAKA

Adrian Sutedi, Pasar Modal Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011),



[1] Adrian Sutedi, Pasar Modal Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), Hlm. 234

[2] Adrian Sutedi, Pasar Modal Syariah, Hlm. 235


[3] Adrian Sutedi, Pasar Modal Syariah, Hlm. 236


[4] Pasal 1 angka 2 Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Per-03/BI/2007 tentang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah
[5] Adrian Sutedi, Pasar Modal Syariah, Hlm. 241


Tidak ada komentar:

Posting Komentar