BAB
I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Manusia secara kodrati dinugerahi hak-hak pokok yang sama
oleh Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak pokok ini disebut hak asasi manusia (HAM).
Hak asasi manusia adalah sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, yang melekat
pada diri manusia, bersifat kodrati, universal dan abadi, berkaitan dengan
harkat dan martabat manusia. Pada gilirannya, hak-hak dasar atau hak-hak pokok
yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, di mana
hak-hak asasi ini menjadi dasar daripada hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang
lain.
Pada Umumnya masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama
Islam (sebagai akibat dari pola pendidikan ala Barat yang dikembangkan semenjak
jaman penjajahan Belanda dan diteruskan di era republik pasca proklamasi
kemerdekaan hingga kini) mengenal konsepsi HAM yang berasal dari Barat. Kita
mengenal konsepsi HAM itu bermula dari sebuah naskah Magna Charta, tahun 1215,
di Inggeris, dan yang kini berlaku secara universal mengacu pada Deklarasi
Universal HAM (DUHAM), yang diproklamasikan PBB, 10 Desember 1948.
Pada dasarnya ketika Nabi Muhammad Saw. memperoleh
kenabiannya (abad ke-7 Masehi, atau sekira lima ratus tahun/lima abad sebelum
Magna Charta lahir), sudah dikenalkan HAM serta dilaksanakan dan ditegakkannya
HAM dalam Islam. Atas dasar ini, tidaklah berlebihan kiranya bila sesungguhnya
konsepsi HAM dalam Islam telah lebih dahulu lahir tinimbang konsepsi HAM versi
Barat. Bahkan secara formulatif, konsepsi HAM dalam Islam relatif lebih lengkap
daripada konsepsi HAM universal.
2.
RUMUSAN MASALAH
- Apa yang dimaksud dengan HAM?
- Bagaimana HAM menurut perspektif islam?
BAB
II
PEMBAHASAN
Sebelum membahas
konsep kewarganegaraan, pemakalah akan membahas mengenai tentang Demokrasi. Membahas
masalah ini dengan alasan untuk mengetahui konsep kewarganegaraan, maka
terlebih dahulu perlu disinggung mengenai pelaksana dari aturan kewarganegaraan
yang tentunya dengan sendirinya akan memuat tentang lembaga negara yang ada.
1.
ISLAM DAN DEMOKRASI
A.
Pengertian Demokrasi
Demokrasi merupakan
kata yang sedang hangat-hangatnya dibahas oleh berbagai kalangan di masyarakat.
Demokrasi
berarti dalam suatu negara rakyatlah yang memiliki kekuasaan tertinggi
(government of rule by the people). Rakyat merupakan pemegang policy dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menurut hemat kami bahwa pengertian yang paling
sesuai untuk menggambarkan apakah demokrasi itu, yaitu bahwa dalam demokrasi,
rakyat sebagai pemegang kekuasaan, pembuat kekuasaan, dan penentu keputusan dan
kebijakan tertinggi dalam penylenggaraan negara dan pemerintahan serta
pengontrol terhadap pelaksanaannya, baik secara langsung maupun tidak langsung
oleh lembaga perwakilan yang merupakan wadah yang mewakilinya.
B.
Trias Politika
Trias politika adalah
anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri dari tiga macam kekuasaan. Pertama legislatif
atau kekuasaan membuat undang-undang. Kedua kekuasaan eksekutif atau
kekuasaan melaksanakan undang-undang. Ketiga kekuasaan yudikatif atau
kekuasaan mengadili atas pelanggaran terhadap undang-undang.[1] Trias politika adalah suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan negara
sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama. Hal ini dimaksudkan untuk
mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang sedang berkuasa. Dengan
demikian diharapkan hak-hak asasi warga negara akan lebih terjamin.[2]Doktrin ini untuk pertama kalinya dikemukakan oleh John
Locke (1632-1704) dan Mostesquieu (1689-1755). Ajaran ini lebih dikenal dengan
pemisahan kekuasaan (separation of powers).
Menurut Locke,
kekuasaan negara dibagi dalam tiga macam kekuasaan yaitu : kekuasaan legislatif,
kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif, yang masing-masing
terpisah-pisah satu sama lain. Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan
untuk membuat peraturan dan undang-undang, kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan
melaksanakan undang-undang dan didalamnya termasuk kekuasaan mengadili[3], dan kekuasaan federative ialah kekuasaan yang
meliputi segala tindakan untuk menjaga keamanan negara dalam hubungannya dengan
negara lain (hubungan luar negeri).
Beberapa puluh tahun kemudian, tepatnya pada
tahun 1748, filsuf Perancis Montesqueieu mengembangkan lebih lanjut tentang
pemikiran Locke. Ia membagi kekuasaan dalam tiga cabang yaitu kekuasaan legislatif,
kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif. Menurutnya ketiga
kekusaan itu haruslah terpisah satu sama lain, baik mengenai fungsi maupun
organ yang menyelenggarakannya. Montesqueu menekankan pentingnya kebebasan
badan yudikatif karena di sinilah
letak kemerdekaan individu, dan HAM dijamin dan dipertaruhkan.[4] Kekuasaan legislatif menurutnya adalah kekuasaan
untuk membuat undang-undang, kekuasaan eksekutif meliputi
penyelenggaraan undang-undang, sedangkan kekuasaan yudikatif adalah
kekuasaan mengadili atas pelanggaraan undang-undang. Maududi pun juga mengakui
adanya trias politika yakni pemisahan penyelenggaraan kekuasaan negara
kepada eksekutif, legislatif dan yudikatif.[5] Dalam fungsi legislasi, badan legislative yang
dalam istilah fiqh dikenal dengan Ahl al – Hall wa al - Aqdi, tidak
dibenarkan membuat aturan-aturan sendiri, legislatif seharusnya tunduk
kepada aturan Al - Qur'an dan Al - Sunah. Kepala negara yang juga merangkap
sebagai kepala badan eksekutif merupakan pimpinan tertinggi negara yang
bertanggung jawab kepada Allah dan rakyat. Dalam melaksanakan tugasnya dia
harus selalu melakukan konsultasi dengan pihak legislatif. Keputusan legislative
diambil atas dasar suara terbanyak dengan catatan bahwa menurut Islam banyaknya
suara bukan merupakan suatu indikasi sebagai sebuah ukuran kebenaran yang
sebenarnya. Dengan demikian seorang kepala negara tidak harus mengikuti legislatif,
bila ternyata kebijakan dari kepala negara melenceng dari ketentuan yang telah
digariskan oleh syari'at maka rakyat berhak untuk memecatnya dari kedudukannya.
Badan Yudikatif sepenuhnya berada di luar lembaga eksekutif yang
berarti akan berdiri sendiri dan mandiri. Hal ini disebabkan karena tugas dari
lembaga kehakiman adalah melaksanakan hukum-hukum Allah atas hamba-hambanya,
bukan mewakili ataupun atas nama kepala negara tetapi mewakili dan atas nama
Allah.[6] lembaga yudikatif serupa dengan lembaga qadla' dalam
sistem tata Negara Islam.
C.
Prinsip-prinsip
Demokrasi
Dalam mengembangkan
demokrasi, prinsip-prinsip demokrasi harus selalu dipegang karena hal ini
merupakan “roh” dari demokrasi itu sendiri. Adapun prinsip-prinsip demokrasi
itu sendiri antara lain:
- Persamaan
Dalam beberapa kebutuhan dan keperluan dasar (asasi),
semua makhluk yang bernama manusia adalah ”sama dan sederajat”. Ini dimaksudkan
bahwa harus ada kesamaan kesempatan yang sempurna dalam berbagai aktivitas. Hal
ini berarti dalam aktivitas apapun seorang dianggap ”satu”, tidak ada orang
yang dianggap ”dua”.
Prinsip
ini mengandung dua makna, yaitu kesamaan (the sameness) dan kesesuaian (the
futness). Kesamaan disini
diartikan sama rasa dan sama rata, jadi setiap warga masyarakat akan merasa
diberi hak dan kewajiban yang sama. Sedangkan kesesuaian dapat diartikan proporsional,
bahwa setiap anggota masyarakat diberi hak sesuai dengan kemampuannya.
- Kebebasan
Prinsip ini menegaskan bahwa setiap individu adalah
merdeka (tidak dibawah tekanan orang lain). Mereka memiliki keunikan tersendiri
dan berbeda dengan yang lainnya. Pada prinsipnya kebebasan disini mengandung
beberapa aspek, yaitu self direction, self dicipline, dan self control.
Hak-hak manusia dan kebebasannya dalam Islam dan hukum dibangun atas dasar
akidah, yaitu bahwa manusia darimanapun asalnya, ras, warna kulit, dan
kedudukan sosialnya adalah makhluk yang dimuliakan.
- Pluralisme
Prinsip ini memberikan penegasan dan pengakuan terhadap
adanya perbedaan. Keragaman budaya, agama, bahasa, etnis, pemikiran, dan
lain-lain merupakan sesuatu yang tidak bisa dielakan.
- Pengakuan atas Hak Asasi Manusia (HAM)
Pada hakekatnya setiap manusia itu adalah sama, karena
itu perbedaan perlakuan atas manusia yang didasarkan oleh kemajemukan itu tidak
dibenarkan. Sejak lahir manusia telah membawa hak-hak asasinya, ini merupakan
konsekuensi sebagai makhluk tuhan.
Keberadaan HAM ini telah diakui oleh dunia, hal ini
terbukti dengan di deklarasikannya DUHAM pada tanggal 10 Desember 1948 oleh
PBB, oleh karena pengingkaran atas HAM dianggap sebagai pelanggaran HAM.
D.
Konsep kewarganegaraan
Negara Islam
merupakan Negara ideologis tetapi negara ini membatasi kewarganegaraannya hanya
kepada orang-orang yang tinggal di wilayahnya atau berimigrasi ke dalam
wilayahnya.[7]Negara Islam bukanlah negara ekstra territorial.
Islam melindungi segenap orang-orang yang berada di wilayah negara Islam atau
yang berhijrah ke negara Islam yang bersangkutan. Mengenai kaum muslim yang
berada di luar wilayah Negara Islam, negara tidak akan memberikan
perlindungannya. Jika mereka berhijrah ke negara Islam yang bersangkutan, maka
mereka barulah akan memperoleh perlindungannya. Jika mereka datang sebagai
pelancong atau turis serta tidak melepas kewarganegaraannya (dari negara non
Islam) maka mereka akan dianggap sebagai warga negara non muslim dan tidak
berhak atas perlindungan negara Islam.
Penggolongan
kewarganegaraan negara Islam ini didasarkan atas ideologi. Dengan kata lain
penggolongan tersebut didasarkan atas penerimaan seseorang terhadap Islam,
bukan didasarkan atas suku, ras, warna kulit dan sebagainya. Dengan demikian
siapapun yang memeluk Islam sebagai ideologi, maka ia akan digolongkan sebagai
warga Negara Islam.
Negara Islam
menjamin semua hak asasi baik warga Negara muslim ataupun warga non muslim dan
tidak ada perbedaan mengenai hak-hak istimewa antar mereka kaitannya dengan hak
asasi. Pembedaan yang ada di antara mereka hanya terbatas pada
pertanggungjawaban politik saja.[8] Dua dasar untuk menjadi warga negara Islam, pertama
beriman dan merupakan penduduk asli suatu negara Islam, serta kedua berdomisili
di negara Islam.
Kaitannya dengan
warga negara dzimmi, bahwa dzimmi adalah semua kaum non muslim
yang bersedia tetap setia dan taat kepada negara Islam yang dijadikan tempat
tinggal untuk mencari nafkah, tanpa mempedulikan di negara mana mereka
dilahirkan. Untuk kategori warga negara yang semacam ini, Islam memberi jaminan
perlindungan kehidupan, nafkah dan kekayaan, serta jaminan kebudayaan.
2.
ISLAM DAN HAK ASASI MANUSIA
A.
Manusia dalam perspektif Islam
Islam sebagai agama
yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw, bukan saja merupakan suatu agama baru,
melainkan sebuah liberation force atau suatu kekuatan pembebas manusia. Karena
dalam Islam, semua manusia dianggap sama dihadapan Allah Swt., dan yang
membedakannya adalah tingkat ketakwaannya. Oleh karena itu, faktor kesamaan
derajat ini menyebabkan Islam cepat menyebar ke berbagai pelosok dunia,
termasuk ke Indonesia.
Dalam tinjauan
Islam, manusia merupakan makhluk ciptaan Allah Swt. yang paling sempurna. Dari
kesempurnaanya itu, ternyata manusia terdiri atas dua substansi, yaitu
substansi jasad dan materi atau non jasad. Substansi jasad atau materi
merupakan bagian dari alam semesta yang dalam perkembangannya selalu dalam
pengaturan Allah Awt., karena itu alam selalu berjalan dengan
ketentuan-ketentuan yang telah digariskan Allah Swt. (Sunatullah).
Substansi yang
kedua ialah materi atau non jasad, ini
tidak lain adalah ”roh” yang telah dihembuskan kedalam diri manusia sehingga
manusia menjadi makhluk organik yang selalu dinamis dengan jiwa kemanusiaannya
dan berbagai potensi yang dimilikinya. Roh inilah yang akan selalu hidup meskipun
jasadnya telah mati.
B.
Hak Asasi Manusia
a.
Pengertian Hak Asasi Manusia
Definisi tentang
HAM menurut Undang-undang adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan
keberasaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara,
hukum, pemerintahan dan setiap orang demi kehormatan serta martabat manusia.
Hak asasi manusia
merupakan hal yang mutlak bagi rakyat bagi rakyat untuk meningkatkan dan
memperkembangkan martabat mereka sebagai manusia. Hal yang terpenting adalah
bahwa masyarakat sendiri menyadari hak-hak mereka sendiri. Tidak ada orang atau
institusi lain yang berhak untuk mengambil hak asasi itu.
b.
Prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia
Secara umum,
prinsip-prinsip HAM telah tercantum dalam DUHAM. Namun jika dilihat satu
persatu, maka setidaknya ada beberapa prinsip yang mendasar, yaitu:
- Prinsip keterpaduan atau satu kesatuan yang utuh
DUHAM memiliki 30 Pasal didalamnya. Dari jumlah tersebut semuanya melekat
pada diri setiap manusia dan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan.
- Prinsip fundamental keadilan
Adalah pengakuan bahwa semua manusia memiliki harkat dan martabat yang sama
dengan hak dan kewajiban fundamental yang sama tanpa dibedakan atas jenis
kelamin, warna kulit, sukum, agama, ras, status sosial, dan sebagainya.
- Prinsip objektivitas
Setiap orang harus memandang orang lain secara objektif, bahwa ia memiliki
kelemahan dan kelebihan yang berbeda tapi memilik HAM yang sama dengan manusia
yang lainnya.
- Prinsip universalitas
Perlakuan atas semua orang yang ada di dunia ini memiliki hak asasi yang
sma, karena itu seseorang harus dilihat sebagai manusianya dan diperlakuka
secara manusiawi.
- Prinsip kemerdekaan
Setiap manusia dapat secara bebas (merdeka) menuntut hak nya atas orang
lain. Namun kemerdekaan ini tidak semata-mata bebas dengan tanpa batas, namun
kemerdekaannya dibatasi oleh hak asasi orang lain.
C.
HAM dalam Tinjauan Islam
Pembahasan tentang
hak asasi manusia dalam tinjauan Islam ini diawali deng titik tolak syari’at
Islam dalam meletakkan posisi manusia dengan Tuhan dan seluruh konstelasi alam
raya ini adalah ajaran tauhid, ialah Allah Swt. tuhan yang menciptakan dan
menguasai seluruh jagat raya ini. Dari ajaran tauhid – Tidak ada tuhan selain
Allah – ini menunjukkan bahwa bumi beserta isinya merupakan makhluk ciptaan
Allah. Dengan demikian bahwa dalam ajaran tauhid terkandung ajaran persamaan
dan persatuan semua makhluk, sebab semuanya berasal dari satu khaliq, satu Maha
Pencipta yakni Allah Swt.
Bersamaan statusnya
dengan statusnya sebagai makhluk yang mulia, manusia diciptakan Allah Swt.
dilengkapi dengan berbagai hak asasinya disamping kewajiban asasinya. Karenanya
hak asasi tersebut sejalan dengan fitrah manusia itu sendiri. Pengingkaran
terhadap hak asasi pada manusia pada hakekatnya merupakan pengingkaran terhadap
nilai fitrah manusia yang merupakan anugerah mulia dari Allah Swt.
D.
Hak dan
Kewajiban Warga Negara
Adapun hak-hak
asasi yang harus dihormati dan dijunjung tinggi dimanapun manusia itu berada. Islam
memandang bahwa memelihara dan menghormati eksistensi hak seseorang secara
lebih sempit sama pentingnya dengan memelihara dan menghormati hak-hak
masyarakat secara lebih luas. Hak-hak asasi yang dimaksud antara lain:
- Hak Dasar Warga Negara
Seorang muslim
ataupun non-muslim dari rakyat dibawah tatanan ini memiliki hak-hak yang harus
ditanggung oleh negara dan dipelihara dari segala pelanggaran ataupun
penindasan, yaitu:
i.
Hak untuk hidup, sebagaimana diungkapkan dalanm surat
al-An’am ayat 151, yaitu ”...dan janganlah kamu membunuh yang diharamkan
Allah Swt. melainkan dengan sesuatu sebab yang benar. Demikian itu yang
diperintahkan tuhanmu kepadamu supaya kamu memahaminya”.
ii.
Hak persamaan derajat, sebagaimana diungkapkan dalam
surat al-Hujarat ayat 13, yaitu “Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling mengenal...”
iii.
Pengamanan
hak-hak pemilikan.
”Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain diantara
kamu dengan jalan yang bathil...”
(Q.S. 2:188; 4:29)
- Penjagaan kehormatan seseorang.
”Janganlah suatu
kaum mengolok-olokkan kaum yang lain... dan janganlah kamu mencela dirimu
sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar yang buruk... dan
janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain...” (Q.S. 49:11
dan 12).
”Dan janganlah kamu
mencari-cari kesalahan orang lain..” (Q.S. 49:12)
- Penjagaan kehidupan pribadi.
”Janganlah kamu
memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada
penghuninya...” (Q.S. 24:27).
- Hak untuk menolak kezaliman (mengajukan protes).
”Allah tidak
menyukai ucapan buruk yang diucapkan dengan terus terang kecuali oleh orang
yang dianiya...”(Q.S. 4:148)
- Hak al-amru bil-ma’ruf wan nahyu ‘anil-muunkar yang mencakup hak kebebasan mengkritik.
”Telah dilaknati
orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam;
yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka
satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat.
Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu”. (Q.S. 5:78
dan 79)
”Kami selamatkan
orang-orang yang melarang perbuatan jahat dan kami timpakan kepada orang-orang
zalim siksaan yang keras disebabkan mereka selalu berbuat fasik...” (Q.S.
7:165)
”Kamu adalah umat
yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan
mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah...” (Q.S. 3:110)
- Hak kebebasan berkumpul, dengan syarat hak atau kebebasan ini digunakan untuk kebaikan dan kebenaran, serta tidak menjadi sebab pecahnya pertengkaran di antara rakyat atau timbulnya perselisihan-perselisihan mendasar.
”Dan hendaklah kamu
umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari
yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung. Dan janganlah kamu
menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih setelah datang
keterangan yang jelas kepada mereka, mereka itulah orang-orang yang mendapat
siksa yang berat”. (Q.S. 3:104-105).
- Hak kebebasan beragama.
”Tidak ada paksaan
untuk memasuki agama islam”. (Q.S 2:256).
”Maka apakah kamu
hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?”.
(Q.S. 10:99).
- Hak keamanan dari penindasan keagamaan.
”Dan janganlah kamu
memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah”. (Q.S. 6:108).
- Hak setiap orang untuk ditanya hanya tentang perbuatannya sendiri dan tidak ditanya tentang perbuatan-perbuatan orang lain atau ditahan karenanya.
”Dan tidaklah
seseorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya, dan
seseorang tidak akan memikul dosa orang lain”. (Q.S. 6:164 17:15 35;38)
- Hak setiap orang untuk tidak dilakukan suatu tindakan apapun terhadapnya tanpa ada kejahatan yang dilakukannya, atau dihukum tanpa keadilan.
”:Dan apabila kamu
menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil”.
(Q.S. 4:58)
- Hak orang-orang yang membutuhkan bantuan dan yang tidak memiliki apa-apa, untuk dipenuhii kebutuhan dan keperluan hidup mereka.
”Dan pada
harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin
yang tidak mendapat bagian”. (Q.S. 51:19).
- Hak rakyat untuk memperoleh perlakuan yang sama oleh negara, tidak ada pengutamaan ataupun keistimewaan ataupun perbedaan antara mereka semuanya.
”Sesungguhnya
Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya
berpecah-belah dengan menindas segolongan dari mereka. Sesungguhnya Fir’aun
termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan”. (Q.S. 28:4).
- Kewajiban Warga Negara Terhadap Negara / Ulil Amri
Berdasarkan syariat Islam rakyat tidak hanya mendapatkan
hak saja dari negara atau pemerintah, tetapi negara atau pemerintah juga
mempunyai hak atas rakyatnya (kewajiban dasar warga negara terhadap negara dan
pemerintah):
- Agar warga negara taat pada negara dan pemerintah.
”Taatilah Allah dan
taatilah Rasulnya dan ulil amri di antara kamu...” (Q.S. 4:59)
- Agar mereka menaati undang-undang, berpegang dengannya dan tidak menimbulkan keruskan dalam sistem atau aturan-aturannya.
”Dan janganlah kamu membuat kerusakan dimuka bumi
setelah tuhan memperbaikinya...”. (Q.S. 7:85).
- Agar mereka membantunya dalam usaha kebaikan
”Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan
kebajikan dan takwa”. (Q.S. 5:2)
- Agar mereka bersedia mengorbankan jiwa dan darah mereka dalam mempertahankan dan membelanya.
”Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila
dikatakan kepada kamu berangkatlah untuk berperang pada jalan Allah, kamu
merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Jika kamu tidak berangkat untuk
berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan digantinya
kamu dengan kaum lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan
kepada-Nya sedikit pun. Berangkatlah kamu, baik dalam keadaan ringan ataupun
berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah, yang demikian
itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”. (Q.S. 9:38, 39, 4)
Ayat-ayat tersebut menunjukkan kepada kita bahwa dalam
Islam, hak-hak asasi manusia itu begitu diperhatikan. Namun kunci eksistensi
hak-hak asasi manusia dalam tinjauan Islam adalah memberikan kewajiban kepada
manusia, bukan memberikan hak. Ini berarti bahwa kewajiban terlebih dahulu,
baik kewajiban kepada Tuhan maupun sesama makhluk, yang dilakukan baru kemudian
menuntut hak.
Adanya ajaran tentang HAM dalam agama Islam secara jelas
telah menunjukkan bahwa Islam secara jelas telah menunjukkan bahwa Islam
sebagai agama telah menempatkan manusia pada tingkatan yang tertinggi diantara
makhluk-makhluk ciptaan Allah Swt. Di samping itu, manusia juga merupakan
makhluk ciptaan Allah Swt. yang diciptakan sebaik-baiknya bentuk. Hal ini
sebagaimana diungkap dalam al-Quran surat at-Tiin ayat 4, yaitu ”sesungguhnya
kamk telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”
BAB III
KESIMPULAN
Hak Asas Manusia adalah hak manusia yang paling mendasar
dan melekat padanya dimanapun ia berada. Hak asasi dalam Islam berbeda dengan
hak asasi menurut pengertian yang umum dikenal. Dalam Islam seluruh hak asasi
merupakan kewajiban bagi negara maupun individu yang tidak boleh diabaikan.
Adapun hak-hak asasi manusia yang dilindungi oleh hukum Islam antara lain
adalah hak hidup, hak kebebasan beragama, hak atas keadilan, hak persamaan, hak
mendapat pendidikan, hak kebebasan berpendapat, hak kepemilikan, dan hak
mendapat pekerjaan.
Penghadapan antara hukum Islam dan hak-hak asasi manusia
yang universal telah melahirkan persoalan sendiri bagi umat Islam. Sangat wajar
apabila kemudian muncul beragam respon. Sebagian merespon dengan sikap
konservatif, tetapi di pihak lain secara optimistik menyatakan bahwa hukum
Islam sangat kompatibel dengan hak-hak asasi manusia universal meskipun secara
konseptual hal itu datang dari dunia Barat. Maka dari itu untuk menghadapi
berbagai masalah atau problem hak asasi manusia dibutuhkan orang yang memiliki
cukup ilmu Al-Qur’an dan sunnah yang dapat mengetahui hakekat semua isu
ini, keadaan penyeru dan pelaksananya dan tujuan yang ingin diraih mereka.
Orang-orang yang demikian itulah yang akan menjadi penujuk dan pembimbing
masyarakat kepada kebenaran.
DAFTAR PUSTAKA
Abul A’ala Maududi, Sistem Politik Islam, Bandung :
Mizan, 1990
Abul
A’ala Maududi, The Islamic Law
M. Fauzan, Sosiologi dan Politik, Semarang : Pusat
Penerbitan STIE STIKUBANK
Miriam Budiharjo, Dasar-dasar Ilmu poltik, Jakarta:
PT.Gramedia Pustaka Utama, 1993, cet. Ke-5
[2] Miriam
Budiharjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka
Utama, 1993, cet. ke-5, hlm. 151
[3] Locke
memandang kuasaan mengadili itu sebagai "nitvoring" yaitu
dipandangnya sebagai bagian dari pelaksanaan undang-undang.
[4] M.Fauzan, loc.cit.
[5]
Lihat
Abul A'la Maududi, The Islamic Law …, op. cit., hlm. 212. Lihat pula Muhammad Azhar, loc. cit., juga
bandingkan dengan Munawir Sjadzali, op.cit., hlm. 167.
[6] Maududi
mengemukakan bahwa 18 19 Lihat Abul A'la Maududi, op. cit., hlm. 215. Lihat
pula Munawir Sadzali, loc.cit.
[8]
Abul
A'la Maududi, Ibid,, hlm. 211
Tidak ada komentar:
Posting Komentar