BAB
I
PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Pernyataan
tersebut merupakan pengertian kekuasaan kehakiman yang tercantum pula dalam
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Sebagai konsekuensi dari sistem pembagian kekuasaan yang
diterapkan di negara ini, fungsi kekuasaan kehakiman atau yudikatif dipegang
oleh lembaga- lembaga yang telah ditentukan oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Bab IX UUD 1945 menyebutkan tiga
lembaga negara yang termasuk dalam lingkup kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah
Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY). Namun, menurut
Pasal 24 ayat (2), hanya MA (dan badan peradilan di bawahnya) dan MK yang
merupakan penyelenggara kekuasaan kehakiman, sedangkan KY tidak memiliki
kewenangan tersebut sehingga badan ini sering disebut sebagai lembaga
ekstra-yudisial.
Pengadilan, sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, adalah
salah satu unsur penting dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum
(rechtsstaat). Hanya pengadilan yang memenuhi kriteria mandiri
(independen), netral (tidak berpihak), dan kompeten yang dapat menjamin
pemenuhan hak asasi manusia. Oleh karena itu, posisi hakim sebagai aktor utama
lembaga peradilan menjadi amat vital, terlebih lagi mengingat segala kewenangan
yang dimilikinya. Melalui putusannya, hakim dapat mengubah, mengalihkan, atau
bahkan mencabut hak dan kebebasan warga negara, dan semua itu dilakukan dalam
rangka menegakkan hukum dan keadilan. Besarnya kewenangan dan tingginya
tanggung jawab hakim ditunjukkan melalui putusan pengadilan yang selalu diucapkan
dengan irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".
Hal ini menegaskan bahwa kewajiban menegakkan keadilan tidak hanya
dipertanggungjawabkan kepada sesama manusia, tetapi juga kepada Tuhan Yang Maha
Esa.
Setiap profesi
di berbagai bidang memiliki nilai-nilai yang dijunjung untuk dijadikan pedoman
dalam kehidupan profesi yang bersangkutan. Demikian halnya dengan profesi hakim
di Indonesia, di mana terdapat suatu kode etik yang didasarkan pada nilai-nilai
yang berlaku di Indonesia serta nilai-nilai yang bersifat universal bagi hakim
sebagai pelaksana fungsi yudikatif. Kode etik penting bagi hakim untuk mengatur
tata tertib dan perilaku hakim dalam menjalankan profesinya.
Kode Etik
Profesi Hakim Indonesia pertama kali disusun oleh Ikatan Hakim Indonesia
(IKAHI) pada Kongres III IKAHI tanggal 5-7 April 1965. Seiring berjalannya
waktu, perkembangan berbagai hal seputar IKAHI sebagai wadah profesi hakim dan
Kode Etik Profesi Hakim Indonesia terus berlangsung. Dan yang paling terkini
adalah ketika MA menerbitkan Pedoman Perilaku Hakim bersamaan dengan
disosialisasikannya Pedoman Etika Perilaku Hakim yang disusun KY, sehingga
peristiwa ini menjadi bagian dari ketidaksepahaman antara MA dan KY.
Berkaitan
dengan fenomena yang tengah berkembang di masyarakat seputar konflik antara MA
dan KY, Hakim Agung Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Sophian Marthabaya
berpendapat bahwa suatu kode etik berlaku bagi suatu profesi tertentu sehingga
sebuah kode etik harus disusun oleh profesi yang bersangkutan yang akan
menjalankan kode etik tersebut. Alangkah janggalnya apabila kode etik disusun
oleh suatu institusi di luar profesi yang akan menjadikan kode etik itu sebagai
pedomannya. Idealnya, sebuah pedoman untuk melakukan pekerjaan dibuat sendiri
oleh pihak yang akan menjalankan pekerjaan tersebut. Bagaimanapun, kode etik
dibuat untuk mengatur perilaku dan sepak terjang individu profesional dalam
menjalankan profesinya.
Penegakan
supremasi hukum sebagai bagian dari agenda reformasi telah menjadi komitmen pemerintah
sejak masa keruntuhan rezim Orde Baru hingga saat ini. Namun demikian, harapan
pencari keadilan terhadap lembaga peradilan sebagai benteng terakhir untuk
memperoleh keadilan belum sepenuhnya dapat memuaskan seluruh pihak. Masyarakat
mengkritik bahwa lembaga peradilan belum seperti yang diharapkan. Lambat
menangani perkara, biaya yang mahal, administrasi yang berbelit-belit,
perbuatan dan tingkah laku pejabat peradilan yang dianggap tercela, hingga
dugaan adanya mafia peradilan (judicial corruption) menjadi alasan tidak
percayanya sebagian besar masyarakat terhadap lembaga peradilan.
Seiring
berjalannya pemerintahan sejak awal reformasi hingga saat ini, publik sadar
bahwa praktik penyalahgunaan wewenang di badan peradilan cenderung menguat dan
merusak seluruh sendi peradilan. Hal ini mengakibatkan menurunnya kewibawaan
dan kepercayaan badan peradilan terhadap masyarakat dan dunia internasional.
Keadaan badan peradilan yang demikian mendesak pihak- pihak yang berwenang
dalam menjalankan negara ini untuk melakukan upaya- upaya luar biasa yang
berorientasi kepada terciptanya badan peradilan dan hakim yang dapat menjamin
masyarakat memperoleh keadilan, dan diperlakukan secara adil dalam proses
pengadilan sesuai peraturan perundang-undangan.
Terjadinya praktik
penyalahgunaan wewenang di lembaga peradilan disebabkan oleh banyak faktor,
antara lain adalah tidak efektifnya pengawasan internal yang diterapkan di
badan peradilan selama ini. Dengan kata lain, tingginya urgensi pembentukan
Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas eksternal didasarkan pada lemahnya
pengawasan internal tersebut. Lemahnya pengawasan internal tersebut disebabkan
oleh beberapa faktor, antara lain:
a.
kualitas dan
integritas pengawas yang tidak memadai;
b.
proses
pemeriksaan disiplin yang tidak transparan;
c.
belum adanya
kemudahan bagi masyarakat yang dirugikan untuk menyampaikan pengaduan, memantau
proses serta hasilnya (ketiadaan akses);
d.
semangat
membela sesama korps (esprit de corps) yang mengakibatkan penjatuhan hukuman
tidak seimbang dengan perbuatan. Setiap upaya untuk memperbaiki suatu kondisi
yang buruk pasti akan mendapat reaksi dari pihak yang selama ini mendapatkan
keuntungan dari kondisi yang buruk itu; dan
e.
tidak terdapat
kehendak yang kuat dari pimpinan lembaga penegak hukum untuk menindaklanjuti
hasil pengawasan.
Hal-hal yang
diuraikan di atas menunjukkan bahwa tidak efektifnya fungsi pengawasan internal
badan peradilan pada dasarnya disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu adanya
semangat membela sesama korps (esprit de corps) dan tidak adanya kehendak yang
sungguh-sungguh dari pimpinan badan peradilan untuk menindaklanjuti hasil
pengawasan internal terhadap hakim. Akibatnya, peluang bagi hakim yang terbukti
melakukan pelanggaran hukum dan kode etik untuk mendapat "pengampunan"
dari pimpinan badan peradilan yang bersangkutan akan semakin terbuka. Oleh
karena itu, kehadiran suatu lembaga khusus yang menjalankan fungsi pengawasan
eksternal terhadap hakim dirasakan sangat mendesak.
2. Rumusan
masalah
a.
Pengertian
hakim, tugas, dan tanggung jawabnya;
b.
Kode etik hakim
dan hubungannya dengan Undang-undang.
3. Tujuan
Penulisan Makalah
a.
Untuk memenuhi persyaratan pada mata kuliah Etika dan
Tanggung Jawab Profesi Hukum;
b.
Sebagai bahan diskusi bersama diruang akademik khususnya
kelas Ilmu Hukum Semester 7 kelas Hukum Bisnis.
BAB II
ETIKA PROFESI HAKIM
ETIKA PROFESI HAKIM
1.
Profesi Hakim
dan Karakteristiknya
Sebagai sebuah
profesi yang berkaitan dengan proses di pengadilan, definisi hakim tercantum
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang
biasa disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 1 angka 8
KUHAP menyebutkan, hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang
oleh undang-undang untuk mengadili. Sedangkan mengadili diartikan sebagai
serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara
berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal
dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang.
Hakim memiliki
kedudukan dan peranan yang penting demi tegaknya negara hukum. Oleh karena itu,
terdapat beberapa nilai yang dianut dan wajib dihormati oleh penyandang profesi
hakim dalam menjalankan tugasnya. Nilai di sini diartikan sebagai sifat atau
kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun
batin. Bagi manusia, nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam
bersikap dan bertingkah laku, baik disadari maupun tidak. Nilai-nilai itu
adalah sebagai berikut:
a.
Profesi hakim
adalah profesi yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Di sini
terkandung nilai kemerdekaan dan keadilan.
b.
Selanjutnya,
nilai keadilan juga tercermin dari kewajiban hakim untuk menyelenggarakan
peradilan secara sederhana, cepat, dan biaya ringan, agar keadilan tersebut
dapat dijangkau semua orang. Dalam mengadili, hakim juga tidak boleh
membeda-bedakan orang dan wajib menghormati asas praduga tak bersalah.
Kewajiban menegakkan keadilan ini tidak hanya dipertanggungjawabkan secara
horizontal kepada sesama manusia, tetapi juga secara vertikal kepada Tuhan Yang
Maha Esa.
c.
Hakim tidak
boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan
dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Apabila hakim melihat adanya
kekosongan hukum karena tidak ada atau kurang jelasnya hukum yang mengatur
suatu hal, maka ia wajib menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat. Nilai ini dinamakan sebagai nilai keterbukaan.
d.
Hakim wajib
menjunjung tinggi kerja sama dan kewibawaan korps. Nilai kerja sama ini tampak
dari persidangan yang berbentuk majelis, dengan sekurang-kurangnya terdiri dari
tiga orang hakim. Sebelum menjatuhkan putusannya, para hakim ini melakukan
musyawarah secara tertutup.
e.
Hakim harus
senantiasa mempertanggungjawabkan segala sikap dan tindakannya. Secara vertikal
berarti ia bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan
pertanggungjawaban secara horizontal berarti ditujukan terhadap sesama manusia,
baik kepada lembaga peradilan yang lebih tinggi maupun kepada masyarakat luas.
Berkaitan dengan pertanggungjawaban horizontal, Pasal 25 ayat (1) Undang-
Undang tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa: "Segala putusan
pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula
pasal tertentu dari perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak
tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili."
f.
Hakim wajib
menjunjung tinggi nilai obyektivitas. Hal ini tercermin dalam Pasal 29 ayat (3)
yang menyatakan bahwa hakim wajib mengundurkan diri dalam pemeriksaan suatu
perkara apabila ia mempunyai hubungan darah dengan pihak-pihak yang terlibat
dalam proses pemeriksaan perkara tersebut, baik dengan terdakwa, jaksa,
penasihat hukum, panitera, maupun sesama majelis hakim.
Profesi hakim
sebagai salah satu bentuk profesi hukum sering digambarkan sebagai pemberi
keadilan. Oleh karena itu, hakim juga digolongkan sebagai profesi luhur
(officium nobile), yaitu profesi yang pada hakikatnya merupakan pelayanan pada
manusia dan masyarakat. Setiap profesi memiliki etika yang pada prinsipnya
terdiri dari kaidah-kaidah pokok sebagai berikut:
a.
Profesi harus
dipandang sebagai pelayanan, oleh karenanya, sifat "tanpa pamrih"
menjadi ciri khas dalam mengembangkan profesi.
b.
Pelayanan
profesional dalam mendahulukan kepentingan pencari keadilan mengacu pada
nilai-nilai luhur.
c.
Pengembanan
profesi harus selalu berorientasi pada masyarakat sebagai keseluruhan.
d.
Persaingan
dalam pelayanan berlangsung secara sehat sehingga dapat menjamin mutu dan
peningkatan mutu pengemban profesi.
Sebagai suatu
profesi di bidang hukum yang secara fungsional merupakan pelaku utama dalam
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, hakim dituntut untuk memiliki suatu
keahlian khusus sekaligus memahami secara mendalam mengenai ruang lingkup tugas
dan kewajibannya. Salah satu unsur yang membedakan profesi hakim dengan profesi
lainnya adalah adanya proses rekrutmen serta pendidikan bersifat khusus yang
diterapkan bagi setiap orang yang akan mengemban profesi ini.
2.
Persyaratan
Calon Hakim
Berdasarkan
Pasal 14 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum, seseorang hanya dapat diangkat menjadi hakim jika telah
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
Warga Negara
Indonesia;
b.
Bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa;
c.
Setia kepada
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
d.
Bukan bekas
anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia termasuk organisasi
massanya atau bukan seorang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam
Gerakan Kontra Revolusi G30S/PKI atau organisasi terlarang lainnya;
e.
Pegawai Negeri;
f.
Sarjana hukum;
g.
Berumur
serendah-rendahnya 25 (dua puluh lima) tahun;
h.
Berwibawa,
jujur, adil, dan berkelakuan baik.
3.
Pendidikan dan
Pelatihan Calon Hakim.
Proses
pendidikan dan pelatihan (diklat) bagi calon hakim dilaksanakan pada awal masa
pra-jabatan dan sangat erat kaitannya dengan proses rekrutmen hakim. Selain
digunakan sebagai program orientasi bagi para calon hakim, diklat juga
ditujukan untuk menjadi sarana seleksi hakim. Program diklat dimulai dari
kewajiban para peserta untuk memenuhi masa magang selama kurang lebih satu
tahun sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di pengadilan-pengadilan negeri
di wilayah Indonesia. Program pembinaan yang terarah belum terlihat pada tahap
yang disebut Diklat Praktik I ini. Para peserta diklat masih sebatas dikaryakan
sebagai staf administrasi pengadilan, hingga saatnya mereka mengikuti ujian prajabatan,
yang merupakan fase seleksi kepegawaian secara umum.
Setelah melalui
proses pengangkatan dan memperoleh status Pegawai Negeri Sipil (PNS), para
peserta diikutsertakan dalam Diklat Klasikal yang diadakan secara terpusat oleh
Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia
(Dephukham). Pada tahap ini, para peserta akan menerima berbagai materi
keahlian di bidang hukum, dan mulai dipersiapkan secara teoritis untuk
mengemban jabatan sebagai hakim. Apabila dinyatakan lulus, para peserta
diharuskan memenuhi masa magang kembali dengan status sebagai calon hakim di
berbagai pengadilan negeri selama minimal satu tahun. Pada tahapan yang disebut
Diklat Praktik II ini diterapkan suatu pola pembinaan yang sudah lebih mengarah
pada pelaksanaan tugas hakim. Selanjutnya, Ketua Pengadilan Negeri di mana
calon hakim tersebut ditempatkan akan mengusulkan para peserta yang dianggap
layak untuk diangkat penuh sebagai hakim. Pengangkatannya sendiri akan
dilakukan oleh Presiden melalui Menhukham.
4.
Pola Rekrutmen
dan Kualitas Hakim
Bagaimana
mekanisme perekrutan seorang individu untuk menjadi hakim akan menentukan
kualitas putusan pengadilan ke depannya. Individu yang sejak awal memang
memiliki kapabilitas dan wawasan hukum yang mendalam sudah selayaknya terjaring
dalam rekrutmen hakim sehingga mereka yang nantinya duduk di muka ruang
pengadilan sebagai pemimpin sidang adalah hakim-hakim yang berkualitas terbaik.
Faktanya, berbagai putusan pengadilan yang kontroversial terus bermunculan
sehingga berbagai pihak menilai hakim-hakim di negeri ini belum memahami rasa
keadilan masyarakat. Banyaknya kelemahan ataupun cacat hukum pada putusan yang
dikeluarkan oleh para hakim bisa jadi merupakan gambaran dari tidak efektifnya
pola rekrutmen hakim yang selama ini diterapkan di Indonesia.
Rifqi S.
Assegaf mencontohkan, putusan Mahkamah Agung pada kasus Buloggate yang
membebaskan terdakwa Akbar Tandjung mengandung sangat banyak kelemahan dari
segi hukum dan amat mencederai perasaan hukum dan keadilan sebagian masyarakat.
Dari kelima hakim dalam majelis yang memutus perkara tersebut, dua orang bukan
merupakan hakim karir melainkan berasal dari partai politik, sedangkan sisanya
adalah hakim karir. Salah seorang hakim non-karir, yakni Abdul Rahman Saleh
mengajukan dissenting opinion dalam putusan perkara korupsi dana non-budgeter
Bulog tersebut. Berkaca pada pendapat Rifqi mengenai kualitas putusan kasus
ini, barangkali perbedaan pendapat antarhakim tersebut menggambarkan adanya
disparitas kualitas antara hakim karir dan hakim non- karir.
Dalam buku
"The Civil Law Tradition", Merryman, seorang ahli perbandingan hukum,
menyatakan bahwa hakim karir (yang lahir dari sistem Civil Law) cenderung
memiliki mentalitas birokrat, kurang memiliki kepercayaan diri dan pemikiran
yang mandiri. Hal ini mengakibatkan mereka cenderung ragu atau takut untuk membuat
keputusan yang kontroversial dan memiliki dampak politik yang besar. Hal ini
berbeda dengan hakim di negara penganut sistem Common Law yang sebelum menjadi
hakim biasanya berprofesi sebagai pengacara, pejabat publik, atau akademisi.
5.
Tanggung Jawab
Moral Hakim
Secara
filosofis, tujuan akhir profesi hakim adalah ditegakkannya keadilan. Cita hukum
keadilan yang terapat dalam das sollen (kenyataan normatif) harus dapat
diwujudkan dalam das sein (kenyataan alamiah) melalui nilai-nilai yang terdapat
dalam etika profesi. Salah satu etika profesi yang telah lama menjadi pedoman
profesi ini sejak masa awal perkembangan hukum dalam peradaban manusia adalah
The Four Commandments for Judges dari Socrates. Kode etik hakim tersebut
terdiri dari empat butir di bawah ini:
a.
To hear corteously (mendengar dengan sopan dan beradab);
b. To answer wisely (menjawab dengan
arif dan bijaksana);
c. To consider soberly
(mempertimbangkan tanpa terpengaruh apapun);
d. To decide impartially (memutus tidak
berat sebelah).
Peradaban Islam pun memiliki
literatur sejarah di bidang peradilan, salah satu yang masih tercatat ialah
risalah Khalfah Umar bin Khatab kepada Musa Al- Asy'ari, seorang hakim di
Kufah, yang selain mengungkapkan tentang pentingnya peradilan, cara
pemeriksaan, dan pembuktian, juga menjelaskan tentang etika profesi. Dalam risalah
dituliskan kode etik hakim antara lain di bawah ini:
a. Mempersamakan kedudukan para pihak dalam majelis,
pandangan, dan putusan sehingga pihak yang merasa lebih mulia tidak
mengharapkan kecurangan hakim, sementara pihak yang lemah tidak berputus asa
dalam usaha memperoleh keadilan hakim;
b. Perdamaian hendaklah selalu
diusahakan di antara para pihak yang bersengketa kecuali perdamaian yang
menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal;
c.
Dalam
bertingkah laku, sikap dan sifat hakim tercermin dalam lambang kehakiman
dikenal sebagai Panca Dharma Hakim, yaitu:
a.
Kartika,
melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa;
b.
Cakra, berarti
seorang hakim dituntut untuk bersikap adil;
c.
Candra, berarti
hakim harus bersikap bijaksana atau berwibawa;
d.
Sari, berarti
hakim haruslah berbudi luhur atau tidak tercela; dan
e.
Tirta, berarti
seorang hakim harus jujur.
Sebagai
perwujudan dari sikap dan sifat di atas, maka sebagai pejabat hukum, hakim
harus memiliki etika kepribadian, yakni:
a.
percaya dan
takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b.
menjunjung
tinggi citra, wibawa, dan martabat hakim;
c.
berkelakuan baik
dan tidak tercela;
d.
menjadi teladan
bagi masyarakat;
e.
menjauhkan diri
dari perbuatan asusila dan kelakuan yang dicela oleh masyarakat;
f.
tidak melakukan
perbuatan yang merendahkan martabat hakim;
g.
bersikap jujur,
adil, penuh rasa tanggung jawab;
h.
berkepribadian,
sabar, bijaksana, berilmu;
i.
bersemangat
ingin maju (meningkatkan nilai peradilan);
j.
dapat
dipercaya; dan
k.
berpandangan
luas.
6.
Sikap Hakim
dalam Kedinasan
Sikap, sifat,
dan etika kepribadian yang harus dimiliki oleh hakim seperti telah diuraikan di
atas selanjutnya diimplementasikan di persidangan pada saat hakim menjalankan
tugasnya. Edy Risdianto, hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mencontohkan
salah satu bentuk tanggung jawab moral hakim yang ia terapkan dalam menjalankan
tugasnya adalah tidak mengikutsertakan istri ke ruang sidang di pengadilan
ketika sedang memimpin persidangan. Secara umum, yang harus dilakukan hakim
terhadap pihak ketiga yang menjadi pencari keadilan dalam persidangan adalah:
a.
bersikap dan
bertindak menurut garis-garis yang ditentukan dalam hukum acara yang berlaku;
b.
tidak
dibenarkan bersikap yang menunjukkan memihak atau bersimpati atau antipati
terhadap pihak-pihak yang berperkara;
c.
harus bersikap
sopan, tegas, dan bijaksana dalam memimpin sidang, baik dalam ucapan maupun
perbuatan;
d.
harus menjaga
kewibawaan dan kekhidmatan persidangan; dan
e.
bersungguh-sungguh
mencari kebenaran dan keadilan. Sementara itu, terhadap profesinya sendiri,
seorang hakim juga harus menjaga perilakunya, baik kepada atasan, sesama rekan,
maupun bawahan.
Terhadap
atasan, seorang hakim harus bersikap:
- taat kepada pimpinan;
- menjalankan tugas-tugas yang telah digariskan dengan jujur dan ikhlas;
- berusaha memberi saran-saran yang membangun;
- mempunyai kesanggupan untuk mengeluarkan serta mengemukakan pendapat tanpa meningalkan norma-norma kedinasan; dan
- tidak dibenarkan mengadakan resolusi terhadap atasan dalam bentuk apapun.
Sedangkan
terhadap sesama rekan, hakim haruslah:
- memelihara dan memupuk hubungan kerja sama yang baik antarsesama rekan;
- memiliki rasa setia kawan, tenggang rasa, dan saling menghargai antarsesama rekan;
- memiliki kesadaran, kesetiaan, penghargaan terhadap korps hakim; dan
- menjaga nama baik dan martabat rekan-rekan, baik di dalam maupun di luar kedinasan.
Begitu pula
terhadap bawahan/pegawai, setiap hakim selayaknya bersikap:
- harus mempunyai sifat kepemimpinan;
- membimbing bawahan untuk mempertinggi kecakapan;
- harus mempunyai sikap sebagai seorang bapak/ibu yang baik;
- memelihara sikap kekeluargaan antara bawahan dengan hakim; dan
- memberi contoh kedisiplinan.
7.
Sikap Hakim Di
Luar Kedinasan
Di samping itu,
di luar kedinasannya berprofesi di pengadilan, hakim juga harus senantiasa
menjaga sikap dan perilakunya. Terhadap diri pribadi, seorang hakim harus:
a.
memiliki
kesehatan jasmani dan rohani;
b.
berkelakuan
baik dan tidak tercela;
c.
tidak
menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi maupun golongan;
d.
menjauhkan diri
dari perbuatan-perbuatan asusila dan kelakuan yang dicela oleh masyarakat; dan
e.
tidak melakukan
perbuatan-perbuatan yang merendahkan martabat hakim.
Sementara dalam
kehidupan rumah tangga, hakim harus bersikap:
a.
menjaga
keluarga dari perbuatan-perbuatan tercela, baik menurut norma hukum maupun
norma kesusilaan;
b.
menjaga
ketentraman dan keutuhan keluarga dan rumah tangga;
c.
menyesuaikan
kehidupan rumah tangga dengan keadaan dan pandangan masyarakat; dan
d.
tidak
dibenarkan hidup berlebih-lebihan dan mencolok.
Sedangkan dalah
kehidupan bermasyarakat, hakim harus selalu:
a.
selaku anggota
masyarakat tidak boleh mengisolasi diri dari pergaulan masyarakat;
b.
dalam hidup
bermasyarakat harus mempunyai rasa gotong-royong; dan
c.
harus menjaga
nama baik dan martabat hakim.
8.
Tanggung Jawab
Hukum Hakim
Beberapa
peraturan perundang-undangan yang memiliki kaitan dengan hakim dan peradilan
mencantumkan dan mengatur pula hal-hal seputar tanggung jawab hukum profesi
hakim. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
mencantumkan beberapa tanggung jawab profesi yang harus ditaati oleh hakim,
yaitu:
a.
bahwa hakim
wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 ayat (1));
b.
bahwa dalam
mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat
yang baik dan jahat dari terdakwa (Pasal 28 ayat (2)); dan
c.
bahwa hakim
wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga
sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami isteri meskipun
telah bercerai, dengan ketua, salah seorang Hakim Anggota, Jaksa, Advokat, atau
Panitera (Pasal 29 ayat (3)).
Selain
peraturan perundang-undangan yang menguraikan tanggung jawab profesi hakim
sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman secara umum, terdapat pula ketentuan
yang mengatur secara khusus mengenai tanggung jawab profesi Hakim Agung, yaitu
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Undang-undang ini
mengatur ketentuan-ketentuan yang harus ditaati dan menjadi tanggung jawab
Hakim Agung, di antaranya sebagai berikut:
a.
Pasal 10 ayat
(1) menyatakan bahwa Hakim Agung tidak boleh merangkap menjadi:
a.
pelaksana
putusan Mahkamah Agung;
b.
wali, pengampu,
dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang akan atau sedang diperiksa
olehnya;
c.
penasehat
hukum; dan
d.
pengusaha.
b.
Pasal 12 ayat
(1) menyatakan bahwa Hakim Anggota Mahkamah Agung dapat diberhentikan tidak dengan
hormat dengan alasan:
a.
dijatuhi pidana
penjara berdasarkan putusan pengadilan karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
b.
melakukan
perbuatan tercela;
c.
terus menerus
melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya;
d.
melanggar sumpah
atau janji jabatan; dan
e.
melanggar
larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.
c.
Pasal 41 ayat
(1) menyatakan bahwa hakim wajib mengundurkan diri dari suatu persidangan
apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga,
atau hubungan suami atau isteri meskipun telah bercerai dengan salah seorang
Hakim Anggota atau Panitera pada majelis hakim.
d.
Pasal 41 ayat
(4) menyatakan jika seorang hakim yang memutus perkara dalam tingkat pertama
atau tingkat banding, kemudian telah menjadi Hakim Agung, maka Hakim Agung
tersebut dilarang memeriksa perkara yang sama.
e.
Pasal 42 ayat
(1) menyatakan bahwa seorang hakim tidak diperkenankan mengadili suatu perkara
yang ia sendiri berkepentingan, baik langsung maupun tidak langsung. Di samping
kedua undang-undang di atas, peraturan berbentuk undang- undang lainnya yang
mencantumkan ketentuan mengenai tanggung jawab profesi hakim adalah:
a.
Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama;
b.
Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;
c.
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum;
d.
Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
e.
Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
f.
Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak; dan
g.
Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
9.
Tanggung Jawab
Teknis Profesi Hakim
Jenis tanggung
jawab yang terakhir adalah tanggung jawab teknis profesi. Pada jenis tanggung
jawab ini, penilaian terhadap sesuai atau tidaknya tindakan yang dilakukan oleh
hakim dengan ketentuan yang berlaku menjadi hal yang paling diutamakan. Selain
itu, penilaian terhadap kinerja dan profesionalisme hakim dalam menjalankan tugasnya
juga menjadi perhatian. Setiap hakim dituntut mampu mempertanggungjawabkan
tindakannya sebagai profesional di bidang hukum, baik di dalam maupun di luar
kedinasan, secara materi dan formil. Oleh karena itu, adalah suatu hal yang
mutlak bagi para hakim untuk memahami secara mendalam aturan-aturan mengenai
hukum acara di persidangan. Ketidak mampuan hakim dalam mempertanggungjawabkan
tindakannya secara teknis atau dikenal dengan istilah unprofessional conduct
dianggap sebagai pelanggaran yang harus dijatuhi sanksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar