Jumat, 20 September 2013

Makalah Hukum Bisnis Islam : Akad Jual Beli (Al Buyu')



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Islam merupakan agama yang diturunkan oleh Allah Swt sebagai agama yang membawa rahmat kepada seluruh alam juga sangat menyoroti mengenai hal-hal yang berkaitan dengan jual beli. Dalam Islam jual beli juga dibahas secara mendetail karena pada hakekatnya Islam bukan hanya agama yang mementingkan aspek ibadah saja melainkan juga sangat menekankan aspek sosial (muamalah).
Jual beli (Al-Buyu’) merupakan suatu kegiatan tukar menukar barang dengan barang lain dengan cara tertentu. Termasuk dalam hal ini adalah jasa dan juga penggunaan alat tukar seperti uang. Jual beli ini dilakukan dengan memindahkan hak milik kepada orang lain dengan harga, sedangkan membeli yaitu menerimanya.
Dalam makalah ini kami akan membahas hal-hal yang berkaitan dengan jual beli dalam Islam. Dimulai dari pengertian jual beli itu sendiri baik secara bahasa maupun secara istilah. Kemudian dipaparkan tentang rukun dan syarat-syarat sahnya jual beli. Pembahasan selanjutnya mengulas tentang macam-macam jual beli baik yang dilarang maupun yang diperbolehkan.

B.     Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah diatas, terdapat beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Ruang lingkup akad jual beli?
2.      Pembahasan akad dalam kaitannya dengan jual beli?
  
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Jual Beli (al-Buyu’)
Jual beli menurut bahasa berarti al-Bai’, al-Tijarah dan al-mubadalah, sebagaimana firman Allah:
يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ
Artinya: Mereka mengharapkan tijarah (perdagangan) yang tidak akan rugi (QS. Faathir[35]: 29).
Menurut istilah (terminologi) yang dimaksud dengan jual beli adalah sebagai berikut:
1.      Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan.
2.      Pemilikan harta benda dengan jalan tukar-menukar yang sesuai dengan aturan Syara.
3.      Saling tukar harta, saling menerima, dapat dikelola (tasharruf) dengan ijab dan qabul, dengan cara yang sesuai dengan syara dll.
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa inti jual beli ialah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela di antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian  atau ketentuan yang telah dibenarkan Syara’ dan disepakati.[1]
Pendapat lain, jual beli menurut syariat agama yaitu kesepakatan tukar-menukar benda untuk memiliki benda tersebut selamanya. Melakukan jual beli dibenarkan dalam Alquran:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya: Allah menghalalkan jual beli dan, mengharamkan riba’ (QS. al-Baqarah[2]: 275).[2]
Apabila jual beli itu menyangkut suatu barang yang sangat besar nilainya, dan agar tidak terjadi kecurangan di belakang hari, Alquran menyarankan agar ada saksi.
Artinya: Dan hendaklah kamu mengadakan saksi kalau kamu berjual beli, dan janganlah penulis dan saksi itu mempersulit. (QS. al-Baqarah[2]: 282).
B.     Dasar Hukum Jual Beli
Jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama umat manusia mempunyai landasan yang kuat dalam Alquran dan Sunnah Rosulullah saw. Terdapat sejumlah ayat Alquran yang berbicara tentang jual beli, diantaranya :
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya: Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba’ (QS. Al-Baqarah [2] : 275)
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلا مِنْ رَبِّكُمْ
Artinya: Tiada salahnya kamu mencari rezeki dari Tuhanmu (QS. al- Baqarah[2] :198)
إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
Artinya: kecuali dengan jalan perdagangan yang didasari suka sama suka di antara kamu… (QS. an-Nisa’[4]: 29)
Dasar hukum jual beli dalam sunnah Rasulullah Saw. Di antaranya adalah hadits dari Rifa’ah ibn Rafi’ bahwa:
سئل النبي صلى الله عليه وسلم أي الكسب أطيب ؟ فقل: عمل الر جل بيده وكل بيع مبرور (رواه البز والحاكم)
Rasulullah Saw. Ditanya salah seorang sahabat mengenai pekerjaan (propesi) apa yang paling baik. Rosulullah ketika itu menjawab: usaha tangan manusia sendiri dan setiap jual beli yang diberkati. (HR al-Bazzar dan al-Hakim).
Artinya jual beli yang jujur, tanpa diiringi kecurangan-kecurangan mendapat berkat dari Allah. Dalam hadits dari Abi Sa’id al-Khudri yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi, Ibn Majah dan Ibn Hibban, Rosulullah saw. Menyatakan: “jual beli itu didasarkan kepada suka sama suka”.[3]

C.     Rukun dan Syarat Jual Beli
Rukun jual beli ada tiga, yaitu akad (ijab qabul), orang-orang yang berakad (penjual dan pembeli), dan ma’kud alaih (objek akad).
Akad ialah ikatan kata antara penjual dan pembeli. Jual beli belum dikatakan sah sebelum ijab dan qabul dilakukan sebab ijab kabul menunjukkan kerelaan (keridhaan). Pada dasarnya ijab kabul dilakukan dengan lisan, tetapi kalau tidak mungkin, misalnya bisu atau yang lainnya, boleh ijab kabul dengan surat-menyurat yang mengandung arti ijab dan kabul.
Adanya kerelaan tidak dapat dilihat sebab kerelaan berhubungan dengan hati, kerelaan dapat diketahui melalui tanda-tanda lahirnya, tanda yang jelas menunjukkan kerelaan adalah ijab dan kabul, Rasulullah Saw. Bersabda:
“Dari Abi Hurairah r.a. dari Nabi Saw. Bersabda: janganlah dua orang yang jual beli berpisah, sebelum saling meridhai” (Riwayat Abu Daud dan Tirmidzi).
“Rasulullah Saw. Bersabda: sesungguhnya jual beli hanya akan sah apabila saling merelakan” (Riwayat Ibn Majah).
Jual beli yang menjadi kebiasaan, misalnya jual beli sesuatu yang menjadi kebutuhan sehari-hari tidak disyaratkan ijab dan kabul, ini adalah pendapat jumhur. Menurut fatwa Ulama Hanafiyah, jual beli barang-barang yang kecil pun harus ijab dan kabul, tetapi menurut Imam Al-Nawawi dan Ulama Muta’akhirin Syafi’iyah berpendirian bahwa boleh jual beli barang-barang yang kecil dengan tidak ijab dan kabul seperti membeli sebungkus rokok.[4]
Transaksi jual beli dianggap sah apabila dengan ijab dan kabul, kecuali barang-barang kecil, yang hanya cukup dengan mua’thaah (saling memberi) sesuai adat dan biasaan yang berlaku. Tidak ada kata-kata khusus dalam pelaksanaan ijab dan kabul, karena ketentuannya tergantung pada akad sesuai dengan tujuan dan maknanya, bukan berdasarkan atas kata-kata dan bentuk kata tersebut.
Jual beli dinyatakan sah, apabila telah memenuhi syarat-syarat berikut: pelaku akad, barang yang diakadkan atau tempat berakad, artinya yang akan dipindah kepemilikannya dari salah satu pihak kepada pihak lain baik berupa harga atau barang yang ditentukan dengan nilai atau harga.

D.    Macam-Macam Jual Beli
Jual beli dapat ditinjau dari beberapa segi, ditinjau dari segi hukumnya, jual beli ada dua macam, jual beli yang sah menurut hukum dan batal menurut hukum, dari segi objek jual beli dan segi pelaku jual beli.
Ditinjau dari segi benda yang dijadikan objek jual beli dapat dikemukakan pendapat Imam  Taqiyuddin bahwa jual beli dibagi menjadi tiga bentuk.
البيو ع ثلا ثة بيع عين مشا هدة وبيع شيئ مو صو ف فى الذ مة وبيع عين غاءبة لم تشا هد
"jual beli itu ada tiga macam: 1. jual beli benda yang kelihatan, 2. jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam janji, dan 3. jual beli benda yang tidak ada."
Jual beli benda yang kelihatan ialah pada waktu melakukan akad jual beli benda atau barang yang diperjualbelikan ada di depan penjual dan pembeli. Hal ini lazim dilakukan masyarakat banyak dan boleh dilakukan, seperti membeli beras di pasar. Sedangkan jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam perjanjian ialah jual beli salam (pesanan). Menurut kebiasaan para pedagang salam adalah untuk jual beli yang tidak tunai (kontan), salam pada awalnya berarti meminjamkan barang atau sesuatu yang seimbang dengan harga tertentu, maksudnya ialah perjanjian yang penyerahan barang-barangnya ditangguhkan hingga masa tertentu, sebagai imbalan harga yang telah ditetapkan ketika akad.
Dalam salam berlaku semua syarat jual beli dan syarat-syarat tambahannya seperti berikut ini:
a.       Ketika melakukan akad salam, disebutkan sifat-sifatnya yang mungkin dijangkau oleh pembeli, baik berupa barang yang dapat ditakar, ditimbang, maupun diukur.[5]
b.      Dalam akad harus disebutkan segala sesuatu yang bisa mempertinggi dan memperendah harga barang itu, umpamanya benda tersebut berupa kapas, sebutkan jenis kapas saclarides nomor satu, nomor dua, dan seterusnya, kalau kain, sebutkan jenis kainnya. Pada intinya sebutkan semua identitasnya yang dikenal oleh orang-orang yang ahli di bidang ini yang menyangkut kualitas barang tersebut.
c.       Barang yang akan diserahkan hendaknya baranag-barang yang biasa didapatkan di pasar.
d.      Harga hendaknya dipegang di tempat akad berlangsung.
Jual beli benda yang tidak ada serta tidak dapat dilihat ialah jual beli yang dilarang oleh agama Islam karena barangnya tidak tentu atau masih gelap sehingga dikhawatirkan barang tersebut diperoleh dari curian atau barang titipan yang akibatnya dapat menimbulkan kerugian salah satu pihak. Sementara itu, merugikan dan menghancurkan harta benda seseorang tidak dperbolehkan, seperti yang dijelaskan oleh Muhammad Syarbini Khatib bahwa penjualan bawang merah dan wortel serta lainnya yang berada di dalam tanah adalah batal sebab hal tersebut merupakan perbuatan ghoror.
 Ditinjau dari segi pelaku akad (subjek), jual beli terbagi menjadi tiga bagian, dengan lisan, dengan perantara, dan dengan perbuatan.
Akad jual beli yang dilakukan dengan lisan adalah akad yang dilakukan oleh kebanyakan orang. Bagi orang bisu diganti dengan isyarat karena isyarat merupakan pembawaan alami dalam menampakkan kehendak. Hal yang dipandang dalam akad adalah maksud atau kehendak dan pengertian, bukan pembicaraan dan pernyataan.[6]
Jual beli dengan perbuatan (saling memberikan) atau dikenal dengan istilah mu’athah yaitu mengambil dan memberikan barang tanpa ijab dan kabul, seperti seseorang mengambil rokok yang sudah bertuliskan label harganya, dibandrol oleh penjual dan kemudian diberikan uang pembayarannya kepada penjual. Jual beli dengan cara demikian dilakukan tanpa sighat ijab kabul antara penjual dan pembeli, menurut sebagian Syafi’iyah tentu hal ini dilarang sebab ijab kabul sebagai rukun jual beli. Tetapi sebagian Syafi’iyah lainnya, seperti Imam Nawawi membolehkan jual beli barang kebutuhan sehari-hari dengan cara yang demikian, yakni tanpa ijab kabul terlebih dahulu.
Selain pembelian diatas, jual beli juga ada yang dibolehkan dan ada yang dilarang jual beli yang dilarang juga ada yang batal ada pula yang terlarang tetapi sah.
Jual beli yang dilarang dan batal hukumnya adalah sebagai berikut:
a.       Barang yang dihukumkan najis oleh agama, seperti anjing, babi, berhala, bangkai, dan khamar, Rosulullah saw. Bersabda: “Dari jahir r.a, Rosulullah saw. Bersabda: sesungguhnya Allah dan Rosul-Nya telah mengharamkan menjual arak, bangkat, babi, dan berhala” (Riwayat Bukhari dan muslim).
b.      Jual beli sperma (mani) hewan, seperti mengawinkan seekor domba jantan dengan betina agar dapat memperoleh turunan. Jual beli ini haram hukumnya karena Rosulullah saw. Bersabda: “Dari Ibnu Umar r.a berkata: Rosulullah saw telah melarang menjual mani binatang” (Riwayat Bukhari).
c.       Jual beli anak binatang yang masih berada dalam perut induknya. Jual beli seperti ini dilarang. Karena barangnya belum ada dan tidak tampak, juga Rosulullah saw bersabda: “Dari Ibnu Umar r.a Rosulullah saw telah melarang penjualan sesuatu yang masih dalam kandungan induknya”. (Riwayat Bukhari dan Muslim).[7]
d.      Jual beli dengan muhaqallah. Baqalah berarti tanah, sawah, dan kebun, maksud muhaqallah di sini ialah menjual tanam-tanaman yang masih di lading atau di sawah. Hal ini dilarang agama sebab ada persangkaan riba di dalamnya.
e.       Jual beli dengan mukhadharah, yaitu menjual buah-buahan yang belum pantas untuk dipanen, seperti menjual rambutan yang masih hijau, mangga yang masih kecil-kecil, dan yang lainnya. Hal ini dilarang karena barang tersebut masih samar, dalam artian mungkin saja buah tersebut jatuh tertiup angin kencang atau yang lainnya sebelum diambil oleh si pembelinya.
f.       Jual beli dengan muammassah, yaitu jual beli secara sentuh menyentuh, misalkan seseorang menyentuh sehelai kain dengan tangannya di waktu malam atau siang hari, maka orang yang menyentuh berarti telah membeli kain tersebut. Hal ini dilarang karena mengandung tipuan dan kemngkinan akan menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak.
g.      Jual beli dengan munabadzah, yaitu jual beli secara lempar melempar, seperti seseorang berkata, “lemparkan kepadaku apa yang ada padamu, nanti kulemparkan pula kepadamu apa yang ada padaku’. Setelah terjadi lempar-melempar, terjadilah jual beli. Hal ini dilarang karena mengandung tipuan dan tidak ada ijab dan Kabul.
h.      Jual beli dengan muzabanah, yaitu menjual buah yang basah dengan buah yang kering, seperti menjual padi kering dengan bayaran padi basah, sedangkan ukurannya dengan dikilo sehingga akan merugikan pemilik padi kering. Hal ini dilarang oleh Rasulullah saw dengan sabdanya:“Dari Anas r.a, ia berkata: Rosulullah saw. Melarang jual beli muhaqallah, mukhadharah, muammassah, munazabah dan muzabanah”. (Riwayat Bukhari).
i.        Menentukan dua harga untuk satu barang yang diperjualbelikan. Menurut Syafi’I penjualan seperti ini mengandung dua arti, yang pertama seperti seseorang berkata “kujual buku ini seharga S 10,- dengan tunai S 15,- dengan cara utang”. Arti kedua ialah seperti seseorang berkata. “aku jual buku ini kepadamu dengan syarat kamu harus menjual tasmu padaku.” Rasulullah saw. Bersabda: “Dari Abi Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw. Bersabda: barang siapa yang menjual dengan dua harga dalam satu penjualan barang, maka baginya ada kerugian atau riba.” (Riwayat Abu Daud).
j.        Jual beli dengan syarat (iwadh mahjul), jual beli seperti ini, hampir sama dengan jual beli menentukan dua harga, hanya saja di sini dianggap sebagai syarat, seperti seseorang berkata, “aku jual rumahku yang butut ini kepadamu dengan syarat kamu mau menjual mobilmu padaku.” lebih jelasnya, jual beli ini sama dengan jual beli dua harga arti yang kedua menurut a-Syafi’i.[8]
k.      Jual beli gharar, yaitu jual beli yang samar sehingga ada kemungkinan terjadi penipuan, seperti penjualan ikan yang masih di kolam atau menjual kacang tanah yang atasnya kelihatan bagus tetapi di bawahnya jelek. Penjualan seperti ini dilarang, karena Rasulullah saw. Bersabda: “janganlah kamu membeli ikan di dalam air, karena jual beli seperti itu termasuk gharar, alias nipu”. (Riwayat Ahmad).
l.        Jual beli dengan mengecualikan sebagian benda yang dijual, seperti seseorang  menjual sesuatu dari benda itu ada yang dikecualikan salah satu bagiannya, misalnya A menjual seluruh pohon-pohonan yang ada dikebunnya, kecuali pohon pisang. Jual beli ini sah sebab yang dikecualikannya jelas. Namun, bila yang dikecualikannya tidak jelas (majhul), jual beli tersebut batal. Rasulullah saw bersabda:“Rasulullah melarang jual beli dengan muhaqallah, mudzabanah, dan yang dikecualikan, kecuali bila ditentukan”. (Riwayat Nasai).
m.    Larangan menjual makanan hingga dua kali ditakar. Hal ini menunjukkan kurangnya saling percaya antara penjual dan pembeli. Jumhur ulama berpendapat bahwa seseorang yang membeli sesuatu dengan takaran dan telah diterimanya, kemudian ia jual kembali, maka ia tidak boleh menyerahkan kepada pembeli kedua dengan takaran yang pertama sehingga ia harus menakarnya lagi untuk pembeli yang kedua itu. Rasulullah saw. Melarang jual beli makanan yang dua kali ditakar, dengan takaran penjual dan takaran pembeli (Riwayat Ibnu Majah dan Daruquthni).         

E.     Akad dalam Jual Beli
1.        Salam (In-Front Payment Sale)
a.         Pengertian Salam (Jual Beli dengan Pembayaran di Muka)
Dikatakan aslama ats-tsauba lil-khiyath, artinya ia memberikan/menyerahkan pakaian untuk dijahit. Dikatakan salam karena orang yang memesan menyerahkan harta pokoknya dalam majelis. Dikatakan salam karena ia menyerahkan uangnya terlebih dahulu sebelum menerima barang dagangannya. Salam termasuk kategori jual beli yang sah jika memenuhi persyaratan keabshahan jual beli pada umumnya.[9]
Adapun salam secara terminologis adalah transaksi terhadap sesuatu yang dijelaskan sifatnya dalam tanggungan dalam suatu tempo dengan harga yang diberikan kontan ditempat transaksi.[10]
Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, salam adalah jasa pembiayaan yang berkaitan dengan jual beli yang pembiayaannya dilakukan bersamaan dengan pemesanan barang.[11]

b.      Rukun dan Syarat Salam
Sebagaimana jual beli, dalam akad salam harus terpenuhi rukun dan syaratnya. Adapun rukun dan syarat menurut jumhur ulama yaitu:[12]
                                      i.      Shigat, yaitu ijab dan Kabul;
                                    ii.      ’aqidani (dua orang yang melakukan transaski), yaitu orang yang memesan dan menerima pesanan; dan
                                  iii.      Objek transaksi. Yaitu harga dan barang yang dipesan.[13]
Adapun syarat-syarat dalam salam sebagai berikut:
                                       i.     Uangnya dibayar ditempat akad, berarti pembayaran dilakukan terlebih dahulu.
                                     ii.     Barangnya menjadi hutang bagi penjual.
                                   iii.     Barangnya dapat diberikan sesuai waktu yang dijanjikan. Berarti pada waktu dijanjikan barang itu harus sudah ada. Oleh sebab itu men-salam buah-buahan yang waktunya ditentukan bukan pada musimnya tidak sah.
                                   iv.     Barang tersebut hendaklah jelas ukurannya, takarannya, ataupun bilangannya, menurut kebiasaan cara menjual barang seperti itu.
                                     v.     Diketahui dan disebutkan sifat-sifat dan macam barangnya dengan jelas, agar tidak ada keraguan yang akan mengakibatkan perselisihan antara kedua belah pihak. Dengan sifat itu, berarti harga dan kemauan orang pada barang tersebut dapat berbeda.
                                   vi.     Disebutkan tempat menerimanya.[14]
Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Pasal 101 s/d Pasal 103, bahwa syarat ba’i salam adalah sebagai berikut:
                                       i.   Kualitas dan Kuantitas barang sudah jelas. Kuantitas barang dapat diukur dengan takaran, atau timbangan, dan atau meteran.
                                     ii.   Spesifikasi barang yang dipesan harus diketahui secara sempurna oleh para pihak.
                                   iii.   Barang yang dijual, waktu, dan tempat penyerahan dinyatakan dengan jelas.
                                   iv.   Pembayaran dapat dilakukan pada waktu dan tempat yang disepakatai.

c.       Dasar Hukum Salam
     Yang menjadi dalil pelaksanaan jual beli salam, yaitu:[15]
i.        QS. al-Baqarah/2:282
”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kalian menulisnya”

ii.      Al-Hadis
”Ibnu Abbas meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW datang ke Madinah dimana penduduknya melakukan salaf (salam) dalam buah-buahan (untuk jangka waktu) satu, dua, tiga tahun. Beliau berkata ”Barang siapa yang melakukan salaf (salam), hendaklah ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang ditentukan.” Dalam hadis lain: ”Dari Shihab r.a, bahwa Rasulullah SAW bersabda: ”Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan: Jual beli secara tangguh, muqaraddah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah) 



d.      Salam Pararel
     Salam Pararel berarti melaksanakan dua  transaksi ba’i al-salam antara bank dan nasabah, dan di antara bank dan pemasok (suplier) atau pihak ketiga lainnya secara stimultan.
     Dewan pengawas Syariah Rajhi Banking & Investment Coorporation telah menetapkan fatwa yang membolehkan praktik salam pararel dengan syarat pelaksanaan transaksi salam kedua tidak bergantung pada pelaksanaan akad salam yang pertama.[16] Untuk di Indonesia, salam pararel diatur dalam fatwa DSN MUI No. 05/DSN-MUI/IV/2000.

e.         Perbedaan Antara Jual Beli Salam dengan Jual Beli Biasa
     Semua syarat-syarat dasar suatu akad jual beli biasa masih tetap ada pada jual beli salam. Namun ada beberapa perbedaan antara keduanya. Misalnya:[17]

                       i.      Dalam jual beli salam, perlu ditetapkan periode pengiriman barang yang dalam jual beli biasa tidak perlu.
                     ii.      Dalam jual beli salam, komoditas yang tidak dimiliki oleh penjual dapat dijual; jual beli biasa tidak dapat dijual.
                   iii.      Dalam jual beli salam, hanya komoditas yang secara tepat dapat ditentukan kualitas dan kuantitasnya dapat dijual, yang dalam jual beli biasa, segala komoditas yang dapat dimiliki dapat dijual kecuali yang dilarang oleh Al-Quran dan Hadis.
                   iv.      Dalam jual beli salam, pembayaran harus dilakukan ketika membuat kontrak; yang dalam jual beli biasa, pembayaran dapat ditunda atau dapat dilakukan ketika pengiriman barang berlangsung.

      Jadi, kita dapat menyimpulkan bahwa aturan asal pelarangan jual beli yaitu tidak adanya barang, telah dihapuskan dengan pertimbangan kebutuhan masyarakat terhadap kontrak salam.[18]

f.       Perbedaan Ba’i Al-salam dengan Ijon
     Banyak orang yang menyamakan ba’i al-salam dengan ijon, padahal terdapat perbedaan besar di antara keduanya. Dalam ijon, barang yang dibeli tidak diukur atau ditimbang secara jelas dan spesifik. Dengan demikian juga penetapan harga beli sangat bergantung kepada keputusan si tengkulak yang sering kali dominan dan menekan petani yang posisinya lebih lemah.
     Adapun transaksi ba’i al-salam mengharuskan adanya dua hal sebagai berikut:[19]
                         i.     Pengukuran dan Spesifikasi yang jelas. Hal ini tercermin dalam hadis Rasululllah SAW yang diriwayatkan Ibnu Abbas, ” Barang siapa melakukan transaksi salaf (salam), hendaklah ia melakukan dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas, untuk jangka waktu yang jelas pula.”
                       ii.     Adanya keridhaan yang utuh antara kedua belah pihak. Hal ini terutama dalam menyepakati harga. Allah SWT berfirman: ... Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kalian ...”

2.      Istishna’ (Purchase By Order or Manufacture)
a.         Pengertian Istishna’ (Jual Beli dengan Pesanan)
Istishna’ secara etimologis adalah masdar dari sitashna ’asy-sya’i, artinya meminta membuat sesuatu. Yakni meminta kepada seorang pembuat untuk mengerjakan sesuatu.
Adapun istishna’ secara terminologis adalah transaksi terhadap barang yang disyaratkan untuk mengerjakannya. Objek transaksinya adalah barang yang harus dikerjakan dan pekerjaan pembuatan barang itu.[20]
Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, istishna’ adalah jual beli barang atau jasa dalam bentuk pemesanan dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pihak pemesan dan pihak penjual.[21]

b.      Perbedaan Istishna’ dengan Salam
Istishna’ adalah bentuk transaksi yang menyerupai jual beli salam jika ditinjau dari sisi bahwa objek (barang) yang dijual belum ada, namun demikian keduanya memiliki perbedaan.
Istishna’ merupakan salah satu bentuk dari jual beli salam, hanya saja objek yang diperjanjikan berupa manufacture order atau kontrak produksi. Istishna’ didefinisikan sebagai kontrak antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini pembuat barang (shani’) menerima pesanan dari pembeli (mutashna’) untuk membuat barang dengan spesifikasi yang telah disepakati kedua belah pihak yang bersepakat atas harga dan sistem pembayaran, yaitu dilakukan dimuka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai waktu yang akan datang.[22]

c.       Perbedaan Istishna’ dengan Ijarah
Dalam transaksi istishna’ barang yang harus dibuat dan dipekerjakan semuanya menjadi kewajiban shani (pembuat/pekerja). Adapun dalam ijarah, barang yang harus dikerjakan dari peminta (pembeli) dan pekerja atau penjual hanya diminta mengerjakkannya.[23]

d.        Syarat dan Rukun Istishna’
Syarat Istishna’ menurut Pasal 104 s/d Pasal 108 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah adalah sebagai berikut:
                       i.      Ba’i istishna’ mengikat setelah masing-masing pihak sepakat atas barang yang dipesan.
                     ii.      Ba’i istishna dapat dilakukan pada barang yang bisa dipesan.
                   iii.      Dalam ba’i istishna’, identifikasi dan deskripsi barang yang dijual harus sesuai permintaan pemesanan.
                   iv.      Pembayaran dalam ba’i istishna dilakukan pada waktu dan tempat yang disepakati.
                     v.      Setelah akad jual beli pesanan mengikat, tidak satupun boleh tawar-menawar kembali terhadap isi akad yang sudah diperjanjikan.
                   vi.      Jika objek dari barang pesanan tidak sesuai dengan spesifikasi, maka pemesanan dapat menggunakan hak pilihnya (khiyar) untuk melanjutkan atau membatalkan pemesanan.

Adapun rukun istishna’ sebagai berikut:
                       i.      Al-’Aqidain (dua pihak yang melakukan transaksi) harus mempunyai hak membelanjakkan harta.
                     ii.      Shighat, yaitu segala sesuatu yang menunjukkan aspek suka sama suka dari kedua belah pihak, yaitu penjual dan pembeli.
                   iii.      Objek yang ditransaksikan, yaitu barang produksi.

e.         Dasar Hukum Istishna’
Ulama yang membolehkan istishna’ berpendapat, bahwa istishna’ disyariatkan berdasarkan Sunnah Nabi Muhammad SAW, bahwa beliau pernah minta dibuatkan cincin sebagaimana yang diriwayatkan Imam Bukhari, sebagai berikut: ”Dari Ibnu Umar r.a, bahwa Rasulullah SAW minta dibuatkan cincin dari emas. Beliau memakainya dan meletakkan batu mata cincin dibagian dalam telapak tangan. Orang-orang pun membuat cincin. Kemudian beliau duduk diatas mimbar, melepas cincinnya, dan bersabda, “Sesungguhnya aku tadinya memakai cincin ini dan aku letakkan batu mata cincin ini dibagian telapak tangan.” Kemudian beliau membuang cincinnya dan bersabda , ”Demi Allah, aku tidak akan memakai selamanya”. Kemudian orang-orang membuang cincin mereka.” (HR. Bukhari)[24]

3.      Murabahah (Deferred Payment Sale)
a.       Pengertian Murabahah
Murabahah atau disebut juga ba’ bitsmail ajil. Kata murabahah berasal dari kata ribhu (keuntungan). Sehingga murabahah berarti saling menguntungkan. Secara sederhana murabahah berarti jual beli barang ditambah keuntungan yang disepakati.
Jual beli murabahah secara terminologis adalah pembiayaan saling menguntungkan yang dilakukan oleh shahib al-mal dengan pihak yang membutuhkan melalui transaksi jual beli dengan penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan keuntungan atau laba bagi shaib al-mal dan pengembaliannya dilakukan secara tunai atau angsur.[25]
Jual beli murabahah adalah pembelian oleh satu pihak untuk kemudian dijual kepada pihak lain yang telah mengajukan permhonan pembelian terhadap suatu barang dengan keuntungan atau tambahan harga yang transparan.[26] Atau singkatnya jual beli murabahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Akad ini merupakan salah satu bentuk natural certainty contracts, karena dalam murabahah ditentukan berapa required rate profit-nya (keuntungan yang ingin diperoleh).

b.      Dasar Hukum
Murabahah adalah suatu jenis jual beli yang dibenarkan oleh syariah dan merupakan implementasi muamalah tijariyah (intersaksi bisnis). Hal ini berdasarkan kepada Q.S al-Baqarah/2:275 ”Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”

c.       Syarat dan Rukun Murabahah
Syarat yang harus dipenuhi dalam transaksi murabahah meliputi hal-hal sebagai berikut:[27]
                       i.      Jual beli murabahah harus dilakukan atas barang yang telah dimiliki (hak kepemilikan berada ditangan si penjual). Artinya, keuntungan dan risiko barang tersebut ada pada penjual sebagai konsekuensi daari kepemilikan yang timbul dari akad yang sah. Ketentuan ini sesuai dengan kaidah, bahwa keuntungan yang terkait dengan resiko dapat mengambil keuntungan.
                     ii.      Adanya kejelasan informasi men
                   iii.      genai besarnya modal dan biaya-biaya lain yang lazim dikeluarkan dalam jual beli pada suatu komoditas, semuanya harus diketahui oleh pembeli saat transaksi. Ini merupakan salah satu syarat sah murabahah.
                   iv.      Adanya informasi yang jelas tentang keuntungan, baik nominal maupun persentase sehingga diketahui oleh pembeli sebagai salah satu syarat murabahah.
                     v.      Dalam sistem ini, penjual boleh menetapkan syarat kepada pembeli untuk menjamin kerusakan yang tidak tampak pada barang.

d.   Perbedaan antara Salam, Istishna’, dan Murabahah
Salam, istishna’, dan murabahah merupakan jenis pembiyaan berdasarkan akad jual beli. Inti dari pembiyaan berdasarkan akad jual beli adalah bahwa nasabah yang membutuhkan suatu barang tertentu, maka padanya akan menerima barang dari pihak bank dengan harga sebesar harga pokok ditambah besarnya keuntungan yang dikehendaki oleh bank (profit margin) dan tentu saja harus ada kesepakatan mengenai harga tersebut oleh kedua belah pihak. Murabahah merupakan jual beli dimana barangnya sudah ada, sedangkan salam dan istishna’ adalah jual beli dengan pemesanan terlebih dahulu.[28]

e.       Perbedaan Jual Beli Murabahah dengan Bunga
Perbedaan antara jual beli murabahah dengan bunga diantaranya:[29]
                       i.      Dalam murabahah, barang sebagai objek. Nasabah berutang barang, bukan berutang uang;  dalam bunga, uang sebagai objek, nasabah berutang uang.
                     ii.      Dalam murabahah, pertukaran barang dengan uang; dalam bunga, pertukaran uang dengan uang.
                   iii.      Dalam murabahah, margin tidak berubah; dalam bunga, bunga berubah sesuai tingkat bunga.
                   iv.      Dalam murabahah, bila transaksi macet, tidak ada bunga berbunga; dalam bunga, terjadi compound interest.
                     v.      Dalam murabahah, jika nasabah tidak mampu membayar, tidak ada denda (QS. al-Baqarah/2:283); dalam bunga, dikenakan denda/bunga.
                   vi.      Dalam murabahah, sah, halal dan penuh berkah; dalam bunga, tidak sah, haram dan jauh dari berkah dan mendapat laknat.

4.      Bai’ Al-Wafa’
a.    Pengertian
Secara etimologis, al’ba’i berarti jual beli, dan al-wafa’ berarti pelunasan/penutupan utang. Ba’i al-wafa’ adalah salah satu bentuk akad (transaksi) yang muncul di Asia Tenggara pada pertengahan abad ke-5 Hijriah dan merambat ke Timur Tengah.
Secara terminologis Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, ba’i al-wafa (jual beli dengan hak membeli kembali) adalah jual beli yang dilangsungkan dengan syarat bahwa barang dijual tersebut dapat dibeli kembali oleh penjual apabila tenggang waktu yang disepakati telah tiba.[30] Menurut Dr. Nasrun Haroen, ba’i al-wafa adalah jual beli yang dilangsungkan dua pihak yang dibarengi dengan syarat bahwa yang dijual itu dapat dibeli kembali oleh penjual, apabila tenggang waktu yang telah ditentukan tiba.
Artinya, jual beli ini memiliki tenggang waktu yang terbatas, misalnya satu tahun, sehingga apabila waktu satu tahun tersebut telah habis, maka penjual membeli barang itu kembali dari pembelinya. Jual beli ini muncul dalam rangka menghindari terjadinya riba dalam pinjam-meminjam. Dalam menghindarkan diri dari riba, masyarakat Bukhara dan Balkh ketika itu merekayasa sebuah bentuk jual beli yang dikenal kemudian dengan ba’i al-wafa’.[31]

b.      Hukum Ba’i al-wafa’
Menurut Musthafa Ahmad az-Zarqa, dan Abdurrahman Ashabuni dalam sejarahnya, ba’i al-wafa’ baru mendapat justifikasi para ulama fiqh setelah berjalan beberapa lama. Maksudnya, bentuk jual beli ini telah berlangsung beberapa lama dan ba’i al-wafa’ telah menjadi urf (adat kebiasaan) masyarakat Bukhara dan Balkh. Baru kemudian para ulama fiqh, dalam hal ini ulama Hanafi melegalisasi jual beli ini.
Ulama Hanafiyah dalam memberikan justifikasi terhadap ba’in al-wafa’ adalah didasarkan pada istihsan urfi. Akan tetapi para ulama fiqh lainnya tidak boleh melagalisasi jual beli ini. Alasan mereka diantaranya:
                       i.      Dalam suatu akad jual beli tidak dibenarkan adanya tenggang waktu, karena jual beli adalah akad yang mengakibatkan perpindahan hak milik secara sempurna dari penjual kepada pembeli.
                     ii.      Dalam jual beli tidak boleh ada syarat bahwa barang yang dijual itu harus dikembalikan oleh pembeli kepada penjual semula, apabila ia telah siap mengembalikan uang seharga jual semula.
                   iii.      Bentuk jual beli ini tidak pernah ada di zaman Rasulullah SAW maupun di zaman sahabat.
                   iv.      Jual beli ini merupakan hillah yang tidak sejalan dengan maksud syara’ pensyariatan jual beli.[32]

Namun, para ulama muta’akhiriin (generasi belakangan) dapat menerima baik bentuk jual beli ini, dan menganggapnya sebagai akad yang sah. Bahkan dijadikan hukum positif dalam majalah al-ahkam al’adhliyah (Kodifikasi Hukum Perdata Turki Ustmani) yang disusun pada tahun 1287 H. Begitupun dalam hukum positif Indonesia ba’i al-wafa’ telah diatur didalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Pasal 1112 s/d 115.

c.    Rukun Ba’i al-Wafa’
Syarat-syarat ba’i al wafa’ sama dengan syarat jual beli pada umumnya. Penambahan syarat untuk ba’i al-wafa’ hanya dari segi penegasan bahwa barang yang telah di jual itu harus dibeli kembali oleh penjual dan tenggang waktu yang berlakunya itu harus tegas. Misalnya satu tahun, dua tahun, atau lebih.[33]

d.   Perbedaan Ba’i al-Wafa’ dengan Rahn
Perbedaan antara ba’i al-wafa’ dengan rahn sebagai berikut:
                       i.      Dalam akad rahn pembeli tidak sepenuhnya memiliki barang yang dibeli (karena harus dikembalikan dengan penjual), sedangkan dalam ba’i al-wafa’, barang itu sepenuhnya menjadi milik pembeli selama tenggang waktu yang disepakati.
                     ii.      Dalam ar-rahn, jika harta yang digadaikan (al-marhun) rusak selama ditangan pembeli, maka kerusakan itu menjaadi tanggung jawab pemegang barang, sedangkan ba’i al-wafa’ apabila kerusakan itu bersifat total baru menjadi tanggung jawab pembeli. Namun apabila kerusakan tidak parah, maka hal itu tidak merusak akad.
                   iii.      Dalam ar-rahn segala biaya yang diperlukan untuk pemeliharaan barang menjadi tanggung jawab pemilik barang, sedangkan dalam ba’i al-wafa’ biaya pemeliharaan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pembeli.
                   iv.      Kedua belah pihak tidak boleh memindahtangankan barang itu ke pihak ketiga.

Ketika uang sejumlah pembelian semula dikembalikan penjual kepada pembeli setelah tenggang waktu jatuh tempo, pembeli wajib memberikan barang itu kepada penjual.[34]

5.      Bai’ Bidhamanil Ajil (Jual Beli Secara Berutang/Kredit)
a.       Pengertian
Dikenal juga dengan jual beli tertangguh yaitu menjual sesuatu dengan disegerakan penyerahan barang-barang yang dijual kepada pembeli dan ditangguhkan pembayarannya. Dari segi bentuknya, jual beli ini berbeda dengan ba’i al-salam yang mana pembayaran dilakukan secara tunai, sedangkan pengantaran barang ditangguhkan.[35] Dengan demikian jual beli secara beretangguh adalah boleh.

b.      Dasar Hukum
Pensyariatan ba’i bidhaman ’ajil tidak dijelaskan secara khusus tetapi berpedoman kepada keumuman ayat tentang jual beli yang terdapat dalam Q.S al-Baqarah/2:275 dan Q.S al-Baqarah/2:282 yang membicarakan tentang bolehnya hukum jual beli secara berutang (ba’i al-muajjal).
Kontrak ba’i bidhama ’ajail tidak dibahas secara khusus dalam kitab klasik, seperti jual beli bertangguh yang lain. Namun, Ibnu Qudamah menyatakan bahwa secara ijma’ jual beli secara tangguh tidak diharamkan.[36]

c.       Perbedaan Ba’i Bidhaman ’Ajil dengan Ba’i Murabahah
Perbedaan konsep ba’i bidhaman ’ajil dengan ba’i murabahah hanyalah pada tempo pembayaran, biasanya lebih satu tahun.

6.      Bai’ Al-Inah
a.       Pengertian
Kata ’inah menurut bahasa berarti meminjam/berutang. Dikatakan i’tana ar-rajul, yang maksudnya seorang laki-laki membeli sesuatu dengan pembayaran dibelakang atau utang atau tidak kontan. Jual beli seperti ini disebut ’inah karena pembeli suatu barang dagangan dalam tempo tertentu mengambil konpensasi barang itu dengan uang secara kontan.
Jual beli ’inah secara terminologis adalah menjual suatu benda dengan harga lebih dibayarkan belakangan dalam tempo tertentu untuk dijual lagi oleh orang yang beutang dengan harga saat itu yang lebih murah untuk menutup utangnya.
Praktik jual beli ’inah adalah jika seorang penjual menjual barang dagangannya dengan suatu harga yang dibayar belakangan dengan tempo tertentu, kemudian penjual itu membeli lagi barang dagangan itu dari pembeli (sebelum pembeli membayar harganya) dengan harga yang lebih murah, dan saat jatuh tempo pembeli membayar harga yang dibelinya dengan harga awal.[37]

b.      Hukum Ba’i ’Inah
Bentuk jual ini menjadi perbincangan para ulama. Mahzab Syafi’i berpendapat bahwa ba’i al-’inah dibolehkan karena akad jual beli ini telah memenuhi rukun, yaitu ijab dan kabul tanpa memandang kepada niat pelaku. Menurut pandangan ulama mahzab ini nia adalah urusan Allah SWT, dan akad jual beli yang dilakukan dengan niat yang salah tidak dianggap batal dan tidak bisa dibuktikan dengan jelas. Jual beli semacam ini dibolehkan agar terhindar dari mafsadat (kerusakan), dan bukan dimaksudkan untuk mengeruk keuntungan.

7.      Bai’ Tawarruq
a.       Pengertian
Dalam kamus, kata tawarruq diartikan daun. Dalam konteks ini, maknanya adalah memperbanyak harta. Menurut Ibnu Taimiyah, tawarruw adalah seseorang membeli barang dengan harga tertangguh kemudian menjualnya kepada orang lain (bukan penjual pertama) secara tunai, karena ingin mendapatkan uang tunai dengan segera.
Secara umum tawarruq adalah akad jual beli seperti ba’i al-’inaj (sale and buy back) yang melibatkan tiga pihak, bukan dua pihak seperti dalam kasus ba’i al-’inah. Akad tawarruq digunakan banyak di negara Timur Tengah sebagai alat untuk manajemen likuiditas. Tawarruq disebut juga sebagai kredit murabahah.[38]

b.      Hukum Jual Beli Tawarruq
Dalam hal jual beli tawarruq ulama berbeda pendapat. Menurut Ibnu Taimiyah, jual beli tawarruq hukumnya adalah haram, karena merupakan sarana bagi riba mendapatkan keuntungan yang besar. Menurut Imam Nawawi, jual beli tawarruq hukumnya halal karena tidak ada larangan jual beli secara ’inah dan tawarruq. Begitu juga menurut Ismail ibn Yahya al-Muzni Syafi’i, tidak ada larangan seseorang menjual harta bendanya secara kredit kemudian membelinya kembali dari si pembeli dengan harga lebih murah baik secara kontan, penawaran, maupun kredit.[39]

8.      Bai’ Al-Dayn
a.       Pengertian
       Al-dayn merupakan utang dalam bentuk pembiayaan. Dalam majallah al-ahkam bagian ke-158 dijelaskan al-dayn adalah sesuatu yang dhabit dalam tanggungan. Al-dayn merupakan utang dengan maksud penundaan tanggungan yang muncul dalam suatu kontrak yang melibatkan pertukaran nilai.

b.      Hukum Ba’i al-Dayn
       Jual beli utang merupakan salah satu bentuk perniagaan yang diperdebatkan statusnya. Sebagian ulama membolehkan jual beli utang kepada pengutang (orang yang berutang). Dengan demikian jual beli utang, baik kepada pengutang (al-adin) atau selain pihak yang pengutang. Ada beberapa pendapat ulama tentang status hukum jual beli tersebut:
                       i.      Jual Beli Utang Secara Tunai
1.         Jual utang kepada orang yang berutang itu sendiri
                        Jumhur ulama mengatakan bahwa jual utrang yang telah milik tetap (mustaqir) boleh atau dapat dihibahkan kepadanya, baik dan tukaran (bayaran) atau tanpa tukaran atau hibah. Hal ini dikenal dengan istibdal.
                        Akan tetapi jual beli utang yang tidak tetap (ghairu mustaqir) tidak dibolehkan menjualnya sebelum serah terima karena bisa terjadi pembatalan kontrak perjanjian sebelum barang yang dipesan diterima.
2.         Jual beli utang kepada selain dari orang yang berutang
                        Jumhur ulama berpendapat jual beli ini tidak dibenarkan. Sementara mahzab syafi’i menjelaskan boleh hukumnya menjual barang kepada pighak ketiga sekiranya utang tersebut tetap dan ia jual dengan barang secara tunai.
                     ii.      Jual Beli Utang Secara Tangguh
        Ahli fiqh sepakat mengatakan bahwa ba’i aal-dayn bi al-dayn tidak boleh, baik dijual kepada orang yang berutang maupun kepada orang lain. Dalam hal ini Nabi SAW bersabda: ”Bahwa sesungguhnya Nabi SAW melarang jual beli utang dengan utnag (ba’i al-kabi bi al-kali)”.[40]

BAB III
KESIMPULAN
Jual beli ialah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela di antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian  atau ketentuan yang telah dibenarkan Syara’ dan disepakati. Rukun jual beli ada tiga, yaitu akad (ijab qabul), orang-orang yang berakad (penjual dan pembeli), dan ma’kud alaih (objek akad).
Jual beli dapat ditinjau dari beberapa segi, ditinjau dari segi hukumnya, jual beli ada dua macam, jual beli yang sah menurut hukum dan batal menurut hukum, dari segi objek jual beli dan segi pelaku jual beli.
Ditinjau dari segi benda yang dijadikan objek jual beli dapat dikemukakan pendapat Imam  Taqiyuddin bahwa jual beli dibagi menjadi tiga bentuk.
البيو ع ثلا ثة بيع عين مشا هدة وبيع شيئ مو صو ف فى الذ مة وبيع عين غاءبة لم تشا هد
"jual beli itu ada tiga macam: 1jual beli benda yang kelihatan, 2 jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam janji, dan 3 jual beli benda yang tidak ada."


  
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah bin Muhammad ath-Thayar, Ensiklopedi Fiqh Muamallah dalam Pandangan 4 Mahzab, (Yogyakarta: Maktabah al-hanif, 2009).
Gemala Dewi, et al., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005)
Haroen Nasrun, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007)
Syarifuddin Amir, Garis-Garis Besar Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2010)
Suhendi Hendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010)









[1] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawi Pers, 2010) H. 67-69
[2]  Syamsul Rijal Hamid, Buku Pintar Agama Islam, (Bogor: Cahaya Islam, 2007), H. 425-426

[3] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007) hlm. 113-114
[4] Suhendi, Fiqh Muamalah, H. 70-71
[5] Suhendi, Fiqh Muamalah, H. 75-76
[6] Suhendi, Fiqh Muamalah, H. 76-78
[7] Suhendi, Fiqh Muamalah, H. 78-79

[8] Suhendi, Fiqh Muamalah, H. 79-81
[9] Dr. Mardani, FIQH EKONOMI SYARIAH: FIQH MUAMALAH, (Jakarta: Kencana, 2012), H. 113
[10] Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Ensiklopedi Muamalah, (Yogyakarta: Maktabah al Hanif, 2009), H. 137
[11] Pasal 20 Ayat (34)
[12] Menurut Imam Hanafi bahwa rukun salam itu shigat saja.
[13] Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Ensiklopedi Muamalah, H. 138
[14] Dewi Gemala et. al., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), H. 114            
[15] Dr. Mardani, FIQH EKONOMI SYARIAH: FIQH MUAMALAH, H.115
[16] M. Syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Pers, 2001), H. 110
[17] Dr. Mardani, FIQH EKONOMI SYARIAH: FIQH MUAMALAH, H. 116
[18] Dr. Mardani, FIQH EKONOMI SYARIAH: FIQH MUAMALAH, H. 116
 [19] Dr. Mardani, FIQH EKONOMI SYARIAH: FIQH MUAMALAH,  H. 117
[20] Dr. Mardani, FIQH EKONOMI SYARIAH: FIQH MUAMALAH, H. 124
[21] Pasal 20 ayat (10)
[22] M. Syafi’I Antonio, Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendekiawan, (Jakarta: Tazkia Institut, 1999) H. 173
[23] Abdullah bin Muhammad ath-Thayyar, Ensiklopedi Muamalah, H. 144
[24] Dr. Mardani, FIQH EKONOMI SYARIAH: FIQH MUAMALAH, H. 126
[25] Pasal 20 ayat (6)
[26] Dr. Mardani, FIQH EKONOMI SYARIAH: FIQH MUAMALAH, H. 136
[27] Dr. Mardani, FIQH EKONOMI SYARIAH: FIQH MUAMALAH, H. 137
[28] Dr. Mardani, FIQH EKONOMI SYARIAH: FIQH MUAMALAH, H. 139
[29] Dr. Mardani, FIQH EKONOMI SYARIAH: FIQH MUAMALAH, H. 140
[30] Pasal 20 ayat (41)
[31] Nasrun Haroen, Fiqh Muamallah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), H. 153
[32] Nasrun Haroen, Fiqh Muamallah, H. 156
[33] Nasrun Haroen, Fiqh Muamallah, H. 155
[34] Nasrun Haroen, Fiqh Muamallah, H. 155
[35] Dr. Mardani, FIQH EKONOMI SYARIAH: FIQH MUAMALAH, H. 183
[36] Dr. Mardani, FIQH EKONOMI SYARIAH: FIQH MUAMALAH, H. 184
[37] Abdullah bin Muhammad ath-Thayyar, Ensiklopedi Muamalah, H.186
[38] Dr. Mardani, FIQH EKONOMI SYARIAH: FIQH MUAMALAH, H. 189
[39] Dr. Mardani, FIQH EKONOMI SYARIAH: FIQH MUAMALAH, H. 190
[40] Dr. Mardani, FIQH EKONOMI SYARIAH: FIQH MUAMALAH, H. 193

Tidak ada komentar:

Posting Komentar