Sabtu, 09 November 2013

Hukum Jaminan "Lembaga Penjaminan Perorangan"


                       LEMBAGA PENJAMINAN PERORANGAN
 
A.    Arti pentingnya perjanjian penanggungan (Borgtocht, Guarantee)

1.      Dalam hubungan hukum bagaimana timbul perjanjian penanggungan

Dahulu penanggungan lazim diberikan oleh seseorangan tertentu yang tanpa mempunyai kepentingan sesuatu dan murni atas dasar rasa persahabatan menanggung untuk memenuhi pertanggungan orang lain. Namun perkembangannya sekarang penagnggungan yang diberikan atas dasar persahabatan demikian hampir tidak pernah terjadi. Karena perkembangan kebutuhan akan kredit sekarang adalah demikian meningkatnya untuk kepentingan perluasan industri, perlindungan bagi pihak ekonomi lemah dan peningkatan perekonomian pada umumnya. Sehingga dasar pemberian penanggungan atas dasar persahabatan demikian sekarang menjadi tedesak dan kurang beralasan, mungkin hanya terjadi dalam hal hubungan keluarga antara si penanggung dan debitur. Dasar pemberian kredit sekarang menjadi lebih ketat dan lebih zakelijk di samping kebutuhan akan kredit yang semakin meluas.

2.      Sifat, isi dan bentuk perjanjian penanggungan

Disamping jaminan yang bersifat zakelijk terdapat jaminan yang bersifat persoonlijk. Perjanjian penanggungan tergolong jaminan perorangan yang lazim terjadi dalam praktek perbankan.
Yang dimaksud penanggungan menurut Pasal 1820 KUH Perdata ialah suatu perjanjian dimana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berhutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perutangan si berhutang manakala si berhutang itu wanprestasi.
Tujuan dan isi dari penanggungan itu ialah memberikan jaminan untuk dipenuhinya perutangan dalam perjanjian pokok. Adanya penanggungan itu dikaitkan dengan perjanjian pokok, mengabdi pada perjanjian pokok. Maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian penanggungan itu bersifat accesoir.[1]
Dari beberapa ketentuan Undang-undang dapat kita simpulkan bahwa perjanjian penanggungan adalah bersifat accesoir, dalam arti senantiasa dikaitkan dengan perjanjian pokok :
a.       Tak ada penanggungan tanpa adanya perutangan pokok yang sah;
b.      Besarnya penanggungan tidak akan melebihi besarnya perutangan pokok;
c.       Penanggung berhak mengajukan tangkisan-tangkisan;
d.      Beban pembuktian yang tertuju pada si berhutang dalam batas-batas tertentu mengkikat juga si penanggung;
e.       Penanggungan pada umumnya akan hapus dengan hapusnya perutangan pokok.

Ditinjau dari sifatnya jaminan penanggungan tergolong pada jaminan yang bersifat perorangan, yaitu adanya orang pihak ketiga (badan hukum) yang menjamin memenuhi perutangan manakala debitur wanprestasi. Pada jaminan yang bersifat perorangan demikian pemenuhan prestasi hanya dapat dipertahankan terhadap orang-orang tertentu, yaitu si debitur atau penanggungnya.
Mengenai bentuknya perjanjian penanggungan menurut ketentuan Undang-undang adalah bersifat bebas, tidak terikat oleh bentuk tertentu dalam arti dapat secara lisan, tertulis atau dituangkan dalam akta. Namun demi kepentingan pembuktian, dalam praktek lazim terjadi bahwa bentuk perjanjian penanggungan senantiasa dibuat dalam bentuk yang tertulis, baik tercantum dalam model-model tertentu dari Bank maupun akta Notaris.
Penanggungan adalah perjanjian yang berbentuk bebas dan biasanya bersifat sepihak, tetapi lebih ditekankan kepada kewajiban penanggung. Pada umumnya penanggungan adalah merupakan perjanjian sepihak, namun mungkin juga bahwa kreditur menjanjikan sesuatu prestasi sehingga prestasi datang dari kedua belah pihak.
Mengenai sifatnya perjanjian penanggungan selain bersifat accesoir, ditinjau dari sudut cara pemenuhannya adalah bersifat subsidair. Hal demikian disimpulkan dari ketentuan Pasal 1820 KUH Perdata yang menentukan bahwa ”penanggung mengikatkan diri untuk memenuhi perutangan debitur, manakala si debitur sendiri tidak memenuhinya”.
Jadi dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa penanggungan hanya terikat secara subsidair manakala debitur tidak memenuhinya, dan pada tingkat yang terakhir hanya debitur yang berkewajiban atas pemenuhan hutang tersebut. Hal demikian terbutki dari adanya Hak Regress dari penanggung kepala debitur, setelah penanggung memenuhi prestasi.[2]
Pada umumnya penanggungan dapat diberikan untuk menjamin pemenuhan perutangan yang timbul dari segala macam hubungan hukum, lazimnya hubungan hukum yang bersifat keperdataan. Namun dimungkinkan juga bahwa penanggungan diberikan untuk menjamin pemenuhan prestasi yang lahir dari hubungan hukum yang bersifat hukum publik. Asal prestasi tersebut dapat dinilai dalam bentuk uang.
Pada azaznya dalam perjanjian penanggungan, si penanggung itu hanya mengikatkan diri untuk pemenuhan pembayaran sejumlah uang. Ini merupakan bentuk yang lazim dalam perjanjian penanggungan. Seandainya penanggungan itu diberikan untuk perutangan yang tidak berwujud dalam jumlah uang, maka kreditur menuntut pemenuhan dari penanggung, harus dapat diwujudkan dalam jumlah uang. Prinsip yang demikian kiranya sesuai dengan azaz yang berlaku pada hukum eksekusi, dimana untuk pelaksanaan eksekusi, semua perutangan harus diwujudkan dalam pembayaran sejumlah uang.
Mengenai bentuknya perjanjian penanggungan sebagaimana diuraikan di muka menurut Undang-undang adalah berbentuk bebas, meskipun dalam praktek senantiasa berbentuk tertulis, tercantum dalam formulir-formulir tertentu dari Bank ataupun akta Notaris.
Dalam praktek perjanjian penanggungan yang bersifat accessoir itu lazim tercantum dalam akta yang terpisah dari perjanjian pokoknya, tercantum dalam formulir/model tertentu dari bank. Namun mungkin juga perjanjian penanggungan tercantum menjadi satu dalam perjanjian penanggungan.

3.      Penanggungan yang diwajibkan
Pada umumnya penanggungan itu timbul sebagai akibat adanya perjanjian pokok yang menyebutkan secara khusus adanya penanggungan tersebut. Karena dalam banyak hal ternyata bahwa seorang kreditur baru mau mengadakan hubungan perutangan jika pihak lawannya itu dapat mengajukan penanggung, yang akan menanggun pemenuhan hutang manakala debitur wanprestasi.
      Disamping itu penanggungan dapat juga timbul karena penetapan Undang-undang. Karena dalam beberapa hal Undang-undang mewajibkan adanya seorang penanggung untuk memenuhi kewajiban-kewajiban tertentu (keadaan tak hadir, hak pakai hasil, pewarisan).
Penanggungan juga dapat timbul karena adanya keputusan hakim atau ketetapan (beschikking) yang memutuskan perlu adanya penanggungan yang menanggung dipenuhinya perutangan. Si debitur yang diwajibkan memberikan seorang penanggung harus mengajukan seseorang penanggung yang memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu:
a.       Harus mempunyai kecakapan bertindak untuk mengikatkan diri;
b.      Cukup mampu (kemampuan ekonomis) untuk dapat memenuhi perutangan yang bersangkutan.
c.       Harus berdiam di wilayah Republik Indonesia.

4.      Luasnya Penanggungan
Adakalanya penanggungan itu tidak terbatas hanya untuk pelaksanaan perjanjian pokok saja, melainkan termasuk semua akibat hutangnya bahkan terhitung semua biaya-biaya gugatan yang diajukan terhadap si berhutang utama. Terhitung pula segala biaya yang dikeluarkan setelah si penanggung diperingatkan untuk melaksanakan kewajibannya (Pasal 1825 KUH Perdata). Penanggungan secara demikian disebut penanggungan tak terbatas (onbeperkte borgtocht).

Lebih dari seorang penanggung
Penanggung utama – Penanggung belakang; Penanggung pertama – Penanggung keduam Penanggung Solider.

      Menurut ketentuan Undang-undang dimungkinkan bahwa orang atau Bank juga menjadi penanggung dari si penanggung. Jadi disini penanggung bukan menanggung agar debitur memenuhi kewajibannya, melainkan menanggung agar si penanggung itu memenuhi kewajibannnya. Jadi di sini terdapat penanggung utama (hoofdborg) dan penanggung belakang (achterborg; sub borg; sub guarantor). Penanggung di sini diberikan untuk menanggung kepentingan kreditur.
      Jika penanggung belakang (achterborg) ini telah membayar seluruh hutang, maka ia mempunyai hak penuntutan kembali pembayaran terhadap si penanggung utama dan tidak mempunyai hak penuntutan kembali terhadap si debitur. Sebaliknya jika si penanggung utama telah membayar seluruh hutang debitur ia tidak memiiki hak penuntutan kembali terhadap penanggung belakang melainkan hanya hak penuntutan kembali kepada debitur.
      Dalam perjanjian penanggungan ada pula kemungkinan bahwa seorang penanggung mengikatkan diri untuk suatu hutang bersama-sama dengan si berhutang secara tanggung menanggung. Maka penanggung yang demikian itu disebut ”hoofdelijke borg” atau penanggung solider. Dalam keadaan demikian si kreditur dapat menuntut pemenuhan piutangnya baik kepada penanggung maupun debitur masing-masing untuk seluruh hutang.

B.     Hubungan dan akibat-akibat hukum antara penanggung dan kreditur

Dengan adanya perjanjian penanggungan antara kreditur dan penanggung, maka lahirlah akibat-akibat hukum berupa hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus diperhatikan baik oleh si penanggung maupun oleh si kreditur. Hak-hak demikian oleh Undang-undang diberikan kepada penanggung, merupkan perlindungan bagi penanggung terhadap perlakuan-perlakuan/tindakan dari kreditur yang memberatkan bagi penanggung. Ketentuan-ketentua demikian yang diberikan oleh Undang-undang sebagaimana nampak dari pasal-pasal tertentu KUH Perdata akan berlaku bagi penanggung, kecuali jika para pihak (peanggung dan kreditur) memperjanjikan lain.
Di samping itu dalam jurisprudensi  dan dari praktek perbankan sebagaimana nampak dari keputusan-keputusan pengadilan dan tercantum dalam akta-akta perjanjian penanggungan lazim dibuat  janji-janji khusus antara kreditur dan penanggung. Selain itu akibat adanya hubungan perjanjian penanggungan antara kreditur dan penanggung, si kreditur  juga mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap penanggung meskipun penanggung mengikatkan diri untuk kepentingan si kreditur.
a.       Hak-hak dari si penanggung
Dalam melakukan kewajibannya oleh Undang-undang si penanggung diberikan hak-hak tertentu yang sifatnya memberikan perlindungan bagi si penanggung. Hak-hak penanggung tersebut menurut ketentuan Undang-undang berupa:
1.      Hak untuk menuntut lebih dahulu (voorrecht van uitwinning);
2.      Hak untuk membagi hutang (voorrecht van schuldsplitsing);
3.      Hak untuk mengajukan tangkisan gugat ( Pasal 1849, 1850 KUH Perdata);
4.      Hak untuk deberhentikan dari penanggungan (karena terhalang melakukan suborgasi akibat kesalahan kreditur).

b.      Janji-janji dalam penanggungan
Dalam praktek pada praktek perbankan maupun dalam perjanjian pemborong bangunan, perjanjian pembangunan senantiasa dituangkan dalam akta dibawah tangan, akta notaris, atau tercantum dalam model-model tertentu dari bank. Akta tersebut ditanda tangani oleh peminjm dan penanggung dan diserahkan kepada debitur.
Adapun ketentuan-ketentuan ataupun janji-janji yang biasa diadakan/dicantumkan dalam akta penanggungan ialah:
1.      Janji agar penanggung melepaskan haknya untuk menuntut penjual harta benda debitur terlebih dahulu
2.      Janji agar penanggung melepaskan haknya untuk membagi-bagi hutang (vorrecht van schuldsplitsing)
3.      Janji agar penanggung agar melepaskan haknya untuk diberhentikan dari penanggungan, jika karena perbuatan kreditur mengakibatkan tidak dapat lagi menggantikan hak-haknya, hipotiknya dan hak-hak utama dari kreditur (Pasal 1848 KUH Perdata)

C.     Hubungan dan akibat hukum antara penanggung dan debitur

Hak regres dan subrogasi dari penanggung

Jika penanggung telah membayar utang debitur, ia dapat menuntut kembali pembayaran tersebut dari debitur, baik penanggungan itu terjadi dengan pengetahuan ataupun tanpa pengetahuan debitur. Hak menuntut tersebut lazim juga disebut hak regres, timbul karena diberikan oleh Undang-undang. Hak regres itu timbul setelah penanggung membayar hutang debitur, baik pembayaran itu secara sukarela maupun atas dasar keputusan hakim.
Hak menuntut pengganti kerugian yang timbul dari hak regres yang merupakan haknya sendiri dari penanggung itu meliputi pembayaran yang berupa:
1.             Pembayaran ongkos perkara
2.             Pembayaran bunga
3.             Pembayaran kerugian

Hak-hak apa dari kreditur yang ikut beralih kepada penanggung karena adanya subrogasi adalah hak-hak jaminan yang diadakan untuk menjamin dipenuhinya perutangan pokok. Hak-hak tersebut adalah:
1.    Hak hipotik yang diberikan kepada kreditur sebagai jaminan
2.    Hak gadai sebagai jaminan hutang yang diberikan kepada penanggung
3.    Hak privilegi

D.    Jenis-jenis atau macam penanggungan

Pada pokoknya bentuk-bentuk penanggungan yang dikenal di luar negeri dan praktek perbankan di Indonesia ialah sebagai berikut:
1.      Jaminan bank (Bank garansi)
2.      Jaminan pembangunan (Bouw garansi)
3.      Jaminan saldo (Saldo garansi)
4.      Jaminan alat lembaga pemerintah (Staatsgaransi)

Dikarenakan pada pembahasan kali kelompok kami hanya memfokuskan pada materi jaminan bank atau garansi bank, maka kami hanya akan memaparkan seluk beluk mengenai jaminan bank/garansi bank.



1.      Jaminan bank (Garansi bank)
Jaminan bank adalah suatu jenis penanggungan, dimana yang bertindak sebagai penanggung adalah Bank. Berdasarkan Undang-undang nomor 14 tahun 2007 tentang Pokok Perbankan, bank umum adalah tergolong jenis bank yang berhak memberikan jaminan bank didalam usahanya (Pasal 23 ayat 7). Bank garansi terjadi jika bank selaku penangggung diwajibkan untuk menanggung pelaksanaan pekerjaan tertentu, atau menanggung dipenuhinya pembayaran tertentu kepada kreditur.
Dalam bank garansi, Bank baru bersedia memberikan garansi jika kepada bank telah disetorkan jumlah uang tertentu, sebesar garansi yang akan diberikan oleh bank. Jika kebetulan pemohon garansi itu telah mempunyai rekening atau deposito bank, maka bank akan memblokir jumlah uang itu untuk keperluan pemberian surat jaminan bank. Atau kemungkinan lainnya lagi dapat juga si pemohon garansi tidak menyerahkan sejumlah uang kepada bank, melainkan memberikan kontra garansi yang berwujud jaminan yang bersifat kebendaan. Bank akan memblokir sejumlah uang atau kredit dari sejumlah garansi sebesar jaminan bank yang akan diberikan, sehingga si pemohon tidak berwenang untuk menguasai uang tersebut. Pada saatnya jika bank digugat harus memenuhi kewajiban penanggungan, maka bank akan memenuhi atau membayar prestasi kepada kreditur. Selanjutnya untuk jumlah uang yang dibayarnya, bank akan memperhitungkan kembali dalam debet dari rekening debitur yang sedang berjalan.

a.       Tender garansi (jaminan penawaran; tender bond)
Bank garansi atau Jaminan Bank yang berwujud tender garansi adalah bentuk perjanjian penanggungan dimana Bank menjamin pembayaran sejumlah uang tertentu untuk memenuhi syarat penawaran di dalam pelelangan pemborongan pekerjaan. Khususnya untuk pemborongan bangunan yang dilakukan oleh pemerintah sebagai pihak yang memborongkan (bouwheer), untuk dapat menunjuk/memilih pemborong yang bonafide dan dapat memenuhi persyaratan-persyaratan pelaksanaan pemborongan dengan biaya murah, maka kepada para pemborong itu diwajibkan mengadakan penawaran-penawaran yang kemudian diadakan pelelangan. Untuk dapat mengikuti pelelangan  pekerjaan demikian kepada pemborong selain diwajibkan mengajukan penawaran-penawaran, juga disyaratkan adanya jaminan bank yang berupa tender garansi. Adanya jaminan bank yang berupa tender garansi ini, telah lazim dalam praktek perjanjian pemborongan dan praktik perbankan di Indonesia dimana persyaratannya telah diatur dalam peraturan khusus berbentuk perjanjian yang dituangkan dalam model-model tertentu dari bank.
Pada tender garansi bank sebagai penanggung baru bersedia untuk memberikan jaminan penawaran bagi kepentingan pemborong, jika pemborong telah menyetorkan sejumlah uang tertentu kepada bank, atau meminjam kredit dari bank yang besarnya sesuai dengan jumlah persentase yang wajib dibayarkan kepada pelelang memenuhi syarat pelelangan.
Jadi maksud dari adanya jaminan tender adalah untuk menjamin agar pemborong terikat pada penawarannya dan  kemudian jika menang dalam pelelangan terikat untuk melaksanakan pekerjaan yang telah ditawarnya. Semuanya itu dengan sanksi bagi pemborong yang telah dikabulkan permintaannya namun  menolak atau tidak melaksanakan pekerjaan, uang jaminan penawarannya akan menjadi milik negara.

b.      Jaminan pelaksaan (performance bond)
Jaminan pelaksaan adalah bentuk penanggunan yang diberikan oleh bank untuk menanggung pelaksanaa pekerjaan yang harus dilakukan oleh pemborong. Dalam pemborongan bangunan, jaminan pelaksanaan hanya diberikan kepada pemborong yang telah diluluskan dalam pelelangan pekerjaan setelah pemborong menyetorkan sejumlah persentase tertentu dari nilai pemborongan.
Jaminan pelaksanaan telah lazim dalam praktek perbankan dan disyaratkan dalam perjanjian pemborongan bangunan di Indonesia, dituangkan dalam model-model tertentu dari bank.

c.       Jaminan pembangunan (bouw garansi)
Dalam praktek terdapat banyak kelemahan dan keluhan-keluhan terhadap lembaga jaminan pembangunan ini. Justru karena bentuknya dituangkan dalam bentuk perjanjian penanggungan, seringkali dalam pelaksanaan menimbulkan akibat-akibat yang menimbulkan kerugian bagi penanggung, yaitu:
1.      Si penanggung melakukan kewajiban menyelesaikan pembangunan atas nama pemborong utama
2.      Si penanggung selaku pemborong peseta tidak ditunjuk untuk menyelesaikan pekerjaan
3.      Syarat adanya penanggung pembangunan menjadi hambatan bagi pemborong dan leveransir.

d.      Jaminan saldo (saldo garansi)
Saldo garansi adalah bentuk perjanjian penanggungan dimana bank menjamin saldo yang akan ditagih dari debitur oleh kreditur pada waktu penutupan rekeningnya. Jadi bank menjamin pemenuhan piutang kreditur yang akan dibayar dari saldo rekening dari debitur pada waktu penutupan rekeningnya.
Dengan demikian bank hanya menjamin pebayaran piutang tertentu dari kreditur dan hanya untuk transaksi tertentu, bukannya menjamin semua tagihan yang akan ditagih dari debitur sampai penutupan rekening. Dalam praktek perbankan di Indonesia, bentuk penanggungan dengan saldo garansi tidak banyak terjadi.

e.       Jaminan oleh lembaga pemerintah (Staatsgaransi)
Diluar negeri telah lazim terjadi bahwa pemberian kredit untuk tujuan-tujuan tertentu yang maksudnya memberi perlindungan bagi pengusaha kecil atau memberi kemungkinan meningkatkan pembangunan bagi proyek-proyek tertentu, pemerintah bersedia menjadi penanggung bagi pemberian kredit bagi usaha-usaha tersebut. Kemungkinan pemberian kredit dengan garansi dari pemerintah demikian patut mendapat perhatian pemerintah mendapat perhatian dan dikembangkjn di Indonesia dalam rangkan menempuh kebijaksanaan pemberian kredit yang longgar. Terutama bagi kredit-kredit untuk proyek tertentu yang menyangkut rakyat banyak, proyek-proyek pembangunan yang ingin dikembangkan karena menyangkut peningkatan taraf hidup rakyat, dan memerlukan fasilitas dan serta dorongan dari pemerintah, patut mendapatkan garansi dari pemerintah. Misalnya kredit-kredit untuk proyek perumahan murah, kredit untuk perumahan, pegawai negeri dan lain-lain. Jaminan pemerintah itu dapat diberikan baik oleh pemerintah pusat maupun oleh pemerintah daerah.


E.     Perutangan Tanggung Menanggung
Pada perutangan tanggung menanggung atau perutangan tanggung renteng terdapat hak yang bersifat memberi jaminan bagi kreditur. Karena pada perutangan tanggung renteng  di mana ada beberapa debitur yang wajib membayar untuk seluruh prestasi kreditur merasa terjamin pemenuhan piutangnya. Yang dimaksud tanggung renteng  yang pasif, yaitu di mana dalam perutangan tersebut terdapat beberapa orang debitur yang wajib  berprestasi. Kebalikannya adalah tanggung renteng aktif adalah dimana dalam perutangan tersebut terdapat beberapa kreditur yang berhak atas prestasi. Perutangan tanggung renteng timbul karena diperjanjikan atau karena ketentuan undang-undang. Tanggung renteng aktif dalam praktek hampir tak pernah terjadi. Sedang tanggung renteng aktif yang timbul dari undang-undang tidak dikenal contohnya.
Tanggung renteng pasif sebagian besar timbul karena ketentuan undang-undang, sebagaimana nampak dari ketentuan pasal-pasal 130, 365 ayat 4, 563 ayat 2, 1016 ayat 2, 1665 ayat 3, 1749, 1811 dan 1836 KUH Perdata. Juga ketentuan dari pasal-pasal 18, 21, 39, 45 ayat 2, 146, 221, 517 ayat 1, 519 ayat 3, dan 520 ayat 1 KUHD.



[1] Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, “Hukum Jaminan di Indonesia; Pokok-pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty Offset
[2] Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, “Hukum Jaminan di Indonesia; Pokok-pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan,  Hal 84.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar