A. PENGERTIAN PEMBUKTIAN
Pokok bahasan mengenai pembuktian mengundang
perbedaan pendapat diantara ahli hukum dalam mengklasifikasikannya apakah
termasuk kedalam hukum perdata atau hukum acara perdata. Prof. Subekti, S.H.
mantan ketua MA dan guru besar hukum perdata pada Universitas Indonesia
berpendapat bahwa sebenarnya soal pembuktian ini lebih tepat diklasifikasikan
sebagai hukum acara perdata (procesrecht) dan tidak pada tempatnya di
masukkan dalam B.W., yang pada asasnya hanya mengatur hal-hal yang termasuk
hukum materil. Akan tetapi memang ada
suatu pendapat, bahwa hukum acara itu dapat dibagi lagi dalam hukum acara
materil dan hukum acara formil. Peraturan tentang alat-alat pembuktian,
termasuk dalam pembagian yang pertama (hukum acara perdata), yang dapat juga
dimasukkan kedalam kitab undang-undang tentang hukum perdata materil. Pendapat
ini rupanya yang dianut oleh pembuat undang-undang pada waktu B.W. dilahirkan.
Untuk bangsa Indonesia perihal pembuktian ini telah dimasukkan dalam H.I.R.,
yang memuat hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri.[1]
Dilain pendapat, pembuktian atau membuktikan menurut Prof. Dr. Sudikno
Mertokusumo, S.H., guru besar Fakultas Hukum UGM Yogyakarta dalam bukunya Hukum
Acara Perdata Indonesia mengandung beberapa pengertian:
a)
Membuktikan dalam arti logis atau ilmiah
Membuktikan berarti memberikan kepastian mutlak, karena berlaku bagi setiap
orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan.
b)
Membuktikan dalam arti konvensionil
Membuktikan berarti memberikan kepastian yang nisbi/relatif sifatnya yang
mempunyai tingkatan-tingkatan:
- kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka/bersifat instuitif (conviction intime)
- kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal (conviction raisonnee)
c)
Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis
Didalam ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan
mutlak yang berlaku bagi setiap orang serta menutup segala kemungkinan adanya
bukti lawan. Akan tetapi merupakan pembuktian konvensionil yang bersifat
khusus. Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak
yang beperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian pembuktian
dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak. Ada kemungkinan
bahwa pengakuan, kesaksian atau surat-surat itu tidak benar atau palsu atau
dipalsukan. Maka hal ini dimungkinkan adanya bukti lawan. Pembuktian secara yuridis
tidak lain adalah pembuktian “historis” yang mencoba menetapkan apa yang
telah terjadi secara konkreto. Baik pembuktian yang yuridis
maupun yang ilmiah, maka membuktikan pada hakekatnya berarti mempertimbangkan
secara logis mengapa peristiwa-peristiwa tertentu dianggap benar. Membuktikan
dalam arti yuridis tidak lain berarti memberikan dasar-dasar yang cukup
kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberikan kepastian
tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Berbeda dengan azas yang terdapat
pada hukum acara pidana, dimana seseorang tidak boleh dipersalahkan telah
melakukan tindak pidana (Presumption of Innocence), kecuali apabila
berdasarkan buki-bukti yang sah hakim memperoleh keyakinan tentang kesalahan
terdakwa. Dalam hukum acara perdata untuk memenangkan seseorang, tidak perlu
adanya keyakinan hakim. Yang penting adalah adanya alat-alat bukti yang sah,
dan berdasarkan alat-alat bukti tersebut hakim akan mengambil keputusan tentang
siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dengan perkataan lain, dalam hukum
acara perdata, cukup dengan kebenaran formil saja.
Kesamaan ketiga jenis pembuktian adalah bahwa membuktikan berarti memberi
motivasi mengapa sesuatu itu dianggap benar dan didasarkan pada pengalaman dan
pengamatan.[2]
Hal ini diperkuat dengan perintah hukum yang
termaktub dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata bahwa pembuktian pada umumnya
yang diatur dalam Buku Empat tentang Pembuktian dan Daluarsa pasal 1865 “Setiap
orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk
meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib
membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu.”
B. MACAM-MACAM ALAT
BUKTI
Menurut M. Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya Hukum
Acara Perdata menyatakan bahwa alat bukti (bewijsmiddel) adalah
suatu hal berupa bentuk dan jenis yang dapat membantu dalam hal memberi
keterangan dan penjelasan tentang sebuah masalah perkara untuk membantu
penilaian hakim di dalam pengadilan. Jadi, para pihak yang
berperkara hanya dapat membuktikan kebenaran dalil gugat dan dalil bantahan
maupun fakta-fakta yang mereka kemukakan dengan jenis atau bentuk alat bukti
tertentu. Hukum pembuktian yang berlaku di Indonesia sampai saat ini masih
berpegang kepada jenis dan alat bukti tertentu saja.[3]
Sebelum kami membahas sesuai dengan tema sub-bab kali ini, kami ingin
memaparkan terlebih dahulu perbedaan alat bukti dalam perkara pidana dan
perdata. Tidak sama jenis ataupun bentuk alat bukti yang diakui dalam perkara
pidana dan perdata. Mengenai alat bukti yang diakui dalam acara perdata diatur
dalam undang-undang Perdata Pasal 1866 KUH Perdata, Pasal 164 HIR sedangkan
dalam acara pidana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Untuk lebih jelasnya agar
dapat membandingkan antar alat bukti perdata dan pidana sebagai berikut:[4]
Alat Bukti Hukum Acara
Perdata
|
Alat Bukti Hukum Acara
Pidana
|
(Pasal 164 HIR, 1866 BW)
|
Pasal 184 KUHAP
|
Tulisan/Surat
Saksi-saksi
Persangkaan
Pengakuan
Sumpah
|
Ket. Saksi
Ket. Ahli
Surat
Petunjuk
Ket. Terdakwa
|
Untuk itu, disini kami akan menjelaskan satu
persatu alat bukti Hukum Acara Perdata yang tercantum dalam Pasal 1866 B.W.,
sebagai berikut:
1. Alat Bukti Tertulis (Surat)
Orang yang melakukan hubungan hukum perdata,
tentulah dengan sengaja ataupun tidak membuat alat bukti berbentuk tulisan
dengan maksud agar kelak dapat digunakan atau dijadikan bukti kalau
sewaktu-waktu dibutuhkan. Sebagai contoh: sewa menyewa, jual beli tanah dengan
menggunakan akta, jual beli menggunakan kuitansi, dan lain sebagainya. Sebelum
kami membahas secara mendalam, perlulah dilihat bentuk kerangka surat atau alat
bukti tertulis dibawah ini:
Akta adalah surat yang diberi tanda tangan,
yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar daripada suatu hak atau
perikatan dan dibuat di depan ataupun oleh pegawai umum atau pejabat pembuat
akta tanah itu sendiri, yang dibuat sejak pemula dengan sengaja untuk
pembuktian. Unsur paling penting
terkait dengan pembuktian adalah tanda tangan. Barang siapa yang telah
menandatangani suatu surat dianggap mengetahui isinya dan bertanggung jawab.
Syarat penandatanganan dapat kita lihat pada pasal 1874 B.W..
Akta autentik adalah akta yang dibuat
dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat yang
berwenang untuk itu ditempat akta dibuat’ (ps. 1868 KUH Perdata).
Dari penjelasan pasal diatas dapat disimpulkan bahwa akta otentik dibuat
oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang yang disebut pejabat umum.
Apabila yang membuatnya pejabat yang tidak cakap – tidak berwenang atau bentuknya
cacat maka menurut Pasal 1869 KUH Perdata : akta tersebut tidak sah atau tidak
memenuhi syarat formil sebagai akta otentik; namun akta yang demikian mempunyai
nilai kekuatan sebagai akta dibawah tangan.[5]
Sedangkan akta dibawah
tangan ialah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak
tanpa bantuan dari seorang pejabat. Jadi semata-mata dibuat antara para pihak
yang berkepentingan.[6]
Akta dibawah tangan dirumuskan dalam Pasal 1874 KUH Perdata, yang mana
menurut pasal diatas, akata dibawah tangan ialah :
a)
Tulisan atau akta yang ditandatangani dibawah tangan,
b)
Tidak dibuat atau ditandatangani pihak yang berwenang.
c)
Secara khusus ada akta dibawah tangan yang bersifat partai yang dibuat oleh
paling sedikit dua pihak.
Akta pengakuan sepihak ialah akta yang bukan
termasuk dalam akta dibawah tangan yang bersifat partai, tetapi merupakan surat
pengakuan sepihak dari tergugat. Oleh karena bentuknya adalah akta pengakuan
sepihak maka penilaian dan penerapannya tunduk pada ketentuan Pasal 1878 KUH
Perdata. Dengan demikian harus memenuhi syarat :
- Seluruh isi akta harus ditulis dengan tulisan tangan si pembuat dan si penandatangan;
- Atau paling tidak, pengakuan tentang jumlah atau objek barang yang disebut didalamnya, ditulis tangan sendiri oleh pembuat dan penanda tangan.
Selanjutnya ada penambahan alat bukti tertulis yang sifatnya
melengkapi namun membutuhkan bukti otentik atau butuh alat bukti aslinya,
diantaranya adalah alat bukti salinan, alat bukti kutipan dan alat bukti
fotokopi. Namun kembali ditegaskan kesemuanya alat bukti pelengkap tersebut
membutuhkan penunjukan barang aslinya. Berikut kami pun memberikan contoh yang
diambil dalam sebuah buku Teori dan Praktik Peradilan Perdata di Indonesia oleh
Dr. Wahju Muljono, S.H., Kn.:
Contoh Penyusunan
Bukti tulis – sederhana
NO.
DAFTAR BUKTI-BUKTI TERTULIS PEMBANTAH DALAM
PERKARA PERDATA DI BAWAH NO……./PDT/BANT/……./PN.BDG
= = = = = = = = = = = = =
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
P –
1 :
Surat No. 230/PC-BD/BDG/VI/…..tanggal …………….. . dari Bank ………. . Cabang Bandung
kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional 1 Kotamadya Bandung, perihal: Roya
Hipotek; (oleh Pd BPN)
P –
2 :
Akta Jual Beli No. ……./ …/Coblong/ …….tanggal …………….. .
Notaris/PPAT………………………..
P –
3 :
Akta Jual Beli No. …../ …/Coblong/…….tanggal ………………………
P –
4 :
Sertifikat Hak Milik No. …../ Kel. Sekeloa, G.S. No. ……. Tanggal ……………..Seluas
….m2, setempat di kenal sebagai Blok Bangbayang Jl. ………………… Kotamadya Bandung,
Wilayah Cibeunying, Kecamatan Coblong, Kelurahan Sekeloa, atas nama ………………….. .
P –
5 :
Sertifikat Hak Milik No. ……./ Kel. Sekeloa, G.S. No. ……. Tanggal 27-6-1983
Seluas ….m2, setempat dikenal sebagai Blok Ciheulang Kotamadya Bandung, Wilayah
Cibeunying, Kecamatan Coblong, Kelurahan Sekeloa, atas nama………………….. .
Disampaikan dengan hormat
oleh
Kuasa Pembantah,
2. Alat Bukti Saksi
Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan
tentang peristiwa yang dipersengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan
dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang
dipanggil dalam persidangan. Jadi keterangan yang diberikan oleh seorang saksi
haruslah kejadian yang telah ia alami sendiri, sedangkan pendapat atau dugaan
yang diperoleh secara berfikir tidaklah termasuk dalam suatu kesaksian.
Penerapan pembuktian dengan saksi ditegaskan dalam Pasal 1895 KUH Perdata
yang berbunyi ”pembuktian dengan saksi-saksi diperkenankan dalam segala hal
yang tidak dikecualikan oleh undang-undang”. Jadi prinsipnya, alat bukti
saksi menjangkau semua bidang dan jenis sengketa perdata, kecuali apabila UU
sendiri menentukan sengketa hanya dapat dibuktikan dengan akta, barulah alat
bukti saksi tidak dapat diterapkan.
Alat bukti saksi yang diajukan pada pihak menurut Pasal 121 ayat (1) HIR
merupakan kewajiban para pihak pihak yang berperkara. Akan tetapi apabila pihak
yang berkepentingan tidak mampu menghadirkan secara sukarela, meskipun telah
berupaya dengan segala daya, sedang saksi yang bersangkutan sangat relevan,
menurut Pasal 139 ayat (1) HIR hakim dapat menghadirkannya sesuai dengan tugas
dan kewenangannya, yang apabila tidak dilaksanakan merupakan tindakan unproffesional
conduct.
Saksi yang tidak datang diatur dalam Pasal 139-142 HIR, di mana saksi yang
tidak datang, para pihak dapat meminta Pengadilan Negeri untuk menghadirkannya
meskipun secara paksa (Vide Pasal 141 ayat (2) HIR).
Syarat-syarat alat bukti saksi adalah sebagai berikut:
a)
Orang yang Cakap
Orang yang cakap adalah orang yang tidak dilarang menjadi saksi menurut
Pasal 145 HIR, Pasal 172 RBG dan Pasal 1909 KUH Perdata antara lain, pertama
keluarga sedarah dan semenda dari salah satu pihak menurut garis lurus, kedua
suami atau istri dari salah satu pihak meskipun sudah bercerai (Vide
Putusan MA No.140 K/Sip/1974. Akan tetapi mereka dalam perkara tertentu dapat
menjadi saksi dalam perkara sebagaimana diatur dalam Pasal 145 ayat (2) HIR dan
Pasal 1910 ayat (2) KUH Perdata. Ketiga anak-anak yang belum cukup
berumur 15 (lima belas) tahun (Vide Pasal 145 ke-3 HIR dan Pasal 1912 KUH
Perdata), keempat orang gila meskipun terkadang terang ingatannya (Vide
Pasal 1912 KUH Perdata), kelima orang yang selama proses perkara sidang
berlangsung dimasukkan dalam tahanan atas perintah hakim (Vide Pasal 1912 KUH
Perdata).
b)
Keterangan Disampaikan di Sidang Pengadilan
Alat bukti saksi disampaikan dan diberikan di depan sidang pengadilan,
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 144 HIR, Pasal 171 RBG dan Pasal 1905 KUH
Perdata. Menurut ketentuan tersebut keterangan yang sah sebagai alat bukti
adalah keterangan yang disampaikan di depan persidangan.
c)
Diperiksa Satu Persatu
Syarat ini diatur dalam Pasal 144 ayat (1) HIR dan Pasal 171 ayat (1) RBG.
Menurut ketentuan ini, terdapat beberapa prinsip yang harus dipenuhi agar
keterangan saksi yang diberikan sah sebagai alat bukti. Hal ini dilakukan
dengan cara, pertama menghadirkan saksi dalam persidangan satu per satu,
kedua memeriksa identitas saksi (Vide Pasal 144 ayat (2) HIR), ketiga
menanyakan hubungan saksi dengan para pihak yang berperkara.
d)
Mengucapkan Sumpah
Syarat formil yang dianggap sangat penting ialah mengucapkan sumpah di
depan persidangan, yang berisi pernyataan bahwa akan menerangkan apa yang
sebenarnya atau voir dire, yakni berkata benar. Pengucapan sumpah oleh
saksi dalam persidangan, diatur dalam Pasal 147 HIR, Pasal 175 RBG, dan Pasal
1911 KUH Perdata, yang merupakan kewajiban saksi untuk bersumpah/berjanji
menurut agamanya untuk menerangkan yang sebenarnya, dan diberikan sebelum
memberikan keterangan yang disebut dengan ”Sistim Promisoris”.
e)
Keterangan Saksi Tidak Sah Sebagai Alat Bukti
Menurut Pasal 169 HIR dan Pasal 1905 KUH Perdata, keterangan seorang saksi
saja tidak dapat dipercaya, sehingga minimal dua orang saksi (unus testis
nullus testis) harus dipenuhi atau ditambah alat bukti lain.
f)
Keterangan Berdasarkan Alasan dan Sumber Pengetahuan
Keterangan berdasarkan alasan dan sumber pengetahuan diatur dalam Pasal 171
ayat (1) HIR dan Pasal 1907 ayat (1) KUH Perdata. Menurut ketentuan ini
keterangan yang diberikan saksi harus memiliki landasan pengetahuan dan alasan
serta saksi juga harus melihat, mendengar dan mengalami sendiri.
g)
Saling Persesuaian
Saling persesuaian diatur dalam Pasal 170 HIR dan Pasal 1908 KUH Perdata.
Dalam ketentuan ini ditegaskan bahwa, keterangan saksi yang bernilai sebagai
alat bukti, hanya terbatas pada keterangan yang saling bersesuain atau mutual
confirmity antara yang satu dengan yang lain. Artinya antara keterangan
saksi yang satu dengan yang lain atau antara keterangan saksi dengan alat bukti
yang lain, terdapat kecocokan, sehingga mampu memberi dan membentuk suatu
kesimpulan yang utuh tentang persitiwa atau fakta yang disengketakan.
3. Bukti Persangkaan
Menurut Prof. Subekti, S.H., persangkaan adalah suatu kesimpulan yang
diambil dari suatu peristiwa yang sudah terang dan nyata. Hal ini sejalan
dengan pengertian yang termaktub dalam pasal 1915 KUH Perdata “Persangkaan
adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari satu
peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui
umum”. Persangkaan dapat dibagi menjadi dua macam sebagaimana berikut:
1). Persangkaan
Undang-undang (wattelijk vermoeden)
Persangkaan undang-undang adalah suatu peristiwa yang oleh undang-undang
disimpulkan terbuktinya peristiwa lain. Misalnya dalam hal pembayaran sewa maka
dengan adanya bukti pembayaran selama tiga kali berturut-turut membuktikan
bahwa angsuran sebelumnya telah dibayar.
2). Persangkaan Hakim (rechtelijk
vermoeden)
Yaitu suatu peristiwa yang oleh hakim disimpulkan membuktikan peristiwa
lain. Misalnya perkara perceraian yang diajukan dengan alasan perselisihan yang
terus menerus. Alasan ini dibantah tergugat dan penggugat tidak dapat membuktikannya.
Penggugat hanya mengajukan saksi yang menerangkan bahwa antara penggugat dan
tergugat telah berpisah tempat tinggal dan hidup sendiri-sendiri selama
bertahun-tahun. Dari keterangan saksi hakim menyimpulkan bahwa telah terjadi
perselisihan terus menerus karena tidak mungkin keduanya dalam keadaan rukun
hidup berpisah dan hidup sendiri-sendiri selama bertahun-tahun.
4. Bukti Pengakuan
Pengakuan (bekentenis, confession) adalah alat bukti yang berupa
pernyataan atau keterangan yang dikemukakan salah satu pihak kepada pihak lain
dalam proses pemeriksaan, yang dilakukan di muka hakim atau dalam sidang
pengadilan. Pengakuan tersebut berisi keterangan bahwa apa yang didalilkan
pihak lawan benar sebagian atau seluruhnya (Vide Pasal 1923 KUH Perdata dan Pasal
174 HIR).
Secara umum hal-hal yang dapat diakui oleh para pihak yang bersengketa
adalah segala hal yang berkenaan dengan pokok perkara yang disengketakan.
Tergugat dapat mengakui semua dalil gugatan yang dikemukakan penggugat atau
sebaliknya penggugat dapat mengakui segala hal dalil bantahan yang diajukan
tergugat. Pengakuan tersebut dapat berupa, pertama pengakuan yang
berkenaan dengan hak, kedua pengakuan mengenai fakta atau peristiwa
hukum.
Lalu yang berwenang memberi pengakuan menurut Pasal 1925 KUH Perdata
yang berwenang memberi pengakuan adalah sebagai berikut:
a)
dilakukan principal (pelaku) sendiri yakni penggugat atau tergugat (Vide Pasal
174 HIR);
b)
kuasa hukum penggugat atau tergugat.
Kemudian bentuk pengakuannya, berdasarkan pendekatan analog dengan
ketentuan Pasal 1972 KUH Perdata, bentuk pengakuan dapat berupa tertulis dan
lisan di depan persidangan dengan cara tegas (expressis verbis),
diam-diam dengan tidak mengajukan bantahan atau sangkalan dan mengajukan
bantahan tanpa alasan dan dasar hukum.
5. Bukti Sumpah
Sumpah sebagai alat bukti ialah suatu keterangan atau pernyataan yang
dikuatkan atas nama Tuhan, dengan tujuan agar orang yang memberi keterangan
tersebut takut akan murka Tuhan bilamana ia berbohong. Sumpah tersebut
diikrarkan dengan lisan diucapkan di muka hakim dalam persidangan dilaksanakan
di hadapan pihak lawan dikarenakan tidak adanya alat bukti lain.
Sedangkan Soedikno berpendapat bahwa “Sumpah pada umumnya adalah suatu
pernyataan yang hikmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji
atau keterangan dengan mengingat akan sifat maha kuasa dari pada Tuhan, dan
percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan
dihukum oleh-Nya”
Menurut UU ada dua macam bentuk sumpah, yaitu sumpah yang “menentukan” (decissoire
eed) dan “tambahan” (supletoir eed). Sumpah yang “menentukan” (decissoire
eed) adalah sumpah yang diperintahkan oleh salah satu pihak yang
berperkara kepada pihak lawan dengan maksud untuk mengakhiri perkara yang
sedang diperiksa oleh hakim. Jika pihak lawan mengangkat sumpah yang
perumusannya disusun sendiri oleh pihak yang memerintahkan pengangkatan sumpah
itu, ia akan dimenangkan, sebaliknya, jika ia tidak berani dan menolak
pengangkatan sumpah itu, ia akan dikalahkan. Pihak yang diperintahkan
mengangkat sumpah, mempunyai hak untuk “mengembalikan” perintah itu, artinya
meminta kepada pihak lawannya sendiri mengangkat sumpah itu. Tentu saja
perumusan sumpah yang dikembalikan itu sebaliknya dari perumusan semula.
Misalnya, jika rumusan yang semula berbunyi : “Saya bersumpah bahwa
sungguh-sungguh Saya telah menyerahkan barang” perumusan sumpah yang
dikembalikan akan berbunyi “Saya bersumpah bahwa sungguh-sungguh Saya tidak
menerima barang”. Jika sumpah dikembalikan, maka pihak yang semula
memerintahkan pengangkatan sumpah itu, akan dimenangkan oleh hakim apabila ia
mengangkat sumpah itu. Sebaliknya ia akan dikalahkan apabila dia menolak
pengangkatan sumpah itu.
Jika suatu pihak yang berperkara hendak
memerintahkan pengangkatan suatu sumpah yang menentukan, hakim harus
mempertimbangkan dahulu apakah ia dapat mengizinkan perintah mengangkat sumpah
itu. Untuk itu hakim memeriksa apakah hal yang disebutkan dalam perumusan
sumpah itu sungguh-sungguh mengenai suatu perbuatan yang telah dilakukan
sendiri oleh pihak yang mengangkat sumpah atau suatu peristiwa yang telah
dilihat sendiri oleh pihak itu. Selanjutnya harus dipertimbangkan apakah
sungguh-sungguh dengan terbuktinya hal yang disumpahkan itu nanti perselisihan
antara kedua pihak yang berperkara itu dapat diakhiri, sehingga dapat dikatakan
bahwa sumpah itu sungguh-sungguh “menentukan” jalannya perkara. Suatu “sumpah
tambahan”, adalah suatu sumpah yang diperintahkan oleh hakim pada salah satu
pihak yang beperkara apabila hakim itu barpendapat bahwa didalam suatu perkara
sudah terdapat suatu “permulaan pembuktian”, yang perlu ditambah dengan
penyumpahan, karena dipandang kurang memuaskan untuk menjatuhkan putusan atas
dasar bukti-bukti yang terdapat itu. Hakim, leluasa apakah ia akan
memerintahkan suatu sumpah tambahan atau tidak dan apakah suatu hal sudah
merupakan permulaan pembuktian.
Untuk lebih jelasnya kami membuatkan table
tentang perbedaan antar kedua macam sumpah ini;
Sumpah
|
|
Decissoir
|
Suppletoir
|
|
|
Dikenal juga dalam Hukum Acara Perdata sumpah aestimatoir
(penaksiran) yang diangkat oleh salah satu pihak atas perintah hakim untuk
mengucapkan sumpah dalam rangka menentukan jumlah kerugian yang diderita atau
mengenai suatu harga barang tertentu yang disengketakan.
[1] Prof. Subekti, S.H., Pokok-pokok
Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa), cet. 31, 2003, h.176
[2] Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo,
S.H., Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta)
Ed. 7, 2006, h. 134.
[3] M. Yahya Harahap, S.H., Hukum
Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika), cet. 10, 2010, h. 554.
[4] Bambang Sugeng A.S., S.H., M.H.,
dan Sujayadi, S.H., Hukum Acara Perdata dan Dokumen Litigasi Perkara Perdata
(Jakarta: Kencana), 2011, h. 66.
[5] M. Yahya Harahap, S.H., Hukum
Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika), h. 566.
[6]
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Hukum Acara Perdata Indonesia, h.
158
Tidak ada komentar:
Posting Komentar