A. Prosedur Mediasi di Pengadilan
Kenyataan
praktik yang dihadapi, jarang dijumpai putusan perdamaian. Produk
yang dihasilkan peradilan dalam penyelesaian perkara yang diajukan hamper
seluruhnya berupa putusan konvensional yang bercorak menang atau kalah (winning
or losing). Jarang ditemukan penyelesaian berdasarkan konsep sama-sama
menang (win-win solution). Berdasarkan fakta ini, kesungguhan, kemampuan, dan dedikasi hakim untuk mendamaikan boleh
dikatakan sangat mandul. Akibatnya keberadaan Pasal 130 HIR, Pasal 154 RBG
dalam hukum acara tidak lebih dari hisasan belaka.
Pada umumnya sikap dan perilaku hakim menerapkan Pasal
130 HIR, hanya bersifat formalitas. Sehingga sulit untuk memperoleh keadilan
yang hakiki oleh para pihak yang bersengketa melalui pengandilan. Memperhatikan
keadaan yang dijelaskan, MA terpanggil untuk lebih memberdayakan para hakim
menyelesaikan perkara dengan perdamaian yang digariskan Pasal 130 HIR, melalui
mekanisme integrasi mediasi dalam sistem peradilan.
1. Landasan Formil Prosedur Mediasi
Landasan formil mengenai integrasi mediasi dalam system
peradilan pada dasarnya tetap bertitik tolak dari ketentuan Pasal 130 HIR,
Pasal 145 RBG. Namun, untuk lebih memberdayakan dan mengefektifkannya, MA
memodifikasinya ke arah yang lebih bersifat memaksa (compulsory).
a.
SEMA No. 1 Tahun 2002
Pengaturan mengenai mediasi pada mulanya diatur oleh SEMA
No. 1 Tahun 2002 yang diterbitkan pada 30 Januari 2002 yang berjudul Pemberdayaan
Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (Eks Pasal 130 HIR).
Motivasi yang mendorong dibuatnya SEMA ini adalah untuk membatasi perkara
kasasi secara substantif dan prosesual sehingga akan berakibat pada turunnya
jumlah perkara pada tingkat kasasi.
MA menyadari SEMA tersebut sama sekali tidak berjalan dan
hanya memberi sedikit peran kecil kepada hakim untuk mendamaikan pada satu
segi, serta tidak memiliki kewenangan penuh memaksa para pihak melakukan
penyelesaian melalui perdamaian terlebih dahulu.
b.
PERMA No. 2 Tahun 2003
SEMA 1 Tahun 2002 hanya bertahan 1 Tahun 9 bulan (30
Januari 2002 – 11 September 2003). Pada tanggal 11 September 2003 MA
mengeluarkan PERMA No. 2 Tahun 2003 sebagai penggati SEMA No. 1 tahun 2002.
Pasal 17 PERMA No. 2 Tahun 2003 menegaskan : ”Dengan berlakunya Peraturan
Mahkamah Agung (PERMA) ini, Surat Edaram Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2002
tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (Eks
Pasal 130 HIR/145 RBG) dinyatakan tidak berlaku.”
PERMA No. 2 Tahun 2003 berjudul Prosedur Mediasi di
Pengadilan, dengan substansi yang terdiri dari 6 Bab dan 18 Pasal:
i.
Bab I :
Ketentuan Umum
ii.
Bab II :
Tahap Pra-Mediasi
iii.
Bab III :
Tahap Mediasi
iv.
Bab IV :
Tempat dan Biaya
v.
Bab V :
Lain-lain
vi.
Bab VI :
Penutup
c.
Alasan Penerbitan PERMA
Dalam konsideran dikemukakan beberapa alasan yang melatarbelakangi
penerbitan PERMA No. 2 Tahun 2003, diantaranya :
- Mengatasi Penumpukan Perkara;
- SEMA No. 1 Tahun 2002, belum lengkap;
- Pasal 130 HIR/154 RBG, dianggap tidak memadai.
2.
Lingkup Integrasi Mediasi dalam Sistem Peradilan
a.
Yang Dapat Berindak sebagai Mediator
Proses integrasi mediasi dalam sistem peradilan, dibantu
oleh mediator. Sehubungan dengan itu, siapa yang dapat bertindak sebagai
mediator, diatur dalam Pasal 1 butir 2, 5, dan 10 serta Pasal 5 ayat (1) PERMA:
1)
Klasifikasi Mediator
a)
Mediator dalam lingkungan peradilan
Menurut Pasal 1 butir 2, di lingkungan atau pada sebuah
pengadilan terdapat mediator; yang disebut mediator di lingkungan sebuah
pengadilan. Oleh karena itu, pada setiap pengadilan diharuskan ada:
i.
Daftar mediator
Merupakan
dokumen yang memuat nama-nama mediator yang dituangkan dalam penetapan ketua
ketua pengadilan. Dengan demikian, daftar mediator berisi panel anggota
mediator yang dapat dipilih atau ditunjuk bertindak sebagai mediator dalam
penyelesian sengketa.
Menurut Pasal
6 ayat (1), yang dapat dicantumkan sebagai mediator dalam daftar mediator
pengadilan:
a.
Berasal dari kalangan hakim;
b.
Boleh juga bukan dari kalangan hakim;
c.
Syaratnya telah memiliki sertifikat sebagai mediator
b.
Mediator di luar ingkungan pengadilan
Selain mediator yang tercantum dalam daftar mediator yang
terdapat di lingkungan pengadilan berdasar Pasal 1 butir 2, Pasal 5 ayat (1),
PERMA mengaku juga eksistensi:
i.
Mediator di luar lingkungan pengadilan;
ii.
Mereka tidak terdaftar sebagai panel dalam daftar
mediator yang ditetapkan ketua pengadilan.
Menurut Pasal 5 ayat (1) para pihak dapat dan bebas
menyepakati mediator yang berada di luar daftar mediator, oleh karena itu tidak
mutlak harus menyepakati mediator yang tercantum namanya dalam daftar mediator.
Syarat atau kualifikasi yang dianggap kompeten bertindak
melaksanakan fungsi sebagai mediator, diatur dalam Pasal 1 butir 10 dan Pasal 1
butir 5 PERMA:
i.
Telah mengikuti pelatihan atau pendidikan mediasi;
ii.
Memiliki sertifikat mediator;
iii.
Netral dan tidak memihak.
2)
Proses Mediasi Bersifat Memaksa
Proses mediasi dalam penyelesaian perkara yang
disengketakan, bersifat memaksa (compulsory). Oleh karena itu, para pihak yang
berperkara tidak mempunyai pilihan selain mesti dan wajib mentaatinya (comply)
dengan acuan sebagai berikut:
- Setiap penyelesaian perkara yang diajukan ke pengadilan, wajib lebih dahulu di tempuh proses mediasi atau harus lebih dahulu diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan mediator.
- Sedemikian rupa sifatnya pemaksaan itu, sehingga penyelesaian melalui proses litigasi tidak boleh dilakukan di pengadilan, sebelum ada pernyataan tertulis dari mediator yang menyatakan proses mediasi gagal mencapai kesepakatan perdamaian.
3)
Jangka Waktu Proses Mediasi
Mengetahui jangka waktu proses mediasi, terdapat dua
versi. Dan masing-masing diatur dalam pasal yang berbeda.
- Paling Lama Tiga Puluh Hari Kerja
Mengenai
jangka waktu itu diatur dalam Pasal 5 ayat (1) PERMA dengan syarat:
i.
Yang bertindak sebagai mediator, di luar daftar mediator
yang dimiliki pengadilan;
ii.
Maka dalam hal ini, jangka waktu proses mediasi adalah 30
(tiga puluh) hari kerja, dari tanggal pemilihan mediator tersebut.
- Paling Lama Dua Puluh Hari Kerja
Ketentuan ini diatur dalam Pasal 9 ayat (5) PERMA yang
menegaskan:
i.
Apabila yang menjadi mediator terdiri atas orang yang
tercantum namanya dalam daftar mediator yang ditetepkan pengadilan, maka proses
mediasi paling lama 22 hari kerja;
ii.
Jangka waktu terhitung dari tanggal terpilihnya mediator
oleh para pihak atau dari tanggal penunjukan mediator oleh ketua majelis.
3.
Ruang Lingkup Tahap Pra-Mediasi
Ruang lingkup tahap pra-mediasi diatur dalam Bab II
PERMA. Tahap ini merupakan persiapan ke arah proses tahap mediasi.
a.
Hakim Memerintahkan Menempuh Mediasi
Langkah pertama yang mesti dilakukan hakim pada tahap
pra-mediasi berdasarkan Pasal 3 ayat (1) PERMA adalah sebagai berikut:
1)
Memerintahkan terlebih dahulu menempuh mediasi;
2)
Saat menyampaikan perintah;
3)
Syarat penyampaian perintah.
b.
Hakim Wajib Menunda Persidangan
Tindakan selanjutnya yang harus dilakukan hakim dalam
Pasal 3 ayat (2) PERMA, yaitu:
1)
Hakim wajib menunda sidang;
2)
Memberi kesempatan menempuh proses mediasi;
c.
Hakim Wajib Memberi Penjelasan tentang Prosedur dan Biaya
Mediasi
Tindakan berikutnya yang harus dilakukan hakim diatur
dalam Pasal 3 ayat (3) PERMA, yaitu:
1)
Wajib memberi penjelasan mengenai prosedur;
2)
Menjelaskan biaya mediasi
d.
Wajib Memilih Mediator
Mengenai tata cara pemilihan mediator diatur dalam Pasal
4 PERMA, sesuai dengan mekanisme berikut:
1)
Para pihak wajib memilih mediator
2)
Ketua majelis berwenang menunjuk mediator
e.
Proses Mediasi oleh Mediator Luar
Mengenai hal ini diatur padal Pasal 5 PERMA. Pada
dasarnya apa yang digariskan dalam pasal ini, tidak lagi termasuk lingkup tahap
pra-mediasi, tetapi lebih tepat dimasukkan dalam ruang lingkup tahap mediasi.
Menurut Pasal 5 PERMA, apabila proses mediasi menggunakan
mediator di luar daftar mediator yang dimiliki pengadilan perlu diatur
perlakuan khusus mengenai hal-hal berikut.
1)
Proses mediasi tiga puluh hari;
2)
Menghadap ke muka hakim seteleh tiga puluh hari;
i.
Para pihak wajib menghadap hakim;
ii.
Meminta penetapan akta perdamaian atau menyatakan
pencabutan gugatan.
4.
Ruang Lingkup Tahap Mediasi
a.
Para pihak wajib menyerahkan fotokopi dokumen
Berdasarkan Pasal 8 PERMA, tahap mediasi dimulai dari
tanggal terpilihnya mediator oleh para pihak atau dari tanggal ditunjuknya
mediator oleh ketua majelis. Terhitung dari tanggal itu timbullah kewajiban
hukum kepada para pihak melaksanakan tindakan berikut.
1)
Wajib menyerahkan dokumen dan surat
Menurut Pasal
8 PERMA, setelah mediator terpilih atau ditunjuk. Para pihak wajib menyerahkan:
i.
Fotokopi dokumen yang memuat duduk perkara;
ii.
Fotokopi surat-surat yang diperlukan.
b.
Mediasi Menghasilkan Kesepakatan
Pasal 11 PERMA mengatur tindakan apa yang harus
dilakukan, apabila mediasi menghasilkan kesepakatan.
1)
Wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan.
Tindakan ini disebut dalam Pasal 11 ayat (1). Dikatakan
apabila mediasi menghasilkan kesepakatan:
- Para pihak wajib merumuskan kesepakatan tersebut;
- Kesepakatan dirumuskan secara tertulis;
- Pelaksanaan perumusan dibantu oleh mediator, dan;
- Kesepakatan yang telah dirumuskan ditandatangani oleh para pihak.
Syarat ini ditegaskan juga dalam pasal 1851 KUH Perdata
bahwa persetujuan perdamaian harus berbentuk tertulis:
- Boleh akta di bawah tangan (onderhandse acte);
- Dapat juga berbentuk akta otentik.
Tidak dibenarkan secara lisan, karena pasal itu
menegaskan persetujuan tidak sah melainkan jika dibuat secara tertulis.
2)
Wajib mencantumkan klausul pencabutan perkara.
Menurut Pasal 11 ayat (2) PERMA, kesepakatan tertulis yang
dirumuskan tersebut harus memuat atau mencantumkan klausul:
- Pencabutan perkara;
- Pernyataan perkara telah selesai.
3)
Mediator wajib memeriksa materi kesepakatan.
Pasal 11 ayat (3) membebani kewajiban kepada mediator:
- Memeriksa materi kesepakatan;
- Hal itu dilakukan sebelum para pihak menandatangani kesepakatan.
Tujuan kewajiban memeriksa kesepakatan adalah untuk
menghindari terjadinya kesepakatan yang bertentangan dengan hukum. Namun hal
ini tidak hanya terbatas sepanjang itu tetapi meliputi kemungkinan bertentangan
dengan ketertiban umum dan kesusilaan.
4)
Menghadap kembali pada hakim.
Pada hari sidang yang telah ditentukan sebelumnya:
- Para pihak wajib menghadap kembali pada hakim;
- Di depan sidang tersebut para pihak memberitahukan, mediasi telah mencapai kesepakatan.
5)
Hakim dapat mengukuhkan kesepakatan.
Pasal 11 ayat (5) jo. Pasal 5 ayat (3) PERMA mengatur
cara mengukuhkan kesepakatan menjadi akta perdamaian.
a)
Harus ada permintaan dari para pihak
Para pihak
mempunyai kebebasan memilih, apakah kesepakatan dikukuhkan atau tidak dalam
akta perdamaian. Apabila mereka memilih untuk dikukuhkan:
i.
Dapat mengajukan hal itu kepada hakim;
ii.
Atas permintaan tersebut, hakim mengeluarkan penetapan
yang diberi judul akta perdamaian;
iii.
Sejak tanggal penetapan diterbitkan, padanya melekat
ketentuan Pasal 130 HIR/145 RBG, yaitu penetapan memiliki kualitas sama dengan
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sehingga penetapan mempunyai
kekuatan eksekutorial dan terhadapnya tidak dapat diajukan permohonan banding.
c.
Proses mediasi gagal
Yang dimaksud dengan proses mediasi gagal, yaitu apabila
dalam jangka waktu 22 hari kerja yang disebut Pasal 9 ayat (5) atau 30 hari
kerja yang disebut Pasal 5 ayat (1) mediasi tidak menghasilkan kesepakatan.
Menghadapi peristiwa gagalnya proses mediasi, Pasal 12 PERMA telah menggariskan
tindak lanjut yang harus dilakukan mediator dan hakim.
1) Mediator
wajib memberitahu kegagalan kepada hakim;
2)
Pemberitahuan tersebut harus dilakukan sesegera mungkin;
3)
Majelis segera melanjutkan pemeriksaan perkara.
B.
Kekuatan Hukum yang Melekat Pada Penetapan Akta
Perdamaian.
1.
Disamakan kekuatan dengan putusan yang berkekuatan hukum
tetap
Menurut Pasal 1858 ayat (1) KUH Perdata, perdamaian
antara para pihak sama kekuatannya seperti putusan hakim yang penghabisan. Hal
ini pun ditegaaskan pada kalimat terakhir Pasal 130 ayat (2) HIR, bahwa putusan
akta perdamaian memiliki kekuatan yang sama seperti putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap.
2.
Mempunyai kekuatan eksekutorial.
Setelah sesaat putusan dijatuhkan, langsung melekat kekuatan
eksekutorial didalamnya. Apabila salah satu pihak tidak mentaati atau tidak
melaksanakan pemenuhan yang ditentukan dalam perjanjian sukarela, maka:
- Dapat minta eksekusi kepada PN;
- Atas permintaan itu ketua PN menjalankan eksekusi sesuai dengan ketentuan Pasal 195 HIR.
Hal itu sejalan dengan amar putusan akta perdamaian yang
menghukum para pihak untuk mentaati perjanjian perdamaian yang mereka sepakati.
Jadi, dalam putusan tercantum amar kondemnatoir (condemnation), sehingga
apabila putusan tidak ditaati dan dipenuhi secara sukaraela, dapat dipaksakan
pemenuhannya melalui eksekusi oleh pengadilan.
3.
Putusan akta perdamaian tidak dapat dimintakan banding.
Putusan akta perdamaian tidak dapat banding. Hal itu
ditegaskan dalam Pasal 130 ayat (3) HIR. Dengan kata lain terhadap putusan akta
perdamaian tersebut tertutup upaya hukum (banding dan kasasi. Hal itupun
ditegaskan dalam Putusan MA No. 1083 K/Sip/1973, bahwa terhadap putusan
perdamaian tidak mungkin diajukan permohonan banding.
Memperhatikan kekuatan yang langsung melekat pada putusan
akta perdamaian, penyelesaian perkara melalui sistem ini sangat efektif dan
efisien. Segala upaya hukum tertutp, sehingga dapat langsung diminta eksekusi
apabila ssalah satu pihak ingkat memenuhi perjanjian secara sukarela.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar