BAB
I
PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang
Partisipasi
merupakan sistem yang berkembang dalam sistem politik modern. Penyediaan ruang
publik atau adanya partisipasi masyarakat merupakan tuntutan yang mutlak
sebagai upaya demokratisasi. Masyarakat sudah semakin sadar akan hak-hak
politiknya. Pembuatan peraturan perundang-undangan, tidak lagi semata-mata
menjadi wilayah dominasi birokrat dan parlemen. Meskipun partisipasi masyarakat
ini terlalu ideal dan bukan jaminan bahwa suatu undang-undang yang
dihasilkannya akan dapat berlaku efektif di masyarakat, tetapi setidak-tidaknya
langkah partisipatif yang ditempuh oleh lembaga legislatif dalam setiap
pembentukan undang-undang, diharapkan dapat lebih mendorong masyarakat dalam
menerima hadirnya suatu undang-undang. Keberadaan partisipasi masyarakat dalam
proses pembentukan UU sangat penting dalam mencegah terjadinya penyalahgunaan
kekuasaan melalui perangkat UU.
Demikian juga
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai pemegang legislasi, dituntut untuk
membuka pintu yang seluas-luasnya dalam persoalan partisipasi, apabila
disepakati bahwa reformasi politik di Indonesia merupakan tahapan untuk menuju
demokratisasi. Karena anggota DPR merupakan perwujudan representasi politik
rakyat yang harus peka kepada aspirasi publik yang telah memilihnya.
2. Rumusan
Masalah
a.
Peran apa yang dapat dilakukan masyarakat dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan?
b.
Hak-hak apa yang menjadi dasar masayarakat dalam proses
pembentukan peraturan perundang-undangan?
c.
Apa dasar hukum yang dapat dipegang oleh masyarakat dalam
proses pembentukan peraturan perundang-undangan?
d.
Bagaimana mekanisme yang dapat ditempuh oleh masyarakat
dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan?
3. Tujuan
Penulisan Makalah
a.
Untuk memenuhi persyaratan penilaian dalam mata kuliah
Ilmu Perundang-undangan;
b.
Memberi atau setidaknya menambah sedikit khasanah
pemikiran teman-teman baik diruang akademik maupun ruang publik terkait materi
yang kami bawakan.
BAB
II
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
1.
Definisi Partisipasi
Partisipasi
masyarakat dalam konteks penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sebenarnya
adalah untuk memberdayakan masyarakat, yaitu yang pertama masyarakat mendapat
kesempatan luas dan akses untuk menyampaikan dan memperjuangkan aspirasi yang
menjadi haknya dan mengetahui dan memahami kewajiban dan tanggung jawabnya
sebagai warga negara atau warga masyarakat. Kedua, selaku pemangku kepentingan
mendapat kesempatan untuk meningkatkan kemampuannya di dalam melakukan fungsi
pengawasan publik. Fungsi pengawasan publik dapat dilakukan melalui berbagai
kegiatan, salah satu diantaranya adalah kegiatan advokasi terhadap kebijakan
publik. Advokasi dilakukan agar lembaga atau pejabat pengambil kebijakan tidak
bertindak sewenang-wenang dalam mengunakan kekuasaan dan kewenangannya,
terutama yang berkaitan dengan kepentingan kepastian dan perlindungan hukum
serta kesejahteraan masyarakat.
Dalam hubungan
dengan advokasi, selain melakukan pengawasan dan memberikan kritik juga
memberikan masukan-masukan kepada lembaga atau pejabat yang berwenang mengenai
apa yang dibutuhkan masyarakat untuk diatur. Apa yang menjadi kewajiban dan
tanggung jawab pemerintah dan wakil rakyat dalam memberikan pelayanan dan
pengayoman terhadap masyarakat dan apa yang harus dilakukan oleh masyarakat
untuk memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya. Dalam hal ini, menjadi
keharusan bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah, terutama aparat birokrasi
memberikan ruang yang cukup bagi pemberdayaan masyarakat guna mengembangkan dan
meningkatkan peran aktifnya di dalam mendukung pesiapan, perencanaan dan
pelaksanaan kegiatan penyusunan dan pembentukan Peraturan Perundang-undangan
dan untuk keberhasilan dilaksanakannya suatu Peraturan
Perundang-undangan.
Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan yang subyek dan obyeknya terkait dengan
masyarakat, pada dasarnya dapat terjadi karena, Pertama: kebutuhan masyarakat
itu sendiri untuk diatur, yaitu berkaitan dengan aspirasi dan kebutuhan
masyarakat untuk mengatur norma atau nilai-nilai yang telah ada di masyarakat
menjadi norma hukum yang mengikat. Dalam hal ini Pemerintah bertindak sebagai
fasilitator, masyarakat diberi kesempatan untuk merumuskan sendiri apa yang
dituju, diperlukan dan arah pengaturan, serta muatan materi pengaturannya.
Selanjutnya, pemerintah dalam kapasitas sebagai regulator, mengakomodir
aspirasi masyarakat dan memadukan dengan kebijakan hukum dan Peraturan
Perundang-undangan nasional dan/atau daerah. Kedua: menjabarkan Visi, Misi dan
Arah kebijakan hukum untuk tujuan pembaharuan dan tuntutan perubahan kehidupan
di masyarakat, dengan mengatur hal-hal baru yang dapat membentuk nilai-nilai
baru dalam masyarakat, dan bertentangan dengan nilai-nilai yang sudah ada di
masyarakat yang berdampak pada perubahan nilai-nilai dan norma masyarakat.
Dewasa ini
pembentukan Peraturan Perundang-undangan lebih banyak diadakan pada pilihan
kedua tersebut diatas, dan karena tidak sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan
masyarakat, banyak Peraturan Perundang-undangan yang tidak dapat dilaksanakan
atau mendapat reaksi keras dari sebagian masyarakat. Untuk itu, diperlukan
pemahaman terhadap keberagaman nilai dan norma yang hidup dan berlaku di
masyarakat, dengan memberdayakan masyarakat untuk berperan aktif di dalam
proses perancangan, perencanaan, penyusunan, pembahasan suatu rancangan
Peraturan Perundang-undangan. Selain dari apa yang sudah diatur dalam Peraturan
Perundang-undangan diatas (bersifat formalitis), partisipasi masyarakat dalam
konteks menyerap aspirasi dan masukan dari masyarakat, dapat dilakukan melalui
berbagai cara dan kegiatan. Akan lebih tepat dan memadai, apabila pengambil
keputusan pembentukan Undang-Undang atau Perda bertindak proaktif dalam
melakukan penjaringan asmara atau penyerapan aspirasi masyarakat. Sejak dini atau
sejak perancangan dan persiapan rencana penyusunan Rancangan Undang-Undang atau
Raperda, dirancang kegiatan untuk melakukan desiminasi, sosialisasi atau dialog
langsung dengan masyarakat, mengenai hal-hal yang direncanakan dan/atau hal-hal
yang dibutuhkan oleh masyarakat.
2.
Dasar Hukum
Partisipasi
Pada tanggal 12
Agustus 2011 Pemerintah secara resmi mengundangkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dengan berlakunya
Undang-Undang ini, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi.
Sebagian besar
substansi dari Undang-undang ini berbeda dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
poin-poin perubahan tersebut antara lain sebagai berikut:[1]
I.
penambahan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai salah satu jenis Peraturan
Perundang-undangan dan hierarkinyaditempatkan setelah Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
II.
perluasan
cakupan perencanaan Peraturan Perundang-undangan yang tidak hanya untuk
Prolegnas dan Prolegda melainkan juga perencanaan Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden, dan Peraturan Perundang-undangan lainnya;
III.
pengaturan
mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
IV.
pengaturan
Naskah Akademik sebagai suatu persyaratan dalam penyusunan Rancangan
Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota;
V.
pengaturan
mengenai keikutsertaan Perancang Peraturan Perundangundangan, peneliti, dan
tenaga ahli dalam tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; dan
VI.
penambahan
teknik penyusunan Naskah Akademik dalam Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011.
Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan diatur
oleh UU RI No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Peraturan
Perundang-Undangan yaitu Pasal 96 ayat 1 dan 2 yang menjelaskan:
BAB XI
PARTISIPASI
MASYARAKAT
Pasal 96
(1) Masyarakat
berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
(2) Masukan
secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan melalui:
a. rapat
dengar pendapat umum;
b. kunjungan
kerja;
c. sosialisasi;
dan/atau
d. seminar,
lokakarya, dan/atau diskusi.
(3) Masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang perseorangan atau kelompok
orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan
Perundang-undangan.
(4) Untuk
memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan Peraturan
Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
Maka dapat
dikatakan bahwa dasar hukum yang mengatur peran masyarakat dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan hanya dalam satu buah pasal, yaitu Pasal 96. Dan
menurut kami hal tersebut masih jauh dari apa yang dicita-citakan masyarakat
dimana masyarakat juga dan perlu untuk ikut berpastisipasi secara aktif dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan.
3.
Bentuk-bentuk Partisipasi
Partisipasi
masyarakat dalam proses pembentukan undang-undang pada dasarnya dapat dilakukan
dalam berbagai model pilihan partisipasi sesuai dengan tingkat perkembangan
politik suatu negara. Partisipasi masyarakat ini akan tergantung dari kesadaran
masyarakat dalam tatanan kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara,
berikut adalah model-model partisipasi masyarakat dalam pembentukan UU:[2]
a.
Pure Representative Democracy
Dalam model
partisipasi publik yang pertama ini, sifat partisipasi masyarakatnya masih pure
atau murni. Artinya, rakyat selaku warga negara dalam suatu negara
demokrasi keterlibatannya dalam pengambilan keputusan publik dilakukan
oleh wakil-wakil yang dipilih melalui pemilihan umum untuk duduk dalam lembaga
perwakilan. Dalam hal ini, masyarakat hanya tinggal menerima saja apa yang akan
diproduk oleh legislator dalam pembentukan UU.
b.
A Basic Model of Public Participation
Dalam model yang kedua ini
digambarkan bahwa rakyat telah melakukan interaksi keterlibatannya dalam proses
pengambilan keputusan, tidak hanya melalui pemilihan umum tetapi dalam waktu
yang sama juga melakukan kontak dengan lembaga perwakilan. Meskipun
demikian model partisipasi ini belum dapat dikatakan sebagai bentuk dan hakikat
interaksi yang sebenarnya.
c.
A Realism Model of Public Participation
Dalam model pilihan yang ketiga ini,
public participation pelaku-pelakunya cenderung dilakukan dan didominasi oleh
adanya kelompok-kelompok kepentingan dan organisasi-organisasi lainnya yang
diorganisir. Publik, selain ikut dalam pemilihan umum juga melakukan
interaksi dengan lembaga perwakilan. Akan tetapi tidak semua warga negara
melakukan public participation dalam bentuk membangun kontak interaksi dengan
lembaga perwakilan. Pelaku-pelaku public participation telah mengarah pada
kelompok-kelompok kepentingan dan organisasi-organisasi lainnya yang
diorganisir. Dengan demikian terdapat kecenderungan untuk memahami “public”
dalam konteks yang terbatas.
d.
The Possible Ideal for South Africa
Model alternatif yang diperkenalkan
sebagai bentuk keempat dari berbagai partisipasi masyarkat ini, merupakan
perluasan dalam memasukkan tiga kelompok partisipan, yaitu : those who are
organized and strong; those who are organized but weak; and those who are weak
and unorganized. Dengan menerapkan model ini, pemerintah dapat
mengembangkan visi strategis yang dapat ditujukan kepada ketiga kelompok
tersebut secara bersama-sama. Dalam model ini, pada gilirannya memunculkan dua
tambahan dimensi yaitu: a) dimensi peranan partai-partai politik dan partai
mayoritas; b) dimensi hubungan perwakilan dengan eksekutif.
Dalam sumber yang lain juga dinyatakan
beberapa bentuk-bentuk partisipasi yang lain yang dapat di tempuh oleh
masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Proses pembentukan UU pada dasarnya
dapat dibagi dalam tiga tahap yaitu: tahap ante legislgtive, tahap legislative
dan tahap post legislative. Dalam tiga tahap tersebut, pada dasarnya
nnasyarakat dapat berpartisipasi memberikan masukannya sesuai dengan keinginannya.
Masyarakat dapat berpartisipasi pada seluruh tahapan proses pembentukan UU
maupun memilih salah satu tahapan saja. Akan tetapi, bentuk partisipasi
masyarakat ini berbeda – meskipun ada pula yang sama – antara satu tahapan
dengan tahapan yang lain. Artinya, bentuk partisipasi masyarakat pada tahap
sebelum legislatif tentu berbeda dengan bentuk partisipasi masyarakat pada
tahap Iegislatif maupun tahap setelah legislative. Jadi, bentuk partisipasi
masyarakat dalam proses pembentukan UU disesuaikan dengan tahap-tahap yang
tengah dilakukannya.
a.
Partisipasi
masyarakat pada tahap ante legislative
Pada tahap ante legislative terdapat
empat bentuk partisipasi masyarakat yang dapat dilakukan dalam proses
penrbentukan UU, yaitu: i. penelitian ii. diskusi, lokakarya dan seminar, iii.
pengajuan usul inisiatif; dan iv. perancangan. Secara ringkas berbagai bentuk
partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan UU pada tahap ante legislatif
ini adalah:
- Partisipasi masyarakat dalam bentuk penelitian
Partisipasi masyarakat dalam bentuk penelitian ini dapat
dilakukan masyarakat ketika melihat adanya suatu persoalan dalam tatanan hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang perlu diteliti dan dikaji secara
mendalam dan memerlukan penyelesaian pengaturan dalam suatu UU. Penetitian ini
dapat dilakukan secara mandiri maupun kerjasama dengan suatu instansi
pemerintahan yang menangani bidang tersebut. Hasil dari penelitian dituangkan
dalam format laporan penelitian sehingga dapat dipakai sebagai dasar dalam
proses lebih lanjut pembentukan UU.
- Partisipasi masyarakat dalam bentuk diskusi, Iokakarya dan seminar
Partisipasi masyarakat dalam bentuk diskusi, lokakarya
dan seminar pada tahap ante legislatif ini dapat dilakukan sebagai tindak
lanjut dari hasil penelitian terhadap suatu obyek yang akan diatur dalam UU. Diskusi,
lokakarya dan seminar ini akan memberikan sumbangan yang penting dalam
pengkajian terhadap persoalan materi muatan suatu RUU karena dilakukan oleh
para akademisi, pengamat, dan pakar di bidangnya masing-masing. Oleh karena itu
wacana yang dihasilkan dari suatu diskusi, lokakarya dan seminar akan lebih
utuh dan komprehensif dalam melihat suatu persoalan yang akan dimuat dalam RUU.
Jadi, diskusi, lokakarya dan seminar akan memperkaya wawasan terhadap materi yang
akan dituangkan dalam RUU sehingga akan sangat membantu dalam proses penuangan
dalam naskah akademik maupun RUUnya.
- Partisipasi masyarakat dalam bentuk pengajuan usul inisiatif
Pengajuan usul inisiatif untuk dibuatnya suatu UU dapat
dilakukan masyarakat dengan atau tanpa melalui penelitian, diskusi, lokakarya
dan seminar terlebih dahulu. Akan
tetapi, usul inisiatif ini tentu akan lebih kuat jika didahului dengan
penelitian, diskusi, lokakarya dan seminar terhadap suatu masalah yang akan
diatur dalam suatu UU. Pengajuan usul inisiatif dari masyarakat dapat diajukan
melalui tiga jalur pilihan yaitu: Presiden DPR dan DPD (untuk RUU tertentu).
Agar usul inisiatif ini dipertimbangkan dan lebih mudah diterima maka usul
inisiatif masyarakat untuk dibuatnya suatu UU harus disesuaikan dengan program
legislatif nasional yang telah ditentukan oleh Badan Legislasi di DPR.
- Partisipasi masyarakat dalam bentuk perancangan terhadap suatu RUU
Partisipasi masyarakat dalam bentuk perancangan terhadap
suatu UU dapat dilakukan masyarakat sebagai wujud partisipasi masyarakat yang
terakhir dalam tahap ante legislatif. Artinya, setelah melakukan penelitian,
pengusulan usul inisiatif maka pada gilirannya masyarakat dapat menuangkan
hasil penelitian dalam RUU. Di dalam RUU sebaiknya didahului dengan uraian
Naskah Akademik dibuatnya suatu RUU.
Selanjutnya dari berbagai pokok pikiran
dalam Naskah Akademik kemudian dituangkan dalam RUU menurut format yang standar
sebagaimana diatur dalam UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
b.
Partisipasi
masyarakat pada tahap legislative.
Pada tahap legislatif terdapat enam
bentuk partisipasi masyarakat yang dapat dilakukan masyarakat dalam proses
pembentukan UU. Bentuk partisipasi masyarakat pada tahap legislatif ini merupakan
jumlah terbanyak bila dibandingkan dengan dua tahap lainnya. Hal ini dapat
dijelaskan bahwa ketika pembahasan RUU memasuki tahap legislatif di DPR, maka
biasanya banyak masyarakat yang terusik kepentingannya. Oleh karena itu, tidak
mengherankan jika pada tahap legislatif ini banyak bentuk partisipasi
masyarakat yang dilakukan dalam proses pembentukan UU.
Adapun keenam bentuk partisipasi
masyarakat tersebut adalah:
- Partisipasi masyarakat dalam bentuk audensi/RDPU di DPR
Partisipasi masyarakat dalam bentuk audensi/RDPU di DPR
ini dapat dilakukan masyarakat baik atas permintaan langsung dari DPR (RDPU)
maupun atas keinginan masyarakat sendiri (audensi). Apabila partisipasi
masyarakat ini atas dasar permintaan dari DPR, maka partisipasi masyarakat disampaikan
kepada yang meminta dilakukannya rapat dengar pendapat umum (RDPU). Akan tetapi
untuk partisipasi masyarakat dalam bentuk audensi atas keinginan langsung dari
masyarakat, maka masyarakat dapat memilih alat kelengkapan DPR yang diharapkan
dapat menyalurkan aspirasi masyarakat, misalnya Panitia Verja, Komisi, Panitia
Khusus, Fraksi dsb. Audensi/RDPU ini dapat dilakukan oleh masyarakat baik
secara lisan, tertulis maupun gabungan antara lisan dan tertulis.
- Partisipasi masyarakat dalam bentuk RUU alternatif
Partisipasi masyarakatdalam bentuk penyampaian RUU
altematif ini dapat dilakukan oleh masyarakat dengan membuat RUU alternatif
ketika RUU yang tengah dibahas di lembaga legislatif belum atau bahkan tidak
aspiratif terhadap kepentingan masyarakat luas. Penyusunan RUU alternatif
dilakukan dengan mengikuti format sebagaimana diatur dalam UU No.10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Penyampaian RUU alternatif
ini harus dilakukan pada tahap awal pembahasan RUU di lembaga legislatif, yaitu,
bersamaan dengan dilakukannya pengajuan RUU kepada DPR baik yang dilakukan oleh
Pemerintah maupun DPR sendiri. Sebab, jika penyampaian RUU alternatif baru
diajukan pada pertengahan atau bahkan diakhir pembahasan suatu RUU, maka
sasaran disampaikannya RUU alternatif tidak akan effektif dalam mempengaruhi
pembahasan suatu RUU.
- Partisipasi masyarakat dalam bentuk masukan melalui media cetak
Partisipasi masyarakat dalam bentuk masukan melalui media
cetak ini dapat dilakukan oleh masyarakat dengan membuat opini terhadap suatu
masalah yang tengah dibahas dalam lembaga legislatif. Opini masyarakat ini
dapat berupa artikel, jumpa pers, wawancara, pernyataan-pernyataan, maupun
berupa tajuk-tajuk berita dari surat kabar dan majalah. Partisipasi
masyarakatmelalui media cetak ini banyak dilakukan masyarakat, karena caranya
yang relatif praktis bila dibandingkan dengan bentuk partisipasi masyarakat
lainnya. Artinya pelaku partisipasi masyarakat tidak akan kehilangan banyak
waktu untuk melakukannya. Akan tetapi, bentuk partisipasi masyarakat melalui
media cetak ini, mempunyai sisi kelemahan yaitu opini yang disampaikan belum
tentu sampai ke tangan yang berwenang membahas suatu RUU. Oleh karena itu
selain disampaikan kepada media cetak sebaiknya materi dikirim juga ke DPR baik
melalui pos maupun email sehingga langsung diterima oleh alat kelengkapan DPR
yang tengah membahas suatu RUU.
- Partisipasi masyarakat dalam bentuk masukan melalui media elektronik
Partisipasi masyarakat dalam bentuk masukan melalui media
elektronik ini dapat dilakukan oleh masyarakat dengan membuat dialog dengan
menghadirkan narasumber yang kompeten terhadap suatu masalah yang tengah
dibahas dalam lembaga legislatif. Dialog melalui media elektronik ini mempunyai
jangkauan yang cepat luas dan dapat mendorong masyarakat untuk ikut
berpartisipasi dalam membahas persoalan yang menyangkut masyarakat luas. Oleh
karena itu, partisipasi masyarakat dalam bentuk media elektronik ini perlu
digalakkan dalam proses pembentukan UU sehingga akan menyadarkan masyarakat
tentang hak dan kewajibannya yang akan diatur dalam UU.
- Partisipasi masyarakat dalam bentuk unjuk rasa
Partisipasi masyarakat dalam bentuk unjuk rasa ini dapat
dilakukan masyarakat dalam rangka mendukung, menolak maupun menekan materi yang
tengah dibahas dalam proses pembentukan UU. Unjuk rasa ini dapat dilakukan baik
secara individual maupun kelompok masyarakat dengan jumlah yang besar. Akan
tetapi, pengaruh dari unjuk rasa ini akan lebih berhasil dalam mempengaruhi
lembaga legislatif jika dilakukan oleh masyarakat yang langsung berkepentingan,
dengan jumlah yang besar dan dilakukan secara berkelanjutan. Unjuk rasa ini
merupakan ungkapan kebebasan individu warga negara atas kepentingannya yang
akan diatur dalam suatu UU. Jadi, unjuk rasa ini tidak dapat hanya dianggap
sebagai angin lalu dalam proses pembentukan UU.
- Partisipasi masyarakat dalam bentuk diskusi, lokakarya dan seminar
Partisipasi masyarakat dalam bentuk diskusi, lokakarya
dan seminar ini dapat dilakukan masyarakat dalam rangka memperoleh kejelasan
persoalan terhadap materi yang tengah dibahas dalam lembaga legislatif. Karena
diskusi, lokakarya dan seminar ini dilakukan ketika proses pembentukan UU
tengah memasuki pembahasan dalam tahap legislatif, maka narasumber yang
dihadirkan tidak hanya dari kalangan para ahli, akademisi, pakar maupun
pengamat, tetapi sebaiknya mendatangkan juga politisi yang berkecimpung
langsung dalam pembahasan suatu RUU. Dengan demikian, diskusi, lokakarya dan
seminar, akan mendapatkan gambaran yang utuh terhadap persoalan yang tengah
dibahas dalam lembaga legislatif.
c.
Partisipasi
marsyarakat pada tahap post legislative
Apabila dilihat secara selintas, tahap
post legislatif ini tidak dapat dimasukkan dalam proses pembentukan UU. Akan tetapi, justru pada tahap post
legislatif inilah produk suatu UU mempunyai makna dalam kehidupan riil
masyarakat. Artinya, dalam suatu negara yang menganut sistem
demokrasi, maka suatu produk UU harus berpihak pada kepentingan rakyat. Oleh
karena itu, partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan UU pada tahap post
legislative dapat dilakukan dalam berbagai bentuk:
- Unjuk rasa terhadap UU baru
Adanya UU baru dapat disikapi beraneka ragam oleh
masyarakat, karena sangat mungkin dengan UU yang baru itu bukan menyelesaikan
masalah, tetapi justru menimbulkan masalah sosial baru dalam masyarakat. Sikap
itu dapat berupa dukungan atau penolakan terhadap lahirnya UU baru yang
diwujudkan dengan unjuk rasa. Akan tetapi, sayangnya, unjuk rasa terhadap UU
baru itu lebih ditujukan untuk menolak UU dari pada mendukung munculnya UU
baru. Padahal sebenarnya, unjuk rasa juga dapat dilakukan terhadap adanya UU
baru yang sesuai dengan keinginan masyarakat. Oleh karena itu, unjuk rasa ini
merupakan suatu bentuk partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan UU –khususnya
unjuk rasa yang menolak – karena akan mendorong penyempurnaan atau penggantian
dengan UU yang lebih baik.
- Tuntutan pengujian terhadap UU
Suatu UU yang telah diproduk oleh lembaga legislatif dan
telah disahkan oleh Presiden serta dimuat dalam lembaran negara mempunyai
kekuatan mengikat dan sah berlaku di masyarakat. Meskipun demikian, dalam suatu
negara demokrasi – termasuk di Indonesia – rakyat mempunyai keleluasaan untuk
menanggapinya. Bagi masyarakat yang belum atau tidak puas dengan lahirnya UU dapat
melakukan permohonan uji materiil terhadap UU tersebut. Sebab, konsepsi Negara
Demokrasi tidak dapat dilepaskan dari prinsip Negara Hukum dengan konstitusi
sebagai hukum dasar yang tertinggi dalam Negara. Oleh karena itu, adanya uji
materiil terhadap Undang-Undang adalah dimaksudkan dalam rangka menjaga
tegaknya konstitusi dari penyalahgunaan kekuasaan dari organ pembuat UU. Sebab,
UU dibuat oleh lembaga legislatif yang merupakan lembaga politik dan oleh
karena itu tak dapat dielakkan dapat sarat dengan kepentingan politik di
dalamnya. Jadi, tuntutan uji material terhadap UU adalah hak masyarakatyang
harus tetap dijamin dalam mewujudkan adanya partisipasi masyarakat dalam proses
pembentukan UU.
- Sosialisasi UU
Dalam rangka menyebarkan produk UU yang baru dikeluarkan
oleh lembaga legislatif, maka masyarakat dapat berpartisipasi melakukan
berbagai kegiatan berkaitan dengan lahirnya UU baru. Bentuk-bentuk kegiatan ini
dapat berupa penyuluhan, seminar, lokakarya, diskusi dsb. Dengan cara
demikian, maka keberadaan suatu UU tidak hanya diketahui oleh kalangan elit
yang berkecimpung langsung dalam proses pembentukan UU, tetapi akan cepat
dikenal luas oleh masyarakat. Jadi, sosialisasi UU kepada masyarakat luas
merupakan juga sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan
UU.
BAB III
PENUTUP
Partisipasi
publik adalah suatu keniscayaan bagi suatu negara-negara demokrasi dalam rangka
membangun hubungan yang harmonis antara negara dengan masyarakat sipil.
Tidak mengherankan jika pada negara-negara yang telah maju maupun
negara-negara berkembang memberikan tempat bagi adanya partisipasi publik dalam
pembentukan UU meskipun melalui proses yang berbeda. Ada negara demokrasi
di mana partisipasi publik lahir sebagai suatu proses evolusi dari kematangan
politik suatu bangsa, namun ada pula negara demokrasi yang sejak awal
berdirinya negara secara sadar menempatkan partisipasi publik sebagai bagian
dari matieri muatan konstitusinya Berikut contoh beberapa Negara di dunia yang
menerapkan partisipasi publik:
Jerman
misalnya, sebagai negara yang telah banyak berpengalaman dalam menerapkan
sistem demokrasi telah menemukan suatu proses yang mapan dalam memberikan ruang
gerak bagi partisipasi publik. Artinya, dalam suatu proses politik yang telah
bertahun-tahun dibangun di Jerman, partisipasi publik merupakan suatu
kekuatan tersendiri dalam proses pengambilan keputusan dalam pembentukan UU.
Namun, fokus utama dari kekuatan partisipasi publik di Jerman bukan pada
masyarakat secara keseluruhan, melainkan terutama dilakukan oleh experts.
Demikian juga
dengan negara Kanada, Partisipasi publik dalam keputusan-keputusan pemerintahan
telah menjadi suatu ketentuan yang istimewa dalam kehidupan politik di
Kanada. Adanya partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan publik ini telah
muncul sejak dekade tahun 60 dan 70 an. Meskipun konstitusi Kanada maupun
aturan hukum pada umumnya tidak memberikan tempat bagi partisipasi publik dalam
proses pengambilan keputusan publik. Akan tetapi, partisipasi publik mempunyai
peran yang signifikan dalam pembuatan kebijakan dan pembentukan hukum.
Dengan demikian, materi muatan dan
konsepsi Rancangan Undang-Undang atau Raperda yang akan disusun seharusnya
tidak hanya didasarkan pada hasil: pemikiran, pendapat dan penalaran atas
konsep, teori, pengalaman, dan legal formal, serta prinsip pokok benar sendiri
dan untuk kepentingan kekuasaan, politik atau kepentingan kelompok tertentu.
Inilah sebenarnya, kenapa proses partisipasi masyarakat tidak berjalan
sebagaimana diharapkan, dan masyarakat kecewa karena merasa tidak didengar
aspirasinya. Kondisi demikian, menjadikan masyarakat bersikap apatis, dan
mengaktualisasikan ketidak puasannya dengan penolakan, demonstrasi, bahkan
tindakan anarkhis dan melawan hukum. Yang perlu dipahami bersama, bahwa
keberadaan suatu Peraturan Perundang-undangan adalah untuk kepentingan bersama,
dan harus dirumuskan dan dibuat berdasarkan kesepakatan bersama, melalui proses
pemberdayaan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
http://dodiksetiawan.wordpress.com/2011/11/21/uu-12-tahun-2011-tentang-pembentukan-peraturan-perundang-undangan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar