BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Islam merupakan agama yang
diturunkan oleh Allah Swt sebagai agama yang membawa rahmat kepada seluruh alam
juga sangat menyoroti mengenai hal-hal yang berkaitan dengan jual beli. Dalam
Islam jual beli juga dibahas secara mendetail karena pada hakekatnya Islam
bukan hanya agama yang mementingkan aspek ibadah saja melainkan juga sangat
menekankan aspek sosial (muamalah).
Jual beli (Al-Buyu’) merupakan
suatu kegiatan tukar menukar barang dengan barang lain dengan cara tertentu.
Termasuk dalam hal ini adalah jasa dan juga penggunaan alat tukar seperti uang.
Jual beli ini dilakukan dengan memindahkan hak milik kepada orang lain dengan
harga, sedangkan membeli yaitu menerimanya.
Dalam makalah
ini kami akan membahas hal-hal yang berkaitan dengan jual beli dalam Islam.
Dimulai dari pengertian jual beli itu sendiri baik secara bahasa maupun secara
istilah. Kemudian dipaparkan tentang rukun dan syarat-syarat sahnya jual beli.
Pembahasan selanjutnya mengulas tentang macam-macam jual beli baik yang
dilarang maupun yang diperbolehkan.
B. Rumusan
Masalah
Dari uraian latar belakang masalah
diatas, terdapat beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
1. Ruang lingkup akad jual
beli?
2. Pembahasan akad dalam kaitannya dengan jual beli?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Jual Beli (al-Buyu’)
Jual beli menurut bahasa berarti
al-Bai’, al-Tijarah dan al-mubadalah, sebagaimana firman Allah:
يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ
تَبُورَ
Artinya: Mereka mengharapkan tijarah (perdagangan)
yang tidak akan rugi (QS. Faathir[35]: 29).
Menurut istilah (terminologi) yang
dimaksud dengan jual beli adalah sebagai berikut:
1.
Menukar barang
dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari
yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan.
2.
Pemilikan harta
benda dengan jalan tukar-menukar yang sesuai dengan aturan Syara.
3.
Saling tukar
harta, saling menerima, dapat dikelola (tasharruf) dengan ijab dan qabul,
dengan cara yang sesuai dengan syara dll.
Dari beberapa definisi di atas dapat
dipahami bahwa inti jual beli ialah suatu perjanjian tukar menukar benda atau
barang yang mempunyai nilai secara sukarela di antara kedua belah pihak, yang
satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan
perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan Syara’ dan disepakati.[1]
Pendapat lain, jual beli menurut
syariat agama yaitu kesepakatan tukar-menukar benda untuk memiliki benda
tersebut selamanya. Melakukan
jual beli dibenarkan dalam Alquran:
وَأَحَلَّ اللَّهُ
الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya: Allah
menghalalkan jual beli dan, mengharamkan riba’ (QS. al-Baqarah[2]: 275).[2]
Apabila jual beli itu menyangkut suatu barang yang sangat
besar nilainya, dan agar tidak terjadi kecurangan di belakang hari, Alquran
menyarankan agar ada saksi.
Artinya: Dan hendaklah kamu mengadakan
saksi kalau kamu berjual beli, dan janganlah penulis dan saksi itu mempersulit. (QS.
al-Baqarah[2]: 282).
B.
Dasar Hukum
Jual Beli
Jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama
umat manusia mempunyai landasan yang kuat dalam Alquran dan Sunnah Rosulullah
saw. Terdapat sejumlah ayat Alquran yang
berbicara tentang jual beli, diantaranya :
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya: Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba’ … (QS. Al-Baqarah [2] : 275)
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلا
مِنْ رَبِّكُمْ
Artinya: Tiada salahnya kamu mencari
rezeki dari Tuhanmu
(QS. al- Baqarah[2] :198)
إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ
مِنْكُمْ
Artinya: kecuali dengan jalan perdagangan yang didasari suka sama suka di
antara kamu… (QS. an-Nisa’[4]: 29)
Dasar hukum jual beli dalam sunnah Rasulullah Saw. Di
antaranya adalah hadits dari Rifa’ah ibn Rafi’ bahwa:
سئل النبي صلى الله عليه وسلم أي الكسب أطيب ؟ فقل: عمل الر جل
بيده وكل بيع مبرور (رواه البز والحاكم)
Rasulullah Saw. Ditanya
salah seorang sahabat mengenai pekerjaan (propesi) apa yang paling baik.
Rosulullah ketika itu menjawab: usaha tangan manusia sendiri dan setiap jual
beli yang diberkati. (HR al-Bazzar dan al-Hakim).
Artinya jual beli yang jujur, tanpa
diiringi kecurangan-kecurangan mendapat berkat dari Allah. Dalam hadits dari
Abi Sa’id al-Khudri yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi, Ibn Majah dan Ibn
Hibban, Rosulullah saw. Menyatakan: “jual beli itu didasarkan kepada suka sama
suka”.[3]
C.
Rukun dan
Syarat Jual Beli
Rukun jual beli ada tiga, yaitu akad
(ijab qabul), orang-orang yang berakad (penjual dan pembeli), dan ma’kud
alaih (objek akad).
Akad ialah ikatan kata antara penjual
dan pembeli. Jual beli belum dikatakan sah sebelum ijab dan qabul dilakukan
sebab ijab kabul menunjukkan kerelaan (keridhaan). Pada dasarnya ijab kabul
dilakukan dengan lisan, tetapi kalau tidak mungkin, misalnya bisu atau yang
lainnya, boleh ijab kabul dengan surat-menyurat yang mengandung arti ijab dan
kabul.
Adanya kerelaan tidak dapat dilihat
sebab kerelaan berhubungan dengan hati, kerelaan dapat diketahui melalui
tanda-tanda lahirnya, tanda yang jelas menunjukkan kerelaan adalah ijab dan
kabul, Rasulullah Saw. Bersabda:
“Dari Abi Hurairah r.a. dari Nabi Saw. Bersabda: janganlah
dua orang yang jual beli berpisah, sebelum saling meridhai” (Riwayat Abu Daud
dan Tirmidzi).
“Rasulullah Saw. Bersabda: sesungguhnya jual beli hanya
akan sah apabila saling merelakan” (Riwayat Ibn Majah).
Jual beli yang menjadi kebiasaan,
misalnya jual beli sesuatu yang menjadi kebutuhan sehari-hari tidak disyaratkan
ijab dan kabul, ini adalah pendapat jumhur. Menurut fatwa Ulama Hanafiyah, jual
beli barang-barang yang kecil pun harus ijab dan kabul, tetapi menurut Imam
Al-Nawawi dan Ulama Muta’akhirin Syafi’iyah berpendirian bahwa boleh jual beli
barang-barang yang kecil dengan tidak ijab dan kabul seperti membeli sebungkus
rokok.[4]
Transaksi jual beli dianggap sah
apabila dengan ijab dan kabul, kecuali barang-barang kecil, yang hanya cukup
dengan mua’thaah (saling memberi) sesuai adat dan biasaan yang berlaku. Tidak
ada kata-kata khusus dalam pelaksanaan ijab dan kabul, karena ketentuannya
tergantung pada akad sesuai dengan tujuan dan maknanya, bukan berdasarkan atas
kata-kata dan bentuk kata tersebut.
Jual beli dinyatakan sah, apabila telah
memenuhi syarat-syarat berikut: pelaku akad, barang yang diakadkan atau tempat
berakad, artinya yang akan dipindah kepemilikannya dari salah satu pihak kepada
pihak lain baik berupa harga atau barang yang ditentukan dengan nilai atau
harga.
D. Macam-Macam Jual Beli
Jual beli dapat ditinjau dari beberapa
segi, ditinjau dari segi hukumnya, jual beli ada dua macam, jual beli yang sah
menurut hukum dan batal menurut hukum, dari segi objek jual beli dan segi
pelaku jual beli.
Ditinjau dari segi benda yang dijadikan
objek jual beli dapat dikemukakan pendapat Imam Taqiyuddin bahwa jual beli
dibagi menjadi tiga bentuk.
البيو ع ثلا ثة بيع عين مشا هدة وبيع شيئ مو صو ف فى الذ مة
وبيع عين غاءبة لم تشا هد
"jual beli itu
ada tiga macam: 1.
jual beli benda
yang kelihatan, 2. jual beli yang
disebutkan sifat-sifatnya dalam janji, dan 3. jual beli benda yang tidak ada."
Jual beli benda yang kelihatan ialah
pada waktu melakukan akad jual beli benda atau barang yang diperjualbelikan ada
di depan penjual dan pembeli. Hal ini lazim dilakukan masyarakat banyak dan
boleh dilakukan, seperti membeli beras di pasar. Sedangkan jual beli yang
disebutkan sifat-sifatnya dalam perjanjian ialah jual beli salam (pesanan).
Menurut kebiasaan para pedagang salam adalah untuk jual beli yang tidak tunai
(kontan), salam pada awalnya berarti meminjamkan barang atau sesuatu yang
seimbang dengan harga tertentu, maksudnya ialah perjanjian yang penyerahan
barang-barangnya ditangguhkan hingga masa tertentu, sebagai imbalan harga yang
telah ditetapkan ketika akad.
Dalam salam berlaku semua syarat jual
beli dan syarat-syarat tambahannya seperti berikut ini:
a.
Ketika
melakukan akad salam, disebutkan sifat-sifatnya yang mungkin dijangkau oleh
pembeli, baik berupa barang yang dapat ditakar, ditimbang, maupun diukur.[5]
b.
Dalam akad
harus disebutkan segala sesuatu yang bisa mempertinggi dan memperendah harga
barang itu, umpamanya benda tersebut berupa kapas, sebutkan jenis kapas
saclarides nomor satu, nomor dua, dan seterusnya, kalau kain, sebutkan
jenis kainnya. Pada intinya sebutkan semua identitasnya yang dikenal oleh
orang-orang yang ahli di bidang ini yang menyangkut kualitas barang tersebut.
c.
Barang yang
akan diserahkan hendaknya baranag-barang yang biasa didapatkan di
pasar.
d.
Harga hendaknya
dipegang di tempat akad berlangsung.
Jual beli benda yang tidak ada serta
tidak dapat dilihat ialah jual beli yang dilarang oleh agama Islam karena
barangnya tidak tentu atau masih gelap sehingga dikhawatirkan barang tersebut
diperoleh dari curian atau barang titipan yang akibatnya dapat menimbulkan
kerugian salah satu pihak. Sementara itu, merugikan dan menghancurkan harta
benda seseorang tidak dperbolehkan, seperti yang dijelaskan oleh Muhammad
Syarbini Khatib bahwa penjualan bawang merah dan wortel serta lainnya yang
berada di dalam tanah adalah batal sebab hal tersebut merupakan perbuatan ghoror.
Ditinjau dari segi pelaku akad (subjek), jual
beli terbagi menjadi tiga bagian, dengan lisan, dengan perantara, dan dengan
perbuatan.
Akad jual beli yang dilakukan dengan
lisan adalah akad yang dilakukan oleh kebanyakan orang. Bagi orang bisu diganti
dengan isyarat karena isyarat merupakan pembawaan alami dalam menampakkan
kehendak. Hal yang dipandang dalam akad adalah maksud atau kehendak dan
pengertian, bukan pembicaraan dan pernyataan.[6]
Jual beli dengan perbuatan (saling
memberikan) atau dikenal dengan istilah mu’athah yaitu mengambil dan
memberikan barang tanpa ijab dan kabul, seperti seseorang mengambil rokok yang
sudah bertuliskan label harganya, dibandrol oleh penjual dan kemudian diberikan
uang pembayarannya kepada penjual. Jual beli dengan cara demikian dilakukan
tanpa sighat ijab kabul antara penjual dan pembeli, menurut sebagian Syafi’iyah
tentu hal ini dilarang sebab ijab kabul sebagai rukun jual beli. Tetapi
sebagian Syafi’iyah lainnya, seperti Imam Nawawi membolehkan jual beli barang
kebutuhan sehari-hari dengan cara yang demikian, yakni tanpa ijab kabul
terlebih dahulu.
Selain pembelian diatas, jual beli juga
ada yang dibolehkan dan ada yang dilarang jual beli yang dilarang juga ada yang
batal ada pula yang terlarang tetapi sah.
Jual beli yang dilarang dan batal
hukumnya adalah sebagai berikut:
a.
Barang yang
dihukumkan najis oleh agama, seperti anjing, babi, berhala, bangkai, dan
khamar, Rosulullah saw. Bersabda: “Dari jahir r.a, Rosulullah saw. Bersabda:
sesungguhnya Allah dan Rosul-Nya telah mengharamkan menjual arak, bangkat, babi,
dan berhala” (Riwayat Bukhari dan muslim).
b.
Jual beli
sperma (mani) hewan, seperti mengawinkan seekor domba jantan dengan betina agar
dapat memperoleh turunan. Jual beli ini haram hukumnya karena Rosulullah saw.
Bersabda: “Dari Ibnu Umar r.a berkata: Rosulullah saw telah melarang menjual
mani binatang” (Riwayat Bukhari).
c.
Jual beli anak
binatang yang masih berada dalam perut induknya. Jual beli seperti ini
dilarang. Karena barangnya belum ada dan tidak tampak, juga Rosulullah saw
bersabda: “Dari Ibnu Umar r.a Rosulullah saw telah melarang penjualan sesuatu
yang masih dalam kandungan induknya”. (Riwayat Bukhari dan Muslim).[7]
d.
Jual beli dengan muhaqallah. Baqalah berarti
tanah, sawah, dan kebun, maksud muhaqallah di sini ialah menjual
tanam-tanaman yang masih di lading atau di sawah. Hal ini
dilarang agama sebab ada persangkaan riba di dalamnya.
e.
Jual beli
dengan mukhadharah, yaitu menjual buah-buahan yang belum pantas untuk dipanen,
seperti menjual rambutan yang masih hijau, mangga yang masih kecil-kecil, dan
yang lainnya. Hal ini dilarang karena barang tersebut masih samar,
dalam artian mungkin saja buah tersebut jatuh tertiup angin kencang atau yang
lainnya sebelum diambil oleh si pembelinya.
f.
Jual beli
dengan muammassah, yaitu jual beli secara sentuh menyentuh, misalkan
seseorang menyentuh sehelai kain dengan tangannya di waktu malam atau siang
hari, maka orang yang menyentuh berarti telah membeli kain tersebut. Hal ini
dilarang karena mengandung tipuan dan kemngkinan akan menimbulkan kerugian bagi
salah satu pihak.
g.
Jual beli
dengan munabadzah, yaitu jual beli secara lempar melempar, seperti
seseorang berkata, “lemparkan kepadaku apa yang ada padamu, nanti kulemparkan
pula kepadamu apa yang ada padaku’. Setelah terjadi lempar-melempar,
terjadilah jual beli. Hal ini dilarang karena mengandung tipuan dan tidak ada
ijab dan Kabul.
h.
Jual beli
dengan muzabanah, yaitu menjual buah yang basah dengan buah yang kering,
seperti menjual padi kering dengan bayaran padi basah, sedangkan ukurannya
dengan dikilo sehingga akan merugikan pemilik padi kering. Hal ini
dilarang oleh Rasulullah saw dengan sabdanya:“Dari Anas r.a, ia berkata:
Rosulullah saw. Melarang jual beli muhaqallah, mukhadharah, muammassah,
munazabah dan muzabanah”. (Riwayat Bukhari).
i.
Menentukan dua
harga untuk satu barang yang diperjualbelikan. Menurut Syafi’I penjualan
seperti ini mengandung dua arti, yang pertama seperti seseorang berkata “kujual
buku ini seharga S 10,- dengan tunai S 15,- dengan cara utang”. Arti kedua
ialah seperti seseorang berkata. “aku jual buku ini kepadamu dengan syarat kamu
harus menjual tasmu padaku.” Rasulullah saw. Bersabda: “Dari Abi Hurairah,
ia berkata: Rasulullah saw. Bersabda: barang siapa yang menjual dengan dua
harga dalam satu penjualan barang, maka baginya ada kerugian atau riba.”
(Riwayat Abu Daud).
j.
Jual beli
dengan syarat (iwadh mahjul), jual beli seperti ini, hampir sama dengan
jual beli menentukan dua harga, hanya saja di sini dianggap sebagai syarat,
seperti seseorang berkata, “aku jual rumahku yang butut ini kepadamu dengan
syarat kamu mau menjual mobilmu padaku.” lebih jelasnya, jual beli ini sama
dengan jual beli dua harga arti yang kedua menurut a-Syafi’i.[8]
k.
Jual beli
gharar, yaitu jual beli yang samar sehingga ada kemungkinan terjadi penipuan,
seperti penjualan ikan yang masih di kolam atau menjual kacang tanah yang
atasnya kelihatan bagus tetapi di bawahnya jelek. Penjualan seperti ini
dilarang, karena Rasulullah saw.
Bersabda: “janganlah kamu membeli ikan di dalam
air, karena jual beli seperti itu termasuk gharar, alias nipu”. (Riwayat
Ahmad).
l.
Jual beli
dengan mengecualikan sebagian benda yang dijual, seperti seseorang
menjual sesuatu dari benda itu ada yang dikecualikan salah satu bagiannya,
misalnya A menjual seluruh pohon-pohonan yang ada dikebunnya, kecuali pohon
pisang. Jual beli ini sah sebab yang dikecualikannya jelas.
Namun, bila yang dikecualikannya tidak jelas (majhul), jual beli tersebut
batal. Rasulullah saw bersabda:“Rasulullah
melarang jual beli dengan muhaqallah, mudzabanah, dan yang dikecualikan, kecuali
bila ditentukan”. (Riwayat Nasai).
m.
Larangan
menjual makanan hingga dua kali ditakar. Hal ini menunjukkan kurangnya saling
percaya antara penjual dan pembeli. Jumhur ulama berpendapat bahwa seseorang
yang membeli sesuatu dengan takaran dan telah diterimanya, kemudian ia jual
kembali, maka ia tidak boleh menyerahkan kepada pembeli kedua dengan takaran
yang pertama sehingga ia harus menakarnya lagi untuk pembeli yang kedua itu. Rasulullah
saw. Melarang jual beli makanan yang dua kali ditakar, dengan takaran penjual
dan takaran pembeli (Riwayat Ibnu Majah dan
Daruquthni).
E.
Akad dalam Jual Beli
1.
Salam (In-Front
Payment Sale)
a.
Pengertian Salam (Jual Beli dengan Pembayaran di Muka)
Dikatakan aslama ats-tsauba lil-khiyath, artinya
ia memberikan/menyerahkan pakaian untuk dijahit. Dikatakan salam karena orang
yang memesan menyerahkan harta pokoknya dalam majelis. Dikatakan salam karena
ia menyerahkan uangnya terlebih dahulu sebelum menerima barang dagangannya.
Salam termasuk kategori jual beli yang sah jika memenuhi persyaratan keabshahan
jual beli pada umumnya.[9]
Adapun salam secara terminologis adalah transaksi
terhadap sesuatu yang dijelaskan sifatnya dalam tanggungan dalam suatu tempo
dengan harga yang diberikan kontan ditempat transaksi.[10]
Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, salam adalah
jasa pembiayaan yang berkaitan dengan jual beli yang pembiayaannya dilakukan
bersamaan dengan pemesanan barang.[11]
b.
Rukun dan Syarat Salam
Sebagaimana jual beli, dalam akad salam harus terpenuhi
rukun dan syaratnya. Adapun rukun dan syarat menurut jumhur
ulama yaitu:[12]
i.
Shigat, yaitu ijab dan Kabul;
ii.
’aqidani (dua orang yang melakukan transaski), yaitu
orang yang memesan dan menerima pesanan; dan
iii.
Objek transaksi. Yaitu harga dan barang yang dipesan.[13]
Adapun
syarat-syarat dalam salam sebagai berikut:
i. Uangnya dibayar
ditempat akad, berarti pembayaran dilakukan terlebih dahulu.
ii. Barangnya menjadi
hutang bagi penjual.
iii. Barangnya dapat
diberikan sesuai waktu yang dijanjikan. Berarti pada waktu dijanjikan barang
itu harus sudah ada. Oleh sebab itu men-salam buah-buahan yang waktunya
ditentukan bukan pada musimnya tidak sah.
iv. Barang tersebut
hendaklah jelas ukurannya, takarannya, ataupun bilangannya, menurut kebiasaan
cara menjual barang seperti itu.
v. Diketahui dan
disebutkan sifat-sifat dan macam barangnya dengan jelas, agar tidak ada
keraguan yang akan mengakibatkan perselisihan antara kedua belah pihak. Dengan
sifat itu, berarti harga dan kemauan orang pada barang tersebut dapat berbeda.
vi. Disebutkan tempat
menerimanya.[14]
Menurut
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Pasal 101 s/d Pasal 103, bahwa syarat ba’i
salam adalah sebagai berikut:
i. Kualitas dan
Kuantitas barang sudah jelas. Kuantitas barang dapat diukur dengan takaran,
atau timbangan, dan atau meteran.
ii. Spesifikasi
barang yang dipesan harus diketahui secara sempurna oleh para pihak.
iii. Barang yang
dijual, waktu, dan tempat penyerahan dinyatakan dengan jelas.
iv. Pembayaran dapat
dilakukan pada waktu dan tempat yang disepakatai.
c. Dasar Hukum Salam
Yang menjadi
dalil pelaksanaan jual beli salam, yaitu:[15]
i.
QS. al-Baqarah/2:282
”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kalian menulisnya”
ii. Al-Hadis
”Ibnu Abbas meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW datang ke
Madinah dimana penduduknya melakukan salaf (salam) dalam buah-buahan (untuk
jangka waktu) satu, dua, tiga tahun. Beliau berkata ”Barang siapa yang
melakukan salaf (salam), hendaklah ia melakukan dengan takaran yang jelas dan
timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang ditentukan.” Dalam hadis
lain: ”Dari Shihab r.a, bahwa Rasulullah SAW bersabda: ”Tiga hal yang di
dalamnya terdapat keberkahan: Jual beli secara tangguh, muqaraddah
(mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan
untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah)
d.
Salam Pararel
Salam Pararel
berarti melaksanakan dua transaksi ba’i
al-salam antara bank dan nasabah, dan di antara bank dan pemasok (suplier) atau
pihak ketiga lainnya secara stimultan.
Dewan pengawas
Syariah Rajhi Banking & Investment Coorporation telah menetapkan fatwa yang
membolehkan praktik salam pararel dengan syarat pelaksanaan transaksi salam
kedua tidak bergantung pada pelaksanaan akad salam yang pertama.[16]
Untuk
di Indonesia, salam pararel diatur dalam fatwa DSN MUI No. 05/DSN-MUI/IV/2000.
e.
Perbedaan Antara Jual Beli Salam dengan Jual Beli Biasa
Semua
syarat-syarat dasar suatu akad jual beli biasa masih tetap ada pada jual beli
salam. Namun ada beberapa perbedaan antara keduanya. Misalnya:[17]
i.
Dalam jual beli salam, perlu ditetapkan periode
pengiriman barang yang dalam jual beli biasa tidak perlu.
ii.
Dalam jual beli salam, komoditas yang tidak dimiliki oleh
penjual dapat dijual; jual beli biasa tidak dapat dijual.
iii.
Dalam jual beli salam, hanya komoditas yang secara tepat
dapat ditentukan kualitas dan kuantitasnya dapat dijual, yang dalam jual beli
biasa, segala komoditas yang dapat dimiliki dapat dijual kecuali yang dilarang
oleh Al-Quran dan Hadis.
iv.
Dalam jual beli salam, pembayaran harus dilakukan ketika
membuat kontrak; yang dalam jual beli biasa, pembayaran dapat ditunda atau
dapat dilakukan ketika pengiriman barang berlangsung.
Jadi, kita
dapat menyimpulkan bahwa aturan asal pelarangan jual beli yaitu tidak adanya
barang, telah dihapuskan dengan pertimbangan kebutuhan masyarakat terhadap
kontrak salam.[18]
f. Perbedaan Ba’i
Al-salam dengan Ijon
Banyak orang
yang menyamakan ba’i al-salam dengan ijon, padahal terdapat perbedaan besar di
antara keduanya. Dalam ijon, barang yang dibeli tidak diukur atau ditimbang
secara jelas dan spesifik. Dengan demikian juga penetapan harga beli sangat
bergantung kepada keputusan si tengkulak yang sering kali dominan dan menekan
petani yang posisinya lebih lemah.
Adapun
transaksi ba’i al-salam mengharuskan adanya dua hal sebagai berikut:[19]
i. Pengukuran dan
Spesifikasi yang jelas. Hal ini tercermin dalam hadis Rasululllah SAW yang
diriwayatkan Ibnu Abbas, ” Barang siapa melakukan transaksi salaf (salam),
hendaklah ia melakukan dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas, untuk
jangka waktu yang jelas pula.”
ii. Adanya keridhaan
yang utuh antara kedua belah pihak. Hal ini terutama dalam menyepakati harga.
Allah SWT berfirman: ... Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama suka diantara kalian ...”
2. Istishna’
(Purchase By Order or Manufacture)
a.
Pengertian Istishna’ (Jual Beli dengan Pesanan)
Istishna’ secara etimologis adalah masdar dari sitashna
’asy-sya’i, artinya meminta membuat sesuatu. Yakni meminta kepada seorang
pembuat untuk mengerjakan sesuatu.
Adapun istishna’ secara terminologis adalah transaksi
terhadap barang yang disyaratkan untuk mengerjakannya. Objek transaksinya
adalah barang yang harus dikerjakan dan pekerjaan pembuatan barang itu.[20]
Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, istishna’ adalah
jual beli barang atau jasa dalam bentuk pemesanan dengan kriteria dan
persyaratan tertentu yang disepakati antara pihak pemesan dan pihak penjual.[21]
b.
Perbedaan Istishna’ dengan Salam
Istishna’ adalah bentuk transaksi yang menyerupai jual
beli salam jika ditinjau dari sisi bahwa objek (barang) yang dijual belum ada,
namun demikian keduanya memiliki perbedaan.
Istishna’ merupakan salah satu bentuk dari jual beli
salam, hanya saja objek yang diperjanjikan berupa manufacture order atau
kontrak produksi. Istishna’ didefinisikan sebagai kontrak antara pembeli dan
pembuat barang. Dalam kontrak ini pembuat barang (shani’) menerima pesanan dari
pembeli (mutashna’) untuk membuat barang dengan spesifikasi yang telah
disepakati kedua belah pihak yang bersepakat atas harga dan sistem pembayaran,
yaitu dilakukan dimuka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai waktu yang
akan datang.[22]
c.
Perbedaan Istishna’ dengan Ijarah
Dalam transaksi istishna’ barang yang harus dibuat dan
dipekerjakan semuanya menjadi kewajiban shani (pembuat/pekerja). Adapun dalam
ijarah, barang yang harus dikerjakan dari peminta (pembeli) dan pekerja atau
penjual hanya diminta mengerjakkannya.[23]
d.
Syarat dan Rukun Istishna’
Syarat Istishna’ menurut Pasal 104 s/d Pasal 108
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah adalah sebagai berikut:
i.
Ba’i istishna’ mengikat setelah masing-masing pihak
sepakat atas barang yang dipesan.
ii.
Ba’i istishna dapat dilakukan pada barang yang bisa
dipesan.
iii.
Dalam ba’i istishna’, identifikasi dan deskripsi barang
yang dijual harus sesuai permintaan pemesanan.
iv.
Pembayaran dalam ba’i istishna dilakukan pada waktu dan
tempat yang disepakati.
v.
Setelah akad jual beli pesanan mengikat, tidak satupun
boleh tawar-menawar kembali terhadap isi akad yang sudah diperjanjikan.
vi.
Jika objek dari barang pesanan tidak sesuai dengan spesifikasi,
maka pemesanan dapat menggunakan hak pilihnya (khiyar) untuk melanjutkan atau
membatalkan pemesanan.
Adapun rukun istishna’ sebagai berikut:
i.
Al-’Aqidain (dua pihak yang melakukan transaksi) harus
mempunyai hak membelanjakkan harta.
ii.
Shighat, yaitu segala sesuatu yang menunjukkan aspek suka
sama suka dari kedua belah pihak, yaitu penjual dan pembeli.
iii.
Objek yang ditransaksikan, yaitu barang produksi.
e.
Dasar Hukum Istishna’
Ulama yang membolehkan istishna’ berpendapat, bahwa
istishna’ disyariatkan berdasarkan Sunnah Nabi Muhammad SAW, bahwa beliau
pernah minta dibuatkan cincin sebagaimana yang diriwayatkan Imam Bukhari,
sebagai berikut: ”Dari Ibnu Umar r.a, bahwa Rasulullah SAW minta dibuatkan
cincin dari emas. Beliau memakainya dan meletakkan batu mata cincin dibagian
dalam telapak tangan. Orang-orang pun membuat cincin. Kemudian beliau duduk
diatas mimbar, melepas cincinnya, dan bersabda, “Sesungguhnya aku tadinya
memakai cincin ini dan aku letakkan batu mata cincin ini dibagian telapak
tangan.” Kemudian beliau membuang cincinnya dan bersabda , ”Demi Allah, aku
tidak akan memakai selamanya”. Kemudian orang-orang membuang cincin mereka.” (HR.
Bukhari)[24]
3. Murabahah
(Deferred Payment Sale)
a. Pengertian
Murabahah
Murabahah atau disebut juga ba’ bitsmail ajil. Kata
murabahah berasal dari kata ribhu (keuntungan). Sehingga murabahah berarti
saling menguntungkan. Secara sederhana murabahah berarti jual beli barang
ditambah keuntungan yang disepakati.
Jual beli murabahah secara terminologis adalah pembiayaan
saling menguntungkan yang dilakukan oleh shahib al-mal dengan pihak yang
membutuhkan melalui transaksi jual beli dengan penjelasan bahwa harga pengadaan
barang dan harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan keuntungan atau laba
bagi shaib al-mal dan pengembaliannya dilakukan secara tunai atau angsur.[25]
Jual beli murabahah adalah pembelian oleh satu pihak
untuk kemudian dijual kepada pihak lain yang telah mengajukan permhonan
pembelian terhadap suatu barang dengan keuntungan atau tambahan harga yang
transparan.[26] Atau
singkatnya jual beli murabahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan
harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan
pembeli. Akad ini merupakan salah satu bentuk natural certainty contracts,
karena dalam murabahah ditentukan berapa required rate profit-nya
(keuntungan yang ingin diperoleh).
b.
Dasar Hukum
Murabahah adalah suatu jenis jual beli yang dibenarkan
oleh syariah dan merupakan implementasi muamalah tijariyah (intersaksi bisnis).
Hal ini berdasarkan kepada Q.S al-Baqarah/2:275 ”Allah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba.”
c.
Syarat dan Rukun Murabahah
Syarat yang harus dipenuhi dalam transaksi murabahah
meliputi hal-hal sebagai berikut:[27]
i.
Jual beli murabahah harus dilakukan atas barang yang
telah dimiliki (hak kepemilikan berada ditangan si penjual). Artinya,
keuntungan dan risiko barang tersebut ada pada penjual sebagai konsekuensi
daari kepemilikan yang timbul dari akad yang sah. Ketentuan ini sesuai dengan
kaidah, bahwa keuntungan yang terkait dengan resiko dapat mengambil keuntungan.
ii.
Adanya kejelasan informasi men
iii.
genai besarnya modal dan biaya-biaya lain yang lazim
dikeluarkan dalam jual beli pada suatu komoditas, semuanya harus diketahui oleh
pembeli saat transaksi. Ini merupakan salah satu syarat sah murabahah.
iv.
Adanya informasi yang jelas tentang keuntungan, baik
nominal maupun persentase sehingga diketahui oleh pembeli sebagai salah satu
syarat murabahah.
v.
Dalam sistem ini, penjual boleh menetapkan syarat kepada
pembeli untuk menjamin kerusakan yang tidak tampak pada barang.
d.
Perbedaan antara Salam, Istishna’, dan Murabahah
Salam, istishna’, dan murabahah merupakan jenis pembiyaan
berdasarkan akad jual beli. Inti dari pembiyaan berdasarkan akad jual beli
adalah bahwa nasabah yang membutuhkan suatu barang tertentu, maka padanya akan
menerima barang dari pihak bank dengan harga sebesar harga pokok ditambah
besarnya keuntungan yang dikehendaki oleh bank (profit margin) dan tentu saja
harus ada kesepakatan mengenai harga tersebut oleh kedua belah pihak. Murabahah
merupakan jual beli dimana barangnya sudah ada, sedangkan salam dan istishna’
adalah jual beli dengan pemesanan terlebih dahulu.[28]
e.
Perbedaan Jual Beli Murabahah dengan Bunga
Perbedaan antara jual beli murabahah dengan bunga
diantaranya:[29]
i.
Dalam murabahah, barang sebagai objek. Nasabah berutang
barang, bukan berutang uang; dalam
bunga, uang sebagai objek, nasabah berutang uang.
ii.
Dalam murabahah, pertukaran barang dengan uang; dalam
bunga, pertukaran uang dengan uang.
iii.
Dalam murabahah, margin tidak berubah; dalam bunga, bunga
berubah sesuai tingkat bunga.
iv.
Dalam murabahah, bila transaksi macet, tidak ada bunga
berbunga; dalam bunga, terjadi compound interest.
v.
Dalam murabahah, jika nasabah tidak mampu membayar, tidak
ada denda (QS. al-Baqarah/2:283); dalam bunga, dikenakan denda/bunga.
vi.
Dalam murabahah, sah, halal dan penuh berkah; dalam
bunga, tidak sah, haram dan jauh dari berkah dan mendapat laknat.
4.
Bai’ Al-Wafa’
a.
Pengertian
Secara etimologis, al’ba’i berarti jual beli, dan
al-wafa’ berarti pelunasan/penutupan utang. Ba’i al-wafa’ adalah salah satu
bentuk akad (transaksi) yang muncul di Asia Tenggara pada pertengahan abad ke-5
Hijriah dan merambat ke Timur Tengah.
Secara terminologis Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, ba’i
al-wafa (jual beli dengan hak membeli kembali) adalah jual beli yang
dilangsungkan dengan syarat bahwa barang dijual tersebut dapat dibeli kembali
oleh penjual apabila tenggang waktu yang disepakati telah tiba.[30]
Menurut Dr. Nasrun Haroen, ba’i al-wafa adalah jual beli yang dilangsungkan dua
pihak yang dibarengi dengan syarat bahwa yang dijual itu dapat dibeli kembali
oleh penjual, apabila tenggang waktu yang telah ditentukan tiba.
Artinya, jual beli ini memiliki tenggang waktu yang
terbatas, misalnya satu tahun, sehingga apabila waktu satu tahun tersebut telah
habis, maka penjual membeli barang itu kembali dari pembelinya. Jual beli ini
muncul dalam rangka menghindari terjadinya riba dalam pinjam-meminjam. Dalam
menghindarkan diri dari riba, masyarakat Bukhara dan Balkh ketika itu merekayasa
sebuah bentuk jual beli yang dikenal kemudian dengan ba’i al-wafa’.[31]
b.
Hukum Ba’i al-wafa’
Menurut Musthafa Ahmad az-Zarqa, dan Abdurrahman Ashabuni
dalam sejarahnya, ba’i al-wafa’ baru mendapat justifikasi para ulama fiqh
setelah berjalan beberapa lama. Maksudnya, bentuk jual beli ini telah
berlangsung beberapa lama dan ba’i al-wafa’ telah menjadi urf (adat kebiasaan)
masyarakat Bukhara dan Balkh. Baru kemudian para ulama fiqh, dalam hal ini
ulama Hanafi melegalisasi jual beli ini.
Ulama Hanafiyah dalam memberikan justifikasi terhadap
ba’in al-wafa’ adalah didasarkan pada istihsan urfi. Akan tetapi para ulama
fiqh lainnya tidak boleh melagalisasi jual beli ini. Alasan mereka diantaranya:
i.
Dalam suatu akad jual beli tidak dibenarkan adanya
tenggang waktu, karena jual beli adalah akad yang mengakibatkan perpindahan hak
milik secara sempurna dari penjual kepada pembeli.
ii.
Dalam jual beli tidak boleh ada syarat bahwa barang yang
dijual itu harus dikembalikan oleh pembeli kepada penjual semula, apabila ia
telah siap mengembalikan uang seharga jual semula.
iii.
Bentuk jual beli ini tidak pernah ada di zaman Rasulullah
SAW maupun di zaman sahabat.
iv.
Jual beli ini merupakan hillah yang tidak sejalan dengan
maksud syara’ pensyariatan jual beli.[32]
Namun, para ulama muta’akhiriin (generasi belakangan)
dapat menerima baik bentuk jual beli ini, dan menganggapnya sebagai akad yang
sah. Bahkan dijadikan hukum positif dalam majalah al-ahkam al’adhliyah
(Kodifikasi Hukum Perdata Turki Ustmani) yang disusun pada tahun 1287 H.
Begitupun dalam hukum positif Indonesia ba’i al-wafa’ telah diatur didalam
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Pasal 1112 s/d 115.
c.
Rukun Ba’i al-Wafa’
Syarat-syarat ba’i al wafa’ sama dengan syarat jual beli
pada umumnya. Penambahan syarat untuk ba’i al-wafa’ hanya dari segi penegasan
bahwa barang yang telah di jual itu harus dibeli kembali oleh penjual dan
tenggang waktu yang berlakunya itu harus tegas. Misalnya satu tahun, dua tahun,
atau lebih.[33]
d.
Perbedaan Ba’i al-Wafa’ dengan Rahn
Perbedaan antara ba’i al-wafa’ dengan rahn sebagai
berikut:
i.
Dalam akad rahn pembeli tidak sepenuhnya memiliki barang
yang dibeli (karena harus dikembalikan dengan penjual), sedangkan dalam ba’i
al-wafa’, barang itu sepenuhnya menjadi milik pembeli selama tenggang waktu
yang disepakati.
ii.
Dalam ar-rahn, jika harta yang digadaikan (al-marhun)
rusak selama ditangan pembeli, maka kerusakan itu menjaadi tanggung jawab
pemegang barang, sedangkan ba’i al-wafa’ apabila kerusakan itu bersifat total
baru menjadi tanggung jawab pembeli. Namun apabila kerusakan tidak parah, maka
hal itu tidak merusak akad.
iii.
Dalam ar-rahn segala biaya yang diperlukan untuk
pemeliharaan barang menjadi tanggung jawab pemilik barang, sedangkan dalam ba’i
al-wafa’ biaya pemeliharaan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pembeli.
iv.
Kedua belah pihak tidak boleh memindahtangankan barang
itu ke pihak ketiga.
Ketika uang sejumlah pembelian semula dikembalikan
penjual kepada pembeli setelah tenggang waktu jatuh tempo, pembeli wajib
memberikan barang itu kepada penjual.[34]
5.
Bai’ Bidhamanil Ajil (Jual Beli Secara Berutang/Kredit)
a.
Pengertian
Dikenal juga dengan jual beli tertangguh yaitu menjual
sesuatu dengan disegerakan penyerahan barang-barang yang dijual kepada pembeli
dan ditangguhkan pembayarannya. Dari segi bentuknya, jual beli ini berbeda
dengan ba’i al-salam yang mana pembayaran dilakukan secara tunai, sedangkan
pengantaran barang ditangguhkan.[35]
Dengan demikian jual beli secara beretangguh adalah boleh.
b.
Dasar Hukum
Pensyariatan ba’i bidhaman ’ajil tidak dijelaskan secara
khusus tetapi berpedoman kepada keumuman ayat tentang jual beli yang terdapat
dalam Q.S al-Baqarah/2:275 dan Q.S al-Baqarah/2:282 yang membicarakan tentang
bolehnya hukum jual beli secara berutang (ba’i al-muajjal).
Kontrak ba’i bidhama ’ajail tidak dibahas secara khusus
dalam kitab klasik, seperti jual beli bertangguh yang lain. Namun, Ibnu Qudamah
menyatakan bahwa secara ijma’ jual beli secara tangguh tidak diharamkan.[36]
c.
Perbedaan Ba’i Bidhaman ’Ajil dengan Ba’i Murabahah
Perbedaan konsep ba’i bidhaman ’ajil dengan ba’i
murabahah hanyalah pada tempo pembayaran, biasanya lebih satu tahun.
6.
Bai’ Al-Inah
a.
Pengertian
Kata ’inah menurut bahasa berarti meminjam/berutang.
Dikatakan i’tana ar-rajul, yang maksudnya seorang laki-laki membeli sesuatu
dengan pembayaran dibelakang atau utang atau tidak kontan. Jual beli seperti
ini disebut ’inah karena pembeli suatu barang dagangan dalam tempo tertentu
mengambil konpensasi barang itu dengan uang secara kontan.
Jual beli ’inah secara terminologis adalah menjual suatu
benda dengan harga lebih dibayarkan belakangan dalam tempo tertentu untuk
dijual lagi oleh orang yang beutang dengan harga saat itu yang lebih murah
untuk menutup utangnya.
Praktik jual beli ’inah adalah jika seorang penjual
menjual barang dagangannya dengan suatu harga yang dibayar belakangan dengan
tempo tertentu, kemudian penjual itu membeli lagi barang dagangan itu dari
pembeli (sebelum pembeli membayar harganya) dengan harga yang lebih murah, dan
saat jatuh tempo pembeli membayar harga yang dibelinya dengan harga awal.[37]
b.
Hukum Ba’i ’Inah
Bentuk jual ini menjadi perbincangan para ulama. Mahzab
Syafi’i berpendapat bahwa ba’i al-’inah dibolehkan karena akad jual beli ini
telah memenuhi rukun, yaitu ijab dan kabul tanpa memandang kepada niat pelaku.
Menurut pandangan ulama mahzab ini nia adalah urusan Allah SWT, dan akad jual
beli yang dilakukan dengan niat yang salah tidak dianggap batal dan tidak bisa
dibuktikan dengan jelas. Jual beli semacam ini dibolehkan agar terhindar dari
mafsadat (kerusakan), dan bukan dimaksudkan untuk mengeruk keuntungan.
7.
Bai’ Tawarruq
a.
Pengertian
Dalam kamus, kata tawarruq diartikan daun. Dalam konteks
ini, maknanya adalah memperbanyak harta. Menurut Ibnu Taimiyah, tawarruw adalah
seseorang membeli barang dengan harga tertangguh kemudian menjualnya kepada
orang lain (bukan penjual pertama) secara tunai, karena ingin mendapatkan uang
tunai dengan segera.
Secara umum tawarruq adalah akad jual beli seperti ba’i
al-’inaj (sale and buy back) yang melibatkan tiga pihak, bukan dua pihak
seperti dalam kasus ba’i al-’inah. Akad tawarruq digunakan banyak di negara
Timur Tengah sebagai alat untuk manajemen likuiditas. Tawarruq disebut juga
sebagai kredit murabahah.[38]
b.
Hukum Jual Beli Tawarruq
Dalam hal jual beli tawarruq ulama berbeda pendapat.
Menurut Ibnu Taimiyah, jual beli tawarruq hukumnya adalah haram, karena
merupakan sarana bagi riba mendapatkan keuntungan yang besar. Menurut Imam
Nawawi, jual beli tawarruq hukumnya halal karena tidak ada larangan jual beli
secara ’inah dan tawarruq. Begitu juga menurut Ismail ibn Yahya al-Muzni
Syafi’i, tidak ada larangan seseorang menjual harta bendanya secara kredit
kemudian membelinya kembali dari si pembeli dengan harga lebih murah baik
secara kontan, penawaran, maupun kredit.[39]
8.
Bai’ Al-Dayn
a.
Pengertian
Al-dayn
merupakan utang dalam bentuk pembiayaan. Dalam majallah al-ahkam bagian ke-158
dijelaskan al-dayn adalah sesuatu yang dhabit dalam tanggungan. Al-dayn
merupakan utang dengan maksud penundaan tanggungan yang muncul dalam suatu
kontrak yang melibatkan pertukaran nilai.
b. Hukum Ba’i al-Dayn
Jual beli
utang merupakan salah satu bentuk perniagaan yang diperdebatkan statusnya.
Sebagian ulama membolehkan jual beli utang kepada pengutang (orang yang
berutang). Dengan demikian jual beli utang, baik kepada pengutang (al-adin)
atau selain pihak yang pengutang. Ada beberapa pendapat ulama tentang status
hukum jual beli tersebut:
i.
Jual Beli Utang Secara Tunai
1.
Jual utang kepada orang yang berutang itu sendiri
Jumhur
ulama mengatakan bahwa jual utrang yang telah milik tetap (mustaqir) boleh atau
dapat dihibahkan kepadanya, baik dan tukaran (bayaran) atau tanpa tukaran atau
hibah. Hal ini dikenal dengan istibdal.
Akan
tetapi jual beli utang yang tidak tetap (ghairu mustaqir) tidak dibolehkan
menjualnya sebelum serah terima karena bisa terjadi pembatalan kontrak
perjanjian sebelum barang yang dipesan diterima.
2.
Jual beli utang kepada selain dari orang yang berutang
Jumhur
ulama berpendapat jual beli ini tidak dibenarkan. Sementara mahzab syafi’i
menjelaskan boleh hukumnya menjual barang kepada pighak ketiga sekiranya utang
tersebut tetap dan ia jual dengan barang secara tunai.
ii.
Jual Beli Utang Secara Tangguh
Ahli fiqh
sepakat mengatakan bahwa ba’i aal-dayn bi al-dayn tidak boleh, baik dijual
kepada orang yang berutang maupun kepada orang lain. Dalam hal ini Nabi SAW
bersabda: ”Bahwa sesungguhnya Nabi SAW melarang jual beli utang dengan utnag
(ba’i al-kabi bi al-kali)”.[40]
BAB III
KESIMPULAN
Jual beli ialah suatu perjanjian tukar menukar benda atau
barang yang mempunyai nilai secara sukarela di antara kedua belah pihak, yang
satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan
perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan Syara’ dan disepakati.
Rukun jual beli ada tiga, yaitu akad (ijab qabul), orang-orang yang berakad
(penjual dan pembeli), dan ma’kud alaih (objek akad).
Jual beli dapat
ditinjau dari beberapa segi, ditinjau dari segi hukumnya, jual beli ada dua
macam, jual beli yang sah menurut hukum dan batal menurut hukum, dari segi
objek jual beli dan segi pelaku jual beli.
Ditinjau dari
segi benda yang dijadikan objek jual beli dapat dikemukakan pendapat Imam
Taqiyuddin bahwa jual beli dibagi menjadi tiga bentuk.
البيو
ع ثلا ثة بيع عين مشا هدة وبيع شيئ مو صو ف فى الذ مة وبيع عين غاءبة لم تشا هد
"jual beli itu
ada tiga macam: 1jual beli benda yang kelihatan, 2 jual beli yang disebutkan
sifat-sifatnya dalam janji, dan 3 jual beli benda yang tidak ada."
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah bin
Muhammad ath-Thayar, Ensiklopedi Fiqh Muamallah dalam Pandangan 4 Mahzab,
(Yogyakarta: Maktabah al-hanif, 2009).
Gemala Dewi, et
al., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005)
Haroen Nasrun, Fiqh
Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007)
Syarifuddin
Amir, Garis-Garis Besar Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2010)
Suhendi Hendi, Fiqh
Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010)
[4]
Suhendi, Fiqh Muamalah, H. 70-71
[5]
Suhendi, Fiqh Muamalah, H. 75-76
[6] Suhendi,
Fiqh Muamalah, H. 76-78
[7]
Suhendi, Fiqh Muamalah, H. 78-79
[8] Suhendi,
Fiqh Muamalah, H. 79-81
[9] Dr. Mardani, FIQH EKONOMI SYARIAH: FIQH
MUAMALAH, (Jakarta: Kencana, 2012), H. 113
[10] Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Ensiklopedi
Muamalah, (Yogyakarta: Maktabah al Hanif, 2009), H. 137
[11] Pasal 20 Ayat (34)
[12] Menurut Imam Hanafi bahwa rukun salam itu shigat
saja.
[13] Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Ensiklopedi
Muamalah, H. 138
[14] Dewi Gemala et. al., Hukum Perikatan Islam di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), H. 114
[15] Dr. Mardani, FIQH EKONOMI SYARIAH: FIQH MUAMALAH,
H.115
[16] M. Syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke
Praktik, (Jakarta: Gema Insani Pers, 2001), H. 110
[17] Dr. Mardani, FIQH EKONOMI SYARIAH: FIQH MUAMALAH, H.
116
[18] Dr. Mardani, FIQH EKONOMI SYARIAH: FIQH MUAMALAH, H.
116
[20] Dr. Mardani, FIQH EKONOMI SYARIAH: FIQH MUAMALAH, H.
124
[21] Pasal 20 ayat (10)
[22] M. Syafi’I Antonio, Bank Syariah Wacana Ulama
dan Cendekiawan, (Jakarta: Tazkia Institut, 1999) H. 173
[23] Abdullah bin Muhammad ath-Thayyar, Ensiklopedi
Muamalah, H. 144
[24] Dr. Mardani, FIQH EKONOMI SYARIAH: FIQH MUAMALAH, H.
126
[25] Pasal 20 ayat (6)
[26] Dr. Mardani, FIQH EKONOMI SYARIAH: FIQH MUAMALAH, H.
136
[27] Dr. Mardani, FIQH EKONOMI SYARIAH: FIQH MUAMALAH, H.
137
[28] Dr. Mardani, FIQH EKONOMI SYARIAH: FIQH MUAMALAH, H.
139
[29] Dr. Mardani, FIQH EKONOMI SYARIAH: FIQH MUAMALAH, H.
140
[30] Pasal 20 ayat (41)
[31] Nasrun Haroen, Fiqh Muamallah, (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2007), H. 153
[32] Nasrun Haroen, Fiqh Muamallah, H. 156
[33] Nasrun Haroen, Fiqh Muamallah, H. 155
[34] Nasrun Haroen, Fiqh Muamallah, H. 155
[35] Dr. Mardani, FIQH EKONOMI SYARIAH: FIQH MUAMALAH, H.
183
[36] Dr. Mardani, FIQH EKONOMI SYARIAH: FIQH MUAMALAH, H.
184
[37] Abdullah bin Muhammad ath-Thayyar, Ensiklopedi Muamalah,
H.186
[38] Dr. Mardani, FIQH EKONOMI SYARIAH: FIQH MUAMALAH, H.
189
[39] Dr. Mardani, FIQH EKONOMI
SYARIAH: FIQH MUAMALAH, H. 190
[40] Dr. Mardani, FIQH EKONOMI
SYARIAH: FIQH MUAMALAH, H. 193
Tidak ada komentar:
Posting Komentar