Minggu, 15 September 2013

Makalah Hukum Tata Negara Islam (HTNI) : Hak dan Kewajiban Warga Negara



BAB I
PENDAHULUAN
1.      LATAR BELAKANG
Manusia secara kodrati dinugerahi hak-hak pokok yang sama oleh Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak pokok ini disebut hak asasi manusia (HAM). Hak asasi manusia adalah sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, yang melekat pada diri manusia, bersifat kodrati, universal dan abadi, berkaitan dengan harkat dan martabat manusia. Pada gilirannya, hak-hak dasar atau hak-hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, di mana hak-hak asasi ini menjadi dasar daripada hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang lain.
Pada Umumnya masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam (sebagai akibat dari pola pendidikan ala Barat yang dikembangkan semenjak jaman penjajahan Belanda dan diteruskan di era republik pasca proklamasi kemerdekaan hingga kini) mengenal konsepsi HAM yang berasal dari Barat. Kita mengenal konsepsi HAM itu bermula dari sebuah naskah Magna Charta, tahun 1215, di Inggeris, dan yang kini berlaku secara universal mengacu pada Deklarasi Universal HAM (DUHAM), yang diproklamasikan PBB, 10 Desember 1948.
Pada dasarnya ketika Nabi Muhammad Saw. memperoleh kenabiannya (abad ke-7 Masehi, atau sekira lima ratus tahun/lima abad sebelum Magna Charta lahir), sudah dikenalkan HAM serta dilaksanakan dan ditegakkannya HAM dalam Islam. Atas dasar ini, tidaklah berlebihan kiranya bila sesungguhnya konsepsi HAM dalam Islam telah lebih dahulu lahir tinimbang konsepsi HAM versi Barat. Bahkan secara formulatif, konsepsi HAM dalam Islam relatif lebih lengkap daripada konsepsi HAM universal.
2.      RUMUSAN MASALAH
  1. Apa yang dimaksud dengan HAM?
  2. Bagaimana HAM menurut perspektif islam?

BAB II
PEMBAHASAN
Sebelum membahas konsep kewarganegaraan, pemakalah akan membahas mengenai tentang Demokrasi. Membahas masalah ini dengan alasan untuk mengetahui konsep kewarganegaraan, maka terlebih dahulu perlu disinggung mengenai pelaksana dari aturan kewarganegaraan yang tentunya dengan sendirinya akan memuat tentang lembaga negara yang ada.

1.      ISLAM DAN DEMOKRASI
A.    Pengertian Demokrasi
Demokrasi merupakan kata yang sedang hangat-hangatnya dibahas oleh berbagai kalangan di masyarakat. Demokrasi berarti dalam suatu negara rakyatlah yang memiliki kekuasaan tertinggi (government of rule by the people). Rakyat merupakan pemegang policy dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menurut hemat kami bahwa pengertian yang paling sesuai untuk menggambarkan apakah demokrasi itu, yaitu bahwa dalam demokrasi, rakyat sebagai pemegang kekuasaan, pembuat kekuasaan, dan penentu keputusan dan kebijakan tertinggi dalam penylenggaraan negara dan pemerintahan serta pengontrol terhadap pelaksanaannya, baik secara langsung maupun tidak langsung oleh lembaga perwakilan yang merupakan wadah yang mewakilinya.

B.     Trias Politika
Trias politika adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri dari tiga macam kekuasaan. Pertama legislatif atau kekuasaan membuat undang-undang. Kedua kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang. Ketiga kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran terhadap undang-undang.[1] Trias politika adalah suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan negara sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang sedang berkuasa. Dengan demikian diharapkan hak-hak asasi warga negara akan lebih terjamin.[2]Doktrin ini untuk pertama kalinya dikemukakan oleh John Locke (1632-1704) dan Mostesquieu (1689-1755). Ajaran ini lebih dikenal dengan pemisahan kekuasaan (separation of powers).
Menurut Locke, kekuasaan negara dibagi dalam tiga macam kekuasaan yaitu : kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif, yang masing-masing terpisah-pisah satu sama lain. Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan untuk membuat peraturan dan undang-undang, kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan melaksanakan undang-undang dan didalamnya termasuk kekuasaan mengadili[3], dan kekuasaan federative ialah kekuasaan yang meliputi segala tindakan untuk menjaga keamanan negara dalam hubungannya dengan negara lain (hubungan luar negeri).
 Beberapa puluh tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1748, filsuf Perancis Montesqueieu mengembangkan lebih lanjut tentang pemikiran Locke. Ia membagi kekuasaan dalam tiga cabang yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif. Menurutnya ketiga kekusaan itu haruslah terpisah satu sama lain, baik mengenai fungsi maupun organ yang menyelenggarakannya. Montesqueu menekankan pentingnya kebebasan badan yudikatif  karena di sinilah letak kemerdekaan individu, dan HAM dijamin dan dipertaruhkan.[4] Kekuasaan legislatif menurutnya adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang, kekuasaan eksekutif meliputi penyelenggaraan undang-undang, sedangkan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan mengadili atas pelanggaraan undang-undang. Maududi pun juga mengakui adanya trias politika yakni pemisahan penyelenggaraan kekuasaan negara kepada eksekutif, legislatif dan yudikatif.[5] Dalam fungsi legislasi, badan legislative yang dalam istilah fiqh dikenal dengan Ahl al – Hall wa al - Aqdi, tidak dibenarkan membuat aturan-aturan sendiri, legislatif seharusnya tunduk kepada aturan Al - Qur'an dan Al - Sunah. Kepala negara yang juga merangkap sebagai kepala badan eksekutif merupakan pimpinan tertinggi negara yang bertanggung jawab kepada Allah dan rakyat. Dalam melaksanakan tugasnya dia harus selalu melakukan konsultasi dengan pihak legislatif. Keputusan legislative diambil atas dasar suara terbanyak dengan catatan bahwa menurut Islam banyaknya suara bukan merupakan suatu indikasi sebagai sebuah ukuran kebenaran yang sebenarnya. Dengan demikian seorang kepala negara tidak harus mengikuti legislatif, bila ternyata kebijakan dari kepala negara melenceng dari ketentuan yang telah digariskan oleh syari'at maka rakyat berhak untuk memecatnya dari kedudukannya. Badan Yudikatif sepenuhnya berada di luar lembaga eksekutif yang berarti akan berdiri sendiri dan mandiri. Hal ini disebabkan karena tugas dari lembaga kehakiman adalah melaksanakan hukum-hukum Allah atas hamba-hambanya, bukan mewakili ataupun atas nama kepala negara tetapi mewakili dan atas nama Allah.[6] lembaga yudikatif serupa dengan lembaga qadla' dalam sistem tata Negara Islam.

C.     Prinsip-prinsip Demokrasi
Dalam mengembangkan demokrasi, prinsip-prinsip demokrasi harus selalu dipegang karena hal ini merupakan “roh” dari demokrasi itu sendiri. Adapun prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri antara lain:
  1. Persamaan
Dalam beberapa kebutuhan dan keperluan dasar (asasi), semua makhluk yang bernama manusia adalah ”sama dan sederajat”. Ini dimaksudkan bahwa harus ada kesamaan kesempatan yang sempurna dalam berbagai aktivitas. Hal ini berarti dalam aktivitas apapun seorang dianggap ”satu”, tidak ada orang yang dianggap ”dua”.
Prinsip ini mengandung dua makna, yaitu kesamaan (the sameness) dan kesesuaian (the futness). Kesamaan disini diartikan sama rasa dan sama rata, jadi setiap warga masyarakat akan merasa diberi hak dan kewajiban yang sama. Sedangkan kesesuaian dapat diartikan proporsional, bahwa setiap anggota masyarakat diberi hak sesuai dengan kemampuannya.

  1. Kebebasan
Prinsip ini menegaskan bahwa setiap individu adalah merdeka (tidak dibawah tekanan orang lain). Mereka memiliki keunikan tersendiri dan berbeda dengan yang lainnya. Pada prinsipnya kebebasan disini mengandung beberapa aspek, yaitu self direction, self dicipline, dan self control. Hak-hak manusia dan kebebasannya dalam Islam dan hukum dibangun atas dasar akidah, yaitu bahwa manusia darimanapun asalnya, ras, warna kulit, dan kedudukan sosialnya adalah makhluk yang dimuliakan.

  1. Pluralisme
Prinsip ini memberikan penegasan dan pengakuan terhadap adanya perbedaan. Keragaman budaya, agama, bahasa, etnis, pemikiran, dan lain-lain merupakan sesuatu yang tidak bisa dielakan.

  1. Pengakuan atas Hak Asasi Manusia (HAM)
Pada hakekatnya setiap manusia itu adalah sama, karena itu perbedaan perlakuan atas manusia yang didasarkan oleh kemajemukan itu tidak dibenarkan. Sejak lahir manusia telah membawa hak-hak asasinya, ini merupakan konsekuensi sebagai makhluk tuhan.
Keberadaan HAM ini telah diakui oleh dunia, hal ini terbukti dengan di deklarasikannya DUHAM pada tanggal 10 Desember 1948 oleh PBB, oleh karena pengingkaran atas HAM dianggap sebagai pelanggaran HAM.

D.    Konsep kewarganegaraan
Negara Islam merupakan Negara ideologis tetapi negara ini membatasi kewarganegaraannya hanya kepada orang-orang yang tinggal di wilayahnya atau berimigrasi ke dalam wilayahnya.[7]Negara Islam bukanlah negara ekstra territorial. Islam melindungi segenap orang-orang yang berada di wilayah negara Islam atau yang berhijrah ke negara Islam yang bersangkutan. Mengenai kaum muslim yang berada di luar wilayah Negara Islam, negara tidak akan memberikan perlindungannya. Jika mereka berhijrah ke negara Islam yang bersangkutan, maka mereka barulah akan memperoleh perlindungannya. Jika mereka datang sebagai pelancong atau turis serta tidak melepas kewarganegaraannya (dari negara non Islam) maka mereka akan dianggap sebagai warga negara non muslim dan tidak berhak atas perlindungan negara Islam.
Penggolongan kewarganegaraan negara Islam ini didasarkan atas ideologi. Dengan kata lain penggolongan tersebut didasarkan atas penerimaan seseorang terhadap Islam, bukan didasarkan atas suku, ras, warna kulit dan sebagainya. Dengan demikian siapapun yang memeluk Islam sebagai ideologi, maka ia akan digolongkan sebagai warga Negara Islam.
Negara Islam menjamin semua hak asasi baik warga Negara muslim ataupun warga non muslim dan tidak ada perbedaan mengenai hak-hak istimewa antar mereka kaitannya dengan hak asasi. Pembedaan yang ada di antara mereka hanya terbatas pada pertanggungjawaban politik saja.[8] Dua dasar untuk menjadi warga negara Islam, pertama beriman dan merupakan penduduk asli suatu negara Islam, serta kedua berdomisili di negara Islam.
Kaitannya dengan warga negara dzimmi, bahwa dzimmi adalah semua kaum non muslim yang bersedia tetap setia dan taat kepada negara Islam yang dijadikan tempat tinggal untuk mencari nafkah, tanpa mempedulikan di negara mana mereka dilahirkan. Untuk kategori warga negara yang semacam ini, Islam memberi jaminan perlindungan kehidupan, nafkah dan kekayaan, serta jaminan kebudayaan.

2.      ISLAM DAN HAK ASASI MANUSIA
A.    Manusia dalam perspektif Islam
Islam sebagai agama yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw, bukan saja merupakan suatu agama baru, melainkan sebuah liberation force atau suatu kekuatan pembebas manusia. Karena dalam Islam, semua manusia dianggap sama dihadapan Allah Swt., dan yang membedakannya adalah tingkat ketakwaannya. Oleh karena itu, faktor kesamaan derajat ini menyebabkan Islam cepat menyebar ke berbagai pelosok dunia, termasuk ke Indonesia.
Dalam tinjauan Islam, manusia merupakan makhluk ciptaan Allah Swt. yang paling sempurna. Dari kesempurnaanya itu, ternyata manusia terdiri atas dua substansi, yaitu substansi jasad dan materi atau non jasad. Substansi jasad atau materi merupakan bagian dari alam semesta yang dalam perkembangannya selalu dalam pengaturan Allah Awt., karena itu alam selalu berjalan dengan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan Allah Swt. (Sunatullah).
Substansi yang kedua ialah materi  atau non jasad, ini tidak lain adalah ”roh” yang telah dihembuskan kedalam diri manusia sehingga manusia menjadi makhluk organik yang selalu dinamis dengan jiwa kemanusiaannya dan berbagai potensi yang dimilikinya. Roh inilah yang akan selalu hidup meskipun jasadnya telah mati.


B.     Hak Asasi Manusia
a.       Pengertian Hak Asasi Manusia
Definisi tentang HAM menurut Undang-undang adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberasaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintahan dan setiap orang demi kehormatan serta martabat manusia.
Hak asasi manusia merupakan hal yang mutlak bagi rakyat bagi rakyat untuk meningkatkan dan memperkembangkan martabat mereka sebagai manusia. Hal yang terpenting adalah bahwa masyarakat sendiri menyadari hak-hak mereka sendiri. Tidak ada orang atau institusi lain yang berhak untuk mengambil hak asasi itu.

b.      Prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia
Secara umum, prinsip-prinsip HAM telah tercantum dalam DUHAM. Namun jika dilihat satu persatu, maka setidaknya ada beberapa prinsip yang mendasar, yaitu:
  1. Prinsip keterpaduan atau satu kesatuan yang utuh
DUHAM memiliki 30 Pasal didalamnya. Dari jumlah tersebut semuanya melekat pada diri setiap manusia dan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
  1. Prinsip fundamental keadilan
Adalah pengakuan bahwa semua manusia memiliki harkat dan martabat yang sama dengan hak dan kewajiban fundamental yang sama tanpa dibedakan atas jenis kelamin, warna kulit, sukum, agama, ras, status sosial, dan sebagainya.
  1. Prinsip objektivitas
Setiap orang harus memandang orang lain secara objektif, bahwa ia memiliki kelemahan dan kelebihan yang berbeda tapi memilik HAM yang sama dengan manusia yang lainnya.
  1. Prinsip universalitas
Perlakuan atas semua orang yang ada di dunia ini memiliki hak asasi yang sma, karena itu seseorang harus dilihat sebagai manusianya dan diperlakuka secara manusiawi.
  1. Prinsip kemerdekaan
Setiap manusia dapat secara bebas (merdeka) menuntut hak nya atas orang lain. Namun kemerdekaan ini tidak semata-mata bebas dengan tanpa batas, namun kemerdekaannya dibatasi oleh hak asasi orang lain.

C.     HAM dalam Tinjauan Islam
Pembahasan tentang hak asasi manusia dalam tinjauan Islam ini diawali deng titik tolak syari’at Islam dalam meletakkan posisi manusia dengan Tuhan dan seluruh konstelasi alam raya ini adalah ajaran tauhid, ialah Allah Swt. tuhan yang menciptakan dan menguasai seluruh jagat raya ini. Dari ajaran tauhid – Tidak ada tuhan selain Allah – ini menunjukkan bahwa bumi beserta isinya merupakan makhluk ciptaan Allah. Dengan demikian bahwa dalam ajaran tauhid terkandung ajaran persamaan dan persatuan semua makhluk, sebab semuanya berasal dari satu khaliq, satu Maha Pencipta yakni Allah Swt.
Bersamaan statusnya dengan statusnya sebagai makhluk yang mulia, manusia diciptakan Allah Swt. dilengkapi dengan berbagai hak asasinya disamping kewajiban asasinya. Karenanya hak asasi tersebut sejalan dengan fitrah manusia itu sendiri. Pengingkaran terhadap hak asasi pada manusia pada hakekatnya merupakan pengingkaran terhadap nilai fitrah manusia yang merupakan anugerah mulia dari Allah Swt.

D.    Hak dan Kewajiban Warga Negara
Adapun hak-hak asasi yang harus dihormati dan dijunjung tinggi dimanapun manusia itu berada. Islam memandang bahwa memelihara dan menghormati eksistensi hak seseorang secara lebih sempit sama pentingnya dengan memelihara dan menghormati hak-hak masyarakat secara lebih luas. Hak-hak asasi yang dimaksud antara lain:
  1. Hak Dasar Warga Negara
Seorang muslim ataupun non-muslim dari rakyat dibawah tatanan ini memiliki hak-hak yang harus ditanggung oleh negara dan dipelihara dari segala pelanggaran ataupun penindasan, yaitu:
        i.            Hak untuk hidup, sebagaimana diungkapkan dalanm surat al-An’am ayat 151, yaitu ”...dan janganlah kamu membunuh yang diharamkan Allah Swt. melainkan dengan sesuatu sebab yang benar. Demikian itu yang diperintahkan tuhanmu kepadamu supaya kamu memahaminya”.
      ii.            Hak persamaan derajat, sebagaimana diungkapkan dalam surat al-Hujarat ayat 13, yaitu “Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan  bersuku-suku supaya kamu saling mengenal...
    iii.            Pengamanan hak-hak pemilikan.
”Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang bathil...” (Q.S. 2:188; 4:29)
  1. Penjagaan kehormatan seseorang.
Janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain... dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar yang buruk... dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain...” (Q.S. 49:11 dan 12).
Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain..” (Q.S. 49:12)
  1. Penjagaan kehidupan pribadi.
Janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya...” (Q.S. 24:27).
  1. Hak untuk menolak kezaliman (mengajukan protes).
Allah tidak menyukai ucapan buruk yang diucapkan dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiya...”(Q.S. 4:148)
  1. Hak al-amru bil-ma’ruf wan nahyu ‘anil-muunkar yang mencakup hak kebebasan mengkritik.
Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam; yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu”. (Q.S. 5:78 dan 79)
Kami selamatkan orang-orang yang melarang perbuatan jahat dan kami timpakan kepada orang-orang zalim siksaan yang keras disebabkan mereka selalu berbuat fasik...” (Q.S. 7:165)
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah...” (Q.S. 3:110)
  1. Hak kebebasan berkumpul, dengan syarat hak atau kebebasan ini digunakan untuk kebaikan dan kebenaran, serta tidak menjadi sebab pecahnya pertengkaran di antara rakyat atau timbulnya perselisihan-perselisihan mendasar.
Dan hendaklah kamu umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung. Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih setelah datang keterangan yang jelas kepada mereka, mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat”. (Q.S. 3:104-105).
  1. Hak kebebasan beragama.
Tidak ada paksaan untuk memasuki agama islam”. (Q.S 2:256).
Maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?”.  (Q.S. 10:99).
  1. Hak keamanan dari penindasan keagamaan.
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah”. (Q.S. 6:108).
  1. Hak setiap orang untuk ditanya hanya tentang perbuatannya sendiri dan tidak ditanya tentang perbuatan-perbuatan orang lain atau ditahan karenanya.
Dan tidaklah seseorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya, dan seseorang tidak akan memikul dosa orang lain”. (Q.S. 6:164 17:15 35;38)
  1. Hak setiap orang untuk tidak dilakukan suatu tindakan apapun terhadapnya tanpa ada kejahatan yang dilakukannya, atau dihukum tanpa keadilan.
”:Dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil”. (Q.S. 4:58)
  1. Hak orang-orang yang membutuhkan bantuan dan yang tidak memiliki apa-apa, untuk dipenuhii kebutuhan dan keperluan hidup mereka.
Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian”. (Q.S. 51:19).
  1. Hak rakyat untuk memperoleh perlakuan yang sama oleh negara, tidak ada pengutamaan ataupun keistimewaan ataupun perbedaan antara mereka semuanya.
Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah-belah dengan menindas segolongan dari mereka. Sesungguhnya Fir’aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan”. (Q.S. 28:4).
  1. Kewajiban Warga Negara Terhadap Negara / Ulil Amri
Berdasarkan syariat Islam rakyat tidak hanya mendapatkan hak saja dari negara atau pemerintah, tetapi negara atau pemerintah juga mempunyai hak atas rakyatnya (kewajiban dasar warga negara terhadap negara dan pemerintah):
  1. Agar warga negara taat pada negara dan pemerintah.
Taatilah Allah dan taatilah Rasulnya dan ulil amri di antara kamu...” (Q.S. 4:59)
  1. Agar mereka menaati undang-undang, berpegang dengannya dan tidak menimbulkan keruskan dalam sistem atau aturan-aturannya.
Dan janganlah kamu membuat kerusakan dimuka bumi setelah tuhan memperbaikinya...”. (Q.S. 7:85).
  1. Agar mereka membantunya dalam usaha kebaikan
Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa”. (Q.S. 5:2)
  1. Agar mereka bersedia mengorbankan jiwa dan darah mereka dalam mempertahankan dan membelanya.
Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu berangkatlah untuk berperang pada jalan Allah, kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan digantinya kamu dengan kaum lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikit pun. Berangkatlah kamu, baik dalam keadaan ringan ataupun berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah, yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”. (Q.S. 9:38, 39, 4)
Ayat-ayat tersebut menunjukkan kepada kita bahwa dalam Islam, hak-hak asasi manusia itu begitu diperhatikan. Namun kunci eksistensi hak-hak asasi manusia dalam tinjauan Islam adalah memberikan kewajiban kepada manusia, bukan memberikan hak. Ini berarti bahwa kewajiban terlebih dahulu, baik kewajiban kepada Tuhan maupun sesama makhluk, yang dilakukan baru kemudian menuntut hak.
Adanya ajaran tentang HAM dalam agama Islam secara jelas telah menunjukkan bahwa Islam secara jelas telah menunjukkan bahwa Islam sebagai agama telah menempatkan manusia pada tingkatan yang tertinggi diantara makhluk-makhluk ciptaan Allah Swt. Di samping itu, manusia juga merupakan makhluk ciptaan Allah Swt. yang diciptakan sebaik-baiknya bentuk. Hal ini sebagaimana diungkap dalam al-Quran surat at-Tiin ayat 4, yaitu ”sesungguhnya kamk telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.




BAB III
KESIMPULAN
Hak Asas Manusia adalah hak manusia yang paling mendasar dan melekat padanya dimanapun ia berada. Hak asasi dalam Islam berbeda dengan hak asasi menurut pengertian yang umum dikenal. Dalam Islam seluruh hak asasi merupakan kewajiban bagi negara maupun individu yang tidak boleh diabaikan. Adapun hak-hak asasi manusia yang dilindungi oleh hukum Islam antara lain adalah hak hidup, hak kebebasan beragama, hak atas keadilan, hak persamaan, hak mendapat pendidikan, hak kebebasan berpendapat, hak kepemilikan, dan hak mendapat pekerjaan.
Penghadapan antara hukum Islam dan hak-hak asasi manusia yang universal telah melahirkan persoalan sendiri bagi umat Islam. Sangat wajar apabila kemudian muncul beragam respon. Sebagian merespon dengan sikap konservatif, tetapi di pihak lain secara optimistik menyatakan bahwa hukum Islam sangat kompatibel dengan hak-hak asasi manusia universal meskipun secara konseptual hal itu datang dari dunia Barat. Maka dari itu untuk menghadapi berbagai masalah atau problem hak asasi manusia dibutuhkan orang yang memiliki cukup ilmu Al-Qur’an  dan sunnah yang dapat mengetahui hakekat semua isu ini, keadaan penyeru dan pelaksananya dan tujuan yang ingin diraih mereka. Orang-orang yang demikian itulah yang akan menjadi penujuk dan pembimbing masyarakat  kepada kebenaran.







DAFTAR PUSTAKA

Abul A’ala Maududi, Sistem Politik Islam, Bandung : Mizan, 1990
Abul A’ala Maududi, The Islamic Law
M. Fauzan, Sosiologi dan Politik, Semarang : Pusat Penerbitan STIE STIKUBANK
Miriam Budiharjo, Dasar-dasar Ilmu poltik, Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 1993, cet. Ke-5



[1] 14 M. Fauzan, Sosiologi dan Politik, Semarang : Pusat Penerbitan STIE STIKUBANK., hlm. 77
[2] Miriam Budiharjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993, cet. ke-5, hlm. 151
[3] Locke memandang kuasaan mengadili itu sebagai "nitvoring" yaitu dipandangnya sebagai bagian dari pelaksanaan undang-undang.
[4] M.Fauzan, loc.cit.
[5] Lihat Abul A'la Maududi, The Islamic Law …, op. cit., hlm. 212. Lihat pula Muhammad Azhar, loc. cit., juga bandingkan dengan Munawir Sjadzali, op.cit., hlm. 167.
[6] Maududi mengemukakan bahwa 18 19 Lihat Abul A'la Maududi, op. cit., hlm. 215. Lihat pula Munawir Sadzali, loc.cit.
[7] Lihat Abul A'la Maududi, Sistem Politik Islam, Bandung : Mizan, 1990, hlm. 208.
[8] Abul A'la Maududi, Ibid,, hlm. 211

Tidak ada komentar:

Posting Komentar