Minggu, 15 September 2013

Hukum Pajak : Intisari dari kuliah Syahrul Marzuki, S.H., M.H (Dosen Hukum Pajak UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)



1.      Pengertian Hukum Pajak
Hukum pajak atau juga disebut hukum fiskal, adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat melalui kas negara, sehingga ia merupakan bagian dari hukum publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukum antar negara & orang-orang atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak (wajib pajak).
Sedangkan definisi pajak sendiri tidak mempunyai batasan diantaranya adalah:
a.       Prof. Dr. P.J.A Adriani
Pajak adalah iuran kepada negara (yang dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-paraturan dengan tidak mendapat prestasi-kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggerakan pemerintahan.
b.         Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H.
Dalam bukunya Dasar-Dasar Hukum Pajak Dan Pajak Pendapatan, Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan mendapat jasa-jasa timbal (kontra-prestasi), yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
Tetapi pengertian tersebut dikoreksi lagi dalam bukunya yang berjudul Pajak dan Pembangunan , Eresco, 1974, halaman 8 “Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat ke kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan ‘surplus’-nya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment”.
c.       UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemamakmuran rakyat. (Pasal 1 Angka 1)
Dari beberapa definis diatas & berdasarkan ciri-ciri dari pajak dapat ditarik kesimpulan bahwa pajak adalah iuran yang dipungut baik oleh pemerintah pusat maupun daerah berdasarkan kekuatan undang-undang serta aturan palaksanaannya kepada wajib pajak yang diperuntukan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah baik yang bersifat pembiayaan (public Investment) maupun mengatur untuk mencapai kesejahteraan umum.
2.      Fungsi Pajak
a.       Fungsi anggaran (budgetair)
Sebagai sumber pendapatan negara pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya.
b.      Fungsi mengatur (regulerend)
Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan.
c.       Fungsi redistribusi pendapatan
Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.
d.      Fungsi stabilitas
Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan,
a.    Fungsi Budgetair atau Fungsi Finansial.
Fungsi Budgetair atau fungsi financial yaitu fungsi pajak untuk memasukkan uang ke Kas Negara. Atau dengan kata lain fungsi pajak sebagai sumber penerimaan negara dan digunakan untuk pengeluaran negara, baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan. Pajak merupakan sumber penerimaan negara yang sangat penting artinya dalam pembangunan di Indonesia, karena penerimaan negara dari pos pajak menduduki porsi jumlah terbesar dibandingkan dengan penerimaan dari pos minyak bumi ataupun gas alam.
Disamping pajak, negara mempunyai sumber penerimaan lain, sebagai berikut :

                                                     i.     Hasil pengolahan bumi, air dan kekayaan alam lainnya.
                                                   ii.     Keuntungan dari perusahaan negara.
                                                 iii.     Denda-denda dan penyitaan barang-barang yang dilakukan oleh pemerintah karena suatu pelanggaran hokum.
                                                 iv.     Penerimaan dari departemen-departemen yang bersifat non-tax.
                                                   v.     Pinjaman-pinjaman atau bantuan-bantuan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
                                                 vi.     Pencetakan uang, hadiah atau hibah.

b.    Fungsi Regulerend atau Fungsi Mengatur.
     Fungsi Regulerend atau fungsi mengatur yaitu fungsi pajak untuk mengatur sesuatu keadaan di masyarakat, dibidang social atau ekonomi sesuai dengan kebijakan pemerintah.

Beberapa penerapan pelaksanaan fungsi Mengatur antara lain:
                                                     i.     Pemberlakuan tarif progresif pada pajak penghasilan, yang dimaksudkan untuk pemerataan pendapatan nasional atau sebagai alat dalam redistribusi pendapatan nasional.
                                                   ii.     Pemberlakuan Bea Masuk yang tinggi bagi barang-barang impor dengan tujuan untuk melindungi (proteksi) terhadap produsen dalam negeri, sehingga mendorong perkembangan industri dalam negeri.
                                                 iii.     Pemberian fasilitas tax holiday atau pembebasan pajak untuk beberapa jenis industri tertentu dengan maksud mendorong para investor untuk meningkatkan investasinya.
                                                 iv.     Pengenaan pajak yang tinggi terhadap barang-barang mewah dengan tujuan untuk menghambat perkembangan gaya hidup mewah.
3.      Hukum Pajak
Hukum Pajak mengatur hubungan antara pemerintah (fiscus) selaku pemungut pajak dengan rakyat sebagai Wajib Pajak. Ada 2 macam hukum pajak yaitu:
a.         Hukum pajak materil
Yaitu memuat norma-norma yang menerangkan antara lain keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenai pajak (objek pajak), siapa yang dikenakan pajak (subjek), berapa besar pajak yang dikenakan (tarif), segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya utang pajak, dan hubungan hukum antara pemerintah dan Wajib Pajak. Contoh: Undang-undang Pajak Penghasilan.
b.      Hukum pajak formil
Memuat bentuk atau tata cara untuk mewujudkan hukum materil menjadi kenyataan (cara melaksanakan hukum pajak materil). Hukum iini memuat antara lain:
                                                i.          Tata cara penyelanggaraan (prosedur) penetapan suatu utang pajak.
                                              ii.          Hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap para Wajib Pajak mengenai keadaan, perbuatan dna peristiwa yang menimbulkan utang pajak.
                                            iii.          Kewajiban Wajib Pajak misalnya menyelenggarakan pembukuan/pencatatan, dan hak-hak Wajib Pajak misalnya mengajukan keberatan atau banding. Contoh: Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.


4.      Pembagian Pajak
Dalam Hukum Pajak terdapat pembagian jenis-jenis pajak yang dibagi dalam berbagai pengelompokan atau pembagian, sebagai berikut:

a.       Pengelompokan Pajak Menurut Golongannya
                                                i.          Pajak Langsung
Yaitu pajak yang dimaksudkan untuk dipikul sendiri oleh yang membayarnya. Jadi pajak jenis ini tidak bisa dilimpahkan atau digeser kepada pihak lain. Misalnya Pajak Penghasilan (PPh), PPh tidak bisa dilimpahkan atau digeser kepada orang atau pihak lain untuk menanggungnya.
                                                  ii.      Pajak Tidak Langsung
Yaitu pajak yang dimaksudkan dapat dilimpahkan atau dibebankan oleh yang membayar kepada pihak lain. Misalnya Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Pajak jenis ini bisa dilimpahkan atau digeserkan oleh penjual kepada pembeli.

b.    Pengelompokan Pajak Menurut Sifatnya
                                                    i.      Pajak Subyektif (Pajak yang Bersifat Perorangan)
Yaitu pajak yang dalam pengenaannya memperhatikan keadaan atau kondisi pribadi wajib pajak (status kawin atau tidak kawin, mempunyai tanggungan keluarga atau tidak). Misalnya Pajak Penghasilan, keadaan atau kondisi wajib pajak akan mempengaruhi dalam hal Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) nya.
                                                  ii.      Pajak Obyektif (Pajak yang Bersifat Kebendaan)
Yaitu pajak yang dalam pengenaannya hanya memperhatikan sifat obyek pajaknya saja, tanpa memperhatikan keadaan atau kondisi diri wajib pajak. Misalnya Bea Meterai yang dipungut apabila obyek pajak telah ada dan memenuhi syarat sebagai suatu dokumen yang dikenakan pajak tanpa melihat kondisi dari wajib pajak.
 Begitupun dalam Pajak Pertambahan Nilai yang pengenaannya juga tidak dilihat dari kondisi pribadi wajib pajak tetapi tergantung pada obyek tersebut apakah sudah memenuhi syarat untuk dikenakan PPN.

c.    Pengelompokan Pajak Menurut Lembaga Pemungutnya
                                                i.          Pajak Pusat (Pajak Negara)
Yaitu pajak yang wewenang pemungutannya ada ditangan pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Misalnya Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan.
                                                  ii.      Pajak Daerah
Yaitu pajak yang wewenang pemungutannya ada pada pemerintah daerah dan digunakan untuk kepentingan pembiayaan rumah tangga pemerintah daerah tersebut.
Pajak Daerah terdiri dari :
1.        Pajak Propinsi
Yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah Tingkat I (Propinsi). Misalnya Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
2.        Pajak Kabupaten/Kota
Yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kota). Misalnya Pajak Hotel, Pajak Restoran dan Pajak Hiburan.
5.    Cara Pemungutan Pajak
Dalam pemungutan pajak dikenal 3 (tiga) macam stelsel pajak, yaitu:
a.    Stelsel Nyata
Dimana pengenaan pajak didasarkan pada obyek (misalnya penghasilan) yang nyata sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yaitu setelah obyek yang sesungguhnya diketahui.
Kelebihan dari stelsel ini adalah pajak yang dikenakan lebih realistis. Sedangkan kelemahannya adalah pajak baru dapat dipungut pada akhir periode (setelah obyeknya diketahui).

b.    Stelsel Anggapan atau Fiktif
Yaitu stelsel yang mendasarkan pemungutan pajak berdasarkan pada suatu anggapan (fiksi). Misalnya dalam kaitannya dengan Pajak Penghasilan, umumnya anggapan yang digunakan adalah penghasilan tahun sekarang (tahun berjalan) sama dengan penghasilan tahun yang lalu (tahun sebelumnya) sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan.
Kebaikan dari stelsel ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu pada akhir tahun pajak. Sedangkan kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya.

c.       Stelsel Campuran
Stelsel Campuran merupakan kombinasi antara stelsel nyata dengan stelsel anggapan. Dalam penerapannya, stelsel campuran mula-mula pada awal tahun ditentukan jumlah pajak berdasarkan jumlah anggapan tertentu dan kemudian setelah tahun pajak berakhir diadakan koreksi sesuai dengan stelsel nyata.
Kebaikan dari stelsel ini adalah bahwa pajak sudah dapat dipungut pada awal tahun pajak. Sedangkan kelemahannya adalah fiskus menghitung kembali jumlah pajak setelah tahun pajak berakhir sehingga mengakibatkan beban pekerjaan fiskus bertambah dan akibatnya seringkali tidak terselesaikan.
6.        Sistem Pemungutan Pajak
Pada dasarnya terdapat 3 (tiga) sistem yang dipergunakan untuk menentukan siapa yang menghitung dan menetapkan jumlah pajak terutang oleh seseorang, yaitu :
a.       Official Assesment System
Official Assesment System yaitu sistem pemungutan pajak yang menyatakan bahwa jumlah pajak yang terutang oleh wajib pajak dihitung dan ditetapkan oleh aparat pajak atau fiskus. Dalam sistem ini utang pajak timbul bila telah ada ketetapan pajak dari fiskus (sesuai dengan ajaran formil tentang timbulnya utang pajak). Jadi dalam hal ini wajib pajak bersifat pasif.

b.      Self Assesment System
Self Assesment System yaitu sistem pemungutan pajak dimana wewenang menghitung besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak diserahkan oleh fiskus kepada wajib pajak yang bersangkutan, sehingga dengan sisten ini wajib pajak harus aktif untuk menghitung, menyetor dan melaporkan kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Sedangkan fiskus bertugas memberikan penerangan dan pengawas.

c.    With Holding System
With Holding System yaitu sistem pemungutan pajak yang menyatakan bahwa jumlah pajak terutang dihitung oleh pihak ketiga (yang bukan wajib pajak dan juga bukan aparat pajak / fiskus). 

7.        Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP).
a.       Pengertian NPWP
Adalah tanda pengenal diri atau identitas wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
b.      Fungsi NPWP, diantaranya:
                                      i.      Sarana dalam administrasi perpajakan.
                                    ii.      Tanda pengenal diri atau Identitas WP dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
                                  iii.      Dicantumkan dalam setiap dokumen perpajakan.
                                  iv.      Menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan pengawasan administrasi perpajakan.
c.         Pendaftaran Untuk Mendapatkan NPWP
Berdasarkan sistem self assessment setiap WP wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau melalui Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan (KP4) yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan WP, untuk diberikan NPWP.
Kewajiban mendaftarkan diri berlaku pula terhadap wanita kawin yang dikenakan pajak secara terpisah, karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta.
Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu yang mempunyai tempat usaha berbeda dengan tempat tinggal, selain wajib mendaftarkan diri ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggalnya, juga diwajibkan mendaftarkan diri ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan.
Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, bila sampai dengan suatu bulan memperoleh penghasilan yang jumlahnya telah melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) setahun, wajib mendaftarkan diri paling lambat pada akhir bulan berikutnya.
WP Orang Pribadi lainnya yang memerlukan NPWP dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh NPWP.
d.      Tata cara Pendaftaran NPWP
Untuk mendapatkan NPWP Wajib Pajak (WP) mengisi formulir pendaftaran dan menyampaikan secara langsung atau melalui pos ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan (KP4) setempat dengan melampirkan:
                                               i.      Untuk WP Orang Pribadi Non-Usahawan
Fotokopi Kartu Tanda Penduduk bagi penduduk Indonesia atau foto kopi paspor ditambah surat keterangan tempat tinggal dari instansi yang berwenang minimal Lurah atau Kepala Desa bagi orang asing.
                                              ii.     Untuk WP Orang Pribadi Usahawan:
     Fotokopi KTP bagi penduduk Indonesia atau fotokopi paspor ditambah surat keterangan tempat tinggal dari instansi yang berwenang minimal Lurah atau Kepala Desa bagi orang asing.
     Surat Keterangan tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dari instansi yang berwenang minimal Lurah atau Kepala Desa.
                                           iii.      Untuk WP Badan:
        Fotokopi akte pendirian dan perubahan terakhir atau surat keterangan penunjukkan dari kantor pusat bagi BUT.
        Fotokopi KTP bagi penduduk Indonesia atau fotokopi paspor ditambah surat keterangan tempat tinggal dari instansi yang berwenang minimal Lurah atau Kepala Desa bagi orang asing, dari salah seorang pengurus aktif.
        Surat Keterangan tempat kegiatan usaha dari instansi yang berwenang minimal kabupaten Lurah atau Kepala Desa.
e.    Penerbitan NPWP Secara Jabatan
     KPP dapat menerbitkan NPWP secara jabatan, apabila WP tidak mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP. Bila berdasarkan data yang dimiliki Direktorat Jenderal Pajak ternyata WP memenuhi syarat untuk memperoleh NPWP maka terhadap wajib pajak yang bersangkutan dapat diterbitkan NPWP secara sepihak oleh Direktorat Jenderal Pajak.
a.       Pengertian NPPKP
NPPKP (Nomor pengukuhan pengusaha kena pajak) adalah setiap wajib pajak sebagai pengusaha yang dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN) berdasrkan undang-undang PPN wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan pengusaha kena pajak (PKP) dan atau pengusaha yang dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak memiliki surat pengukuhan kena pajak yang berisi identitas dan kewajban perpajakan Pengusaha kena pajak.
b.      Fungsi-fungsi NPPKP adalah sebagai berikut:
                                                    i.      Untuk mengetahui identitas pengusaha kena pajak yang sebenarnya.
                                                  ii.      Untuk melaksanakan hak dan kewajiban di pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah.
                                                iii.      Untuk pengawasan terhadap administrasi perpajakan.
c.       Pencabutan PKP adalah sebagai berikut:
                                                    i.      Pengusaha PKP pindah alamat kewilayah kerja KPP lain
                                                  ii.      Pindah tempat kedudukan
                                                iii.      Pindah tempat kegiatan usaha
                                                iv.      Perubahan status perusahaan.
d.      Kewajiaban wajib pajak adalah sebagai berikut:
                                                    i.      Mendaftarkan diri untuk mendapatkan nomor pokok wajib pajak (NPWP)
                                                  ii.      Menghitung dan membayar sendiri pajak dengan benar.
                                                iii.      Mengambil sendiri surat pemberitahuan pajak dan mengisi dengan benar dan memasukkan sendiri dengan dalam batas waktu yang telah ditetapkan.
                                                iv.      Menyelenggarakan pembukuan dan pencatatan.
                                                  v.      Memperlihatkan buku atau catatan dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen yang lain yang berhubungan dengan penhasilan yang diperoleh dalam kegiatan usaha pekerja bebas wajib pajak atau objek penanda tanganan pajak
                                                vi.      Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat diruangan tempat perusahaan yang akan diperiksa.
                                              vii.      Memberikan keterangan yang seperlunya


8.        Kewajiban Setelah Ber-NPWP
Kewajiban yang harus dipenuhi oleh seorang Wajib Pajak, dapat dilihat pada Surat Keterangan Terdaftar (yaitu surat yang diperoleh dari Kantor Pelayanan Pajak, ketika kita mendaftarkan diri dan diberikan bersamaan dengan Kartu NPWP. Bagi Orang Pribadi yang mendaftarkan diri melalui pemberi kerja dengan program yang disebut e-NPWP, maka surat keterangan terdaftar ini harus dimintakan tersendiri ke Kantor Pelayanan Pajak tempat kita terdaftar dengan membawa kartu NPWP). Dalam Surat Keterangan Terdaftar ini, dapat kita lihat kewajiban PPh sesuai dengan Pasal-Pasalnya, diantaranya:
                            i.      Kewajiban PPh Pasal 21, berarti bahwa Wajib Pajak yang bersangkutan harus melakukan pemotongan PPh atas pembayaran gaji kepada karyawan/pegawai yang kita pekerjakan (mungkin karyawan perusahaan, karyawan toko, atau pembantu yang bekerja di tempat usaha kita). Setelah melakukan pemotongan PPh Pasal 21 maka setiap bulan, Wajib Pajak yang bersangkutan harus melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21/26 (bentuk formulirnya lihat di bagian download SPT).
                          ii.      Kewajiban PPh Pasal 22, kewajiban ini tidak penulis bahas karena menyangkut ke instansi tertentu yang ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 sehingga untuk Wajib Pajak umum, biasanya tidak memiliki kewajiban ini. Kelak akan dibahas secara khusus pada bagian lain.
                        iii.      Kewajiban PPh Pasal 23, berarti bahwa Wajib Pajak yang bersangkutan harus melakukan pemotongan PPh atas pembayaran biaya-biaya berupa bunga, dividen, royalti, hadiah dan jasa-jasa yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23. Kewajiban ini akan ada pada Wajib Pajak yang menyelenggarakan pembukuan dalam menghitung penghasilan netonya, orang pribadi yang menjalankan usaha sebagai: akuntan, arsitek, dokter, notaris, PPAT (kecuali Camat), Pengacara dan konsultan yang melakukan pekerjaan bebas. Setelah melakukan pemotongan PPh Pasal 23 maka setiap bulan, Wajib Pajak yang bersangkutan harus melaporkan SPT Masa PPh Pasal 23/26 (bentuk formulirnya lihat di bagian download SPT).
                        iv.      Kewajiban PPh Pasal 26, yaitu kewajiban yang harus dilakukan oleh Wajib Pajak untuk melakukan pemotongan terhadap pembayaran biaya-biaya (sama seperti untuk objek PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23) namun yang dibayarkan kepada Subjek Pajak Luar Negeri. Setelah melakukan pemotongan PPh Pasal 26 maka setiap bulan, Wajib Pajak yang bersangkutan harus melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21/26 atau SPT Masa PPh Pasal 23/26 yang digabungkan dengan laporan yang telah disebutkan pada angka 2 dan 3 di atas.
                          v.      Kewajiban PPh Pasal 4 ayat (2) atau PPh Pasal 15, kewajiban ini hampir sama seperti kewajiban untuk PPh Pasal 23, hanya objek-objek Penghasilannya dikenakan pajak yang bersifat final, misalnya sewa tanah dan/atau bangunan, jual tanah dan/atau bangunan, jual saham di bursa efek, hadiah undian, jasa konstruksi dan sebagainya.
                        vi.      Kewajiban PPh Pasal 25/29, kewajiban ini terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu kewajiban PPh Pasal 25 yang dilakukan setiap bulan dan kewajiban PPh Pasal 29 yang dilakukan bersamaan dengan pelaporan SPT Tahunan PPh Badan atau Orang Pribadi setiap tahunnya. Kewajiban PPh Pasal 25 adalah merupakan angsuran/cicilan sebanyak 12 bulan pembayaran PPh atas perkiraan PPh selama setahun untuk tahun pajak yang sedang berjalan.

Jika Anda Terdaftar Sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi dengan Pekerjaan Karyawan/Pegawai dan tidak memiliki usaha sampingan atau usaha di luar penghasilan sebagai karyawan/pegawai, maka kewajiban yang harus dilakukan adalah melaporkan seluruh penghasilan dan potongan pajak yang telah diberikan oleh pemberi kerja (perusahaan atau majikan tempat Anda bekerja) yang hanya dilakukan setahun sekali dengan menggunakan formulir yang disebut sebagai SPT Tahunan PPh Orang Pribadi. Ada beberapa formulir SPT Tahunan yang disesuaikan dengan penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak Orang Pribadi, yaitu:
                         i.          Wajib Pajak Orang Pribadi yang hanya mendapatkan penghasilan hanya dari 1 (satu) pemberi kerja (gaji, honor, tunjangan dan sejenisnya) dengan penghasilan kurang dari Rp 60.000.000 setahun, melaporkan SPT Tahunan dengan menggunakan Formulir SPT Tahunan PPh Orang Pribadi 1770 SS.
                       ii.          Wajib Pajak Orang Pribadi yang mendapatkan penghasilan dari 1 (satu) atau lebih pemberi kerja sehubungan dengan pekerjaan (gaji, honor, tunjangan, dan sejenisnya) dengan penghasilan lebih dari Rp 60.000.000 setahun, melaporkan SPT Tahunan dengan menggunakan Formulir SPT Tahunan PPh Orang Pribadi 1770 S.

Selain itu, untuk kewajiban setiap bulannya, Wajib Pajak dengan pekerjaan sebagai karyawan/pegawai tidak perlu melaporkan kewajiban pajaknya.Kewajiban melaporkan SPT Tahunan ini dilakukan paling lambat pada akhir bulan ketiga setelah berakhirnya tahun pajak. Jadi misalkan jika orang pribadi yang baru terdaftar pada tahun 2008, dan kewajiban perpajakannya dimulai pada tahun pajak 2008, maka pertama kali Wajib Pajak ini harus melaporkan SPT Tahunannya adalah untuk tahun pajak 2008 yang dilakukan paling lambat tanggal 31 Maret 2009.

a.       Surat Pemberitahuan (SPT)
Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak (WP) digunakan untuk melaporkan penghitungan dan pembayaran pajak yang terutang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Sesuai dengan Undang-undang No 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pasal 1 angka 10, Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan atau pembayaran pajak, objek pajak dan atau bukan objek pajak dan atau harta dan kewajiban, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
b.      Pembagian SPT
Secara umum berdasarkan jenisnya terdapat dua jenis SPT, yaitu :
                                            i.         SPT masa
        SPT yang digunakan untuk melakukan pelaporan atas pembayaran pajak bulanan atau Surat Pemberitahuan Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak. Masa Pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan 1 (satu) bulan takwim atau jangka waktu lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan paling lama 3 (tiga) bulan takwim.
        Macam-macam Surat Pemberitahuan Masa yaitu :
1.        SPT Masa PPh Pasal 21/26
2.        SPT Masa PPh Pasal 22
3.        SPT Masa PPh Pasal 25
4.        SPT Masa PPh Pasal 23
5.        SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2)
6.        SPT Masa PPh Pasal 15
7.        SPT Masa PPN (1195)
8.        SPT Masa PPN bagi Pemungut
9.        SPT Masa PPnBM (1101BM).

                                             ii.      SPT Tahunan
SPT yang digunakan untuk pelaporan tahunan atau Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak. Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan 1 (satu) tahun takwim kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim. Bagian Tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak.
Terdapat tiga macam Surat Pemberitahuan Tahunan, yaitu :
1.      Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi, yang terdiri dari :
a.       Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Biasa (formulir 1770)
b.      Surat Pemberitahuan Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan Kegiatan Usaha atau Pekerjaan Bebas (formulir 1770S)
2.       Surat Pemberitahuan Tahunan Wajib Pajak Badan, yang terdiri dari :
a.         Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan biasa (formulir 1771);
b.        Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan dalam bahasa Inggris dan mata uang Dollar Amerika Serikat (formulir 1771S);
c.         Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak penghasilan Pasal 21 (formulir 1721).




c.       Batas Waktu Penyampaian SPT
                                  i.                            SPT Masa
NO
JENIS PAJAK
YANG MENYAMPAIKAN
BATAS WAKTU PENYAMPAIAN
1
PPh Pasal 21
Pemotong PPh Pasal 21
Tanggal 20 Bulan Takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir
2
PPh Pasal 22 Impor  PPN dan PPnBM Impor
Direktorat Bea dan Cukai
14 hari setelah berakhirnya Masa Pajak
3
PPh Pasal 22 Impor, PPn dan PPnBM atas Impor ( DJBC )
Direktorat Bea dan Cukai
7 hari setelah batas waktu penyetoran Pajak berakhir
4
PPh Pasal 22 Bendaharawan
Bendaharawan
Tanggal 14 bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir
5
PPh Pasal 22 Bahan Bakar
Pertamina
20 hari setelah Masa Pajak berikutnya
6
PPh Pasal 22 Pemungutan
Oleh Badan tertentu
Pemungut Pajak
20 hari setelah Masa Pajak berakhir
7
PPh Pasal 23
Pemotong PPh Pasal 23
Tanggal 20 bulan Takwim berikutnya setelah Masa Pajak berikutnya
8
PPh Pasal 25
Wajib Pajak Yang Mempunyai NPWP
Tanggal 20 bulan Takwim setelah Masa Pajak berakhir
9
PPh Pasal 26
Pemotong PPh Pasal 26
Tanggal 20 bulan Takwim setelah Masa Pajak berakhir
10
PPN dan PPnbM
PKP
Tanggal 20 bulan Takwim setelah Masa Pajak berikutnya
11
PPN dan PPnBM Bendaharawan
Bendaharawan Pemerintah
14 hari setelah Masa Pajak berikutnya
12
PPN dan PPnBM selain Bendaharawan
Selain Bendaharawan
20 hari setelah Masa Pajak berakhir

                               ii.       SPT Tahunan
NO
JENIS PAJAK
YANG MENYAMPAIKAN
BATAS WAKTU PENYAMPAIAN
1
SPT Tahunan
Wajib Pajak yang mempunyai NPWP
Selambatnya 3 bulan setelah akhir tahin pajak (biasanya tanggal 31 maret Tahun berikutnya)
2
PPh Pasal 21 Tahunan
Pemotong PPh Pasal 21
Selambatnya 3 bulan setelah akhir Tahun Pajak

9.        Pemeriksaan dan Hasil Pajak
Surat Ketetapan Pajak (SKP) adalah surat ketetapan yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (c.q. Kantor Pelayanan Pajak/KPP) berdasarkan hasil pemeriksaan pajak maupun penelitian SPT (umumnya SKP diterbitkan berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap SPT WP).  SKP dapat berupa SKP-LB, SKP-KB, SKP-KBT, atau SKP-Nihil.
a.         SKP-LB atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menyatakan adanya kelebihan pembayaran pajak (Lebih Bayar/LB).
b.         SKP-KB atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menyatakan adanya kekurangan pembayaran pajak (Kurang Bayar/KB).  Jumlah KB yang tercantum dalam SKP-KB jatuh tempo dalam satu bulan sejak SKP tersebut diterbitkan.  Namun jika Wajib Pajak mengajukan Keberatan, maka KB tersebut belum dianggap sebagai utang pajak dan jatuh tempo pembayarannya diundur hingga satu bulan setelah terbitnya Surat Keputusan Keberatan.
c.         SKP-KBT atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah surat ketetapan pajak susulan setelah SKP-KB yang pertama diterbitkan. SKP ini bisa muncul manakala kantor pajak mendapatkan data/keterangan/informasi baru (novum) yang menyatakan adanya kekurangan pembayaran pajak sementara terhadap Wajib Pajak tersebut sebelumnya sudah diterbitkan SKP-KB.
d.        SKP Nihil adalah surat ketetapan pajak yang menyatakan bahwa jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak yang dapat diperhitungkan, alias tidak kurang maupun tidak lebih bayar.
10.     Keberatan dan Banding dalam Pajak
a.         Keberatan
Dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan kemungkinan terjadi bahwa Wajib Pajak (WP) merasa kurang/tidak puas atas suatu ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya atau atas pemotongan/ pemungutan oleh pihak ketiga. Dalam hal ini WP dapat mengajukan keberatan.
Hal-hal yang Dapat Diajukan Keberatan:
                                                i.          Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atas:
1.                             Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar  (SKPKB);
2.                             Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT);
3.                             Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB);
4.                             Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN);
5.                             Pemotongan atau Pemungutan  oleh  pihak ketiga.
b.      Ketentuan Pengajuan Keberatan
Keberatan diajukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di tempat WP terdaftar, dengan syarat:
                                                                        i.     Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia.
                                                                      ii.     Wajib menyebutkan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan WP dan disertai alasan-alasan yang jelas.
                                                                    iii.     Satu keberatan harus diajukan untuk satu jenis dan satu tahun/masa pajak.
                                                                    iv.     Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak dan keberatan yang tidak memenuhi syarat, dianggap bukan Surat Keberatan, sehingga tidak diproses.
c.       Jangka Waktu Pengajuan Keberatan 
Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN atau sejak tanggal dilakukan pemotongan/ pemungutan  oleh pihak ketiga.
                                                                        i.     Untuk surat keberatan yang disampaikan langsung ke KPP, maka jangka waktu 3 (tiga) bulan dihitung sejak tanggal SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN atau sejak dilakukan pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga sampai saat keberatan diterima oleh Kantor Pelayanan Pajak.
                                                                      ii.     Untuk surat keberatan  yang disampaikan melalui pos ( harus dengan pos tercatat ),  jangka waktu 3 bulan dihitung sejak tanggal SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN atau sejak dilakukan pemotongan/ pemungutan oleh pihak ketiga sampai dengan tanggal tanda bukti pengiriman melalui Kantor Pos dan Giro.
Permintaan Penjelasan/Pemberian Keterangan Tambahan
                                                                        i.     Untuk keperluan pengajuan keberatan WP dapat meminta penjelasan/ keterangan tambahan dan  Kepala KPP wajib memberikan penjelasan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan, pemotongan,  atau pemungutan.
                                                                      ii.     WP dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis sebelum surat keputusan keberatannya diterbitkan.
b.      Banding
Apabila WP tidak atau belum puas dengan keputusan yang diberikan atas keberatan, WP dapat mengajukan banding. kepada badan peradilan pajak, dengan syarat:
                                                                       i.      Tertulis dalam bahasa Indonesia.
                                                                     ii.      Dalam jangka waktu 3 bulan sejak keputusan atas keberatan diterima.
                                                                   iii.      Alasan yang jelas.
                                                                   iv.      Dilampiri  salinan  Surat Keputusan atas keberatan.
                                                                     v.      Pengajuan permohonan Banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.
                                                                   vi.      Putusan badan peradilan pajak bukan  merupakan keputusan  Tata Usaha Negara.
                                                                 vii.      Imbalan Bunga 
                                                               viii.      Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding diterima sebagian atau seluruhnya, sepanjang utang pajak sebagaimana dimaksud dalam SKPKB dan SKPKBT telah dibayar yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, maka kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan, paling lama  24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak tanggal pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Keputusan Keberatan atau Putusan Banding.
c.       Gugatan
Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dapat mengajukan gugatan kepada bpp terhadap :
                                                                   i.          Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang;
                                                                 ii.          Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 UU KUP;
                                                               iii.          Keputusan pembetulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 UU KUP yang berkaitan dengan STP;
                                                               iv.          Keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 yang berkaitan dengan STP;  
d.      Jangka Waktu Pengajuan Gugatan
                                                              i.      Gugatan terhadap angka 1 diajukan paling lambat 14 hari sejak pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan atau Pengumuman Lelang;
                                                            ii.      Gugatan terhadap angka 2, 3, dan 4 diajukan paling lambat 30 hari sejak tanggal diterima Keputusan yang digugat.
11.       Tindakan Penagihan Pajak
Apabila utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran belum dilunasi, akan dilakukan tindakan penagihan pajak sebagai berikut:
a.       Surat Teguran
                                       i.          Dalam hal WP tidak menyetujui sebagian atau seluruhnya jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dan WP tidak mengajukan keberatan atas SKPKB atau SKPKBT, kepada WP disampaikan Surat Teguran setelah lewat 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pengajuan keberatan;
                                     ii.          Dalam hal WP tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, dan WP mengajukan permohonan banding atas keputusan keberatan sehubungan dengan SKPKB atau SKPKBT, kepada WP disampaikan Surat teguran setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pengajuan banding;
                                   iii.          Dalam hal WP tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, dan mengajukan permohonan banding atas keputusan keberatan sehubungan dengan SKPKB atau SKPKBT, kepada WP disampaikan Surat teguran setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pelunasan pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Putusan Banding;
                                   iv.          Dalam hal WP menyetujui seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, kepada WP disampaikan Surat Teguran setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pelunasan;
                                     v.          Dalam hal WP mencabut pengajuan keberatan atas SKPKB atau SKPKBT setelah tanggal jatuh tempo pelunasan tetapi sebelum tanggal diterima Surat Pemberitahuan Untuk Hadir oleh WP, kepada WP disampaikan Surat Teguran setelah 7 (tujuh) hari sejak tanggal pencabutan pengajuan keberatan tersebut; dan
                                   vi.          Dalam rangka Penagihan Pajak atas utang Bumi dan Bangunan dan/atau Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yang tercantum dalam STPPBB, SKBKB, SKBKBT, STB atau Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, kepada WP disampaikan Surat teguran setelah 7 (tujuh) hari sejak tanggal jatuh tempo pelunasan. Penyampaian Surat Teguran dapat dilakukan secara langsung, melalui pos atau melalui jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.
b.      Surat Paksa
Utang pajak setelah lewat 21 (dua puluh satu) hari dari tanggal Surat Teguran tidak dilunasi, diterbitkan Surat Paksa yang diberitahukan oleh Jurusita Pajak dengan dibebani biaya penagihan pajak dengan Surat Paksa sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah). Utang pajak harus dilunasi dalam jangka waktu 2 x 24 jam setelah Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak.
c.       Surat Sita
Utang pajak dalam jangka waktu 2 x 24 jam setelah Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak tidak dilunasi, Jurusita Pajak dapat melakukan tindakan penyitaan, dengan dibebani biaya pelaksanaan Surat Perintah Melakukan Penyitaan sebesar Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah).
d.   Lelang
Dalam jangka waktu paling singkat 14 (empat belas) hari setelah tindakan penyitaan, utang pajak belum juga dilunasi akan dilanjutkan dengan pengumuman lelang melalui media massa. Pengumuman lelang untuk barang bergerak dilakukan 1 (satu) kali dan untuk barang tidak bergerak dilakukan 2 (dua) kali. Penjualan secara lelang melalui Kantor Lelang Negara terhadap barang yang disita, dilaksanakan paling singkat 14 (empat belas) hari setelah pengumuman lelang. Dalam hal biaya penagihan paksa dan biaya pelaksanaan sita belum dibayar maka akan dibebankan bersama-sama dengan biaya iklan untuk pengumuman lelang dalam surat kabar dan biaya lelang pada saat pelelangan. Catatan Barang dengan nilai paling banyak Rp.20.000.000,- tidak harus diumumkan melalui media massa.
e.       Hak Wajib Pajak/Penanggung Pajak
Wajib Pajak/Penanggung Pajak berhak:
                                                        i.      Meminta Jurusita Pajak memperlihatkan Kartu Tanda Pengenal Jurusita Pajak;
                                                      ii.      Menerima Salinan Surat Paksa dan Salinan Berita Acara Penyitaan;
                                                    iii.      Menentukan urutan barang yang akan dilelang;
                                                    iv.      Sebelum pelaksanaan lelang, Wajib Pajak/Penanggung Pajak diberi kesempatan terakhir untuk melunasi utang pajak termasuk biaya penyitaan, iklan dan biaya pembatalan lelang dan melaporkan pelunasan tersebut kepada Kepala KPP yang bersangkutan;
                                                      v.      Lelang tidak dilaksanakan apabila Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak sebelum pelaksanaan lelang.
f.       Kewajiban Wajib Pajak / Penanggung Pajak
Wajib Pajak/Penanggung Pajak berkewajiban:
                                                        i.      Membantu Jurusita Pajak dalam melaksanakan tugasnya:
a. memperbolehkan Jurusita Pajak memasuki ruangan, tempat usaha/tempat tinggal WP/ Penanggung Pajak;
                                                      ii.      memberikan keterangan lisan atau tertulis yang diperlukan.
                                                    iii.      Barang yang disita dilarang dipindahtangankan, dihipotikkan atau disewakan.
g.    Daluwarsa Penagihan
                                                     i.          Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Kurang Bayar, Surat Ketetapan Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan kembali.
                                                   ii.          Daluwarsa penagihan pajak tersebut tertangguh apabila:
1.      diterbitkannya Surat Paksa;
2.      adanya pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung;
3.      diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan karena Wajib Pajak setelah jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
4.       Dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.

Nanda Narendra Putra
1111048000045
Ilmu Hukum IV.B






Tidak ada komentar:

Posting Komentar