Minggu, 18 November 2012

Fungsi-Fungsi Hukum




FUNGSI-FUNGSI ILMU HUKUM


Seperti diketahui bahwa di dalam setiap masyarakat senantiasa terdapat berbagai kepentingan dari warganya. Di antara kepentingan itu ada yang bisa selaras dengan kepentingan yang lain, tetapi ada juga kepentingan yang memicu konflik dengan kepentingan yang lain. Untuk keperluan tersebut, hukum harus difungsikan menurut fungsi-fungsi tertentu untuk mencapai tujuannya. Dengan kata lain, fungsi hukum adalah menertibkan dan mengatur pergaulan dalam masyarakat serta menyelesaikan konflik yang terjadi.

     Fungsi hukum menurut Franz Magnis Suseno, adalah untuk mengatasi konflik kepentingan. Dengan adanya hukum, konflik itu tidak lagi dipecahkan menurut siapa yang paling kuat, melainkan berdasarkan aturan yang berorientasi pada kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai objektif dengan tidak membedakan antara yang kuat dan yang lemah, dan orientasi itu disebut keadilan.

          Dalam pandangan Achmad Ali, bahwa fungsi hukum itu dapat dibedakan ke dalam :
a.    fungsi hukum sebagai “a tool of social control”;
b.    fungsi hukum sebagai “a tool of social engineering”;
c.fungsi hukum sebagai symbol;
d.    fungsi hukum sebagai “a political instrument”;
e.    fungsi hukum sebagai integrator.

      Menurut Lawrence M. Friedmann, dalam bukunya “Law and Society an Introduction”, fungsi hukum adalah :
a.    pengawasan/pengendalian sosial (social control) ;
b.    penyelesaian sengketa (dispute settlement) ;
c.    rekayasa sosial (social engineering).


   Berkaitan dengan fungsi hukum, Muchtar Kusumaatmadja, mengajukan konsepsi hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat, yang secara singkat dapat dikemukakan pokok-pokok pikiran beliau, bahwa fungsi hukum di dalam pembangunan sebagai sarana pembaruan masyarakat. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha pembangunan atau pembaruan merupakan suatu yang dianggap penting dan sangat diperlukan. Di samping itu, hukum sebagai tata kaedah dapat berfungsi untuk menyalurkan arah kegiatan warga masyarakat ke tujuan yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaruan. Kedua fungsi tersebut diharapkan dapat dilakukan oleh hukum di samping fungsinya yang tradisional, yakni untuk menjamin adanya kepastian dan ketertiban.

   Theo Huijbers, menyatakan bahwa fungsi hukum ialah memelihara kepentingan umum dalam masyarakat, menjaga hak-hak manusia, mewujudkan keadilan dalam hidup bersama. Sedangkan dalam pandangan Peters, yang menyatakan bahwa fungsi hukum itu dapat ditinjau dari tiga perspektif :

1. Perspektif kontrol sosial daripada hukum.
Tinjauan ini disebut tinjauan dari sudut pandang seorang polisi terhadap hukum (the   policement view of the law).

2. Perspektif social engineering, merupakan tinjauan yang dipergunakan oleh para  
penguasa (the official perspective of the law), dan karena pusat perhatian adalah apa  yang diperbuat oleh penguasa dengan hukum.

3. Perspektif emansipasi masyarakat daripada hukum.
Perspektif ini merupakan tinjauan dari bawah terhadap hukum (the bottom’s up view  of the law) dan dapat pula disebut perspektif konsumen (the consumer’s perspective of the law).

Dari beberapa pendapat pakar hukum mengenai fungsi hukum di atas, dapatlah dikatakan bahwa fungsi hukum, sebagai berikut :

a. Memberikan pedoman atau pengarahan pada warga masyarakat untuk berprilaku.

b.Pengawasan atau pengendalian sosial (social control).

c.Penyelesaian konflik atau sengketa (dispute settlement).

d.Rekayasa sosial (social engineering).

        Fungsi hukum sebagai pedoman atau pengarah prilaku, kiranya tidak memerlukan banyak keterangan, mengingat bahwa hukum telah disifatkan sebagai kaedah, yaitu sebagai pedoman prilaku, yang menyiratkan prilaku yang seyogianya atau diharapkan diwujudkan oleh masyarakat apabila warga masyarakat melakukan suatu kegiatan yang diatur oleh hukum.

        Maksud dan tujuan hukum yang sebenar-benarnya adalah hukum itu menghendaki kerukunan dan perdamaian dalam pergaulan hidup bersama. Hukum itu mengisi kehidupan yang jujur dan damai dalam seluruh lapisan masyarakat.[1]

1.           Hukum sebagai sarana pengendali sosial, menurut A. Ross sebagaimana dikutip Soerjono Soekanto, adalah mencakup semua kekuatan yang menciptakan serta memelihara ikatan sosial.[2] Ross menganut teori imperatif tentang fungsi hukum dengan banyak menghubungkannya dengan hukum pidana. Dalam kaitan ini, hukum sebagai sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari ancaman maupun perbuatan yang membahayakan diri serta harta bendanya. Misalnya dapat dikemukakan perbuatan kejahatan penganiayaan dalam Pasal 351 KUHP. Norma ini jelas merupakan sarana  pemaksa yang berfungsi untuk melindungi warga  masyarakat terhadap perbuatan yang mengakibatkan terjadinya penderitaan pada orang lain.

                       Pengendalian sosial (social control) dari hukum, pada dasarnya memaksa warga masyarakat agar berprilaku sesuai dengan hukum, Dengan kata lain, pengendalian sosial daripada hukum dapat bersifat preventif maupun represif. Preventif merupakan suatu usaha untuk mencegah prilaku yang menyimpang, sedangkan represif bertujuan untuk mengembalikan keserasian yang terganggu.

       Hukum sebagai sarana penyelesaian sengketa (dispute settlement). Di dalam masyarakat berbagai persengketaan dapat terjadi, misalnya antara keluarga yang dapat meretakan hubungan keluarga, antara mereka dalam suatu urusan bersama (company), yang dapat membubarkan kerjasama. Sengketa juga dapat mengenai perkawinan atau waris, kontrak, tentang batas tanah, dan sebagainya. Adapun cara-cara penyelesaian sengketa dalam suatu masyarakat, ada yang diselesaikan melalui lembaga formal yang disebut dengan pengadilan, dan ada yang diselesaikan secara sendiri oleh orang-orang yang bersangkutan dengan mendapat bantuan dari orang yang ada di sekitarnya. Hal ini bertujuan untuk mengukur, sampai berapa jauh terjadi pelanggaran norma dan apa yang harus diwajibkan kepada pelanggar supaya yang telah dilanggar itu dapat diluruskan kembali.
                         Pengendalian sosial adalah upaya untuk mewujudkan kondisi seimbang di  dalam masyarakat, yang bertujuan terciptanya suatu keadaan yang serasi antara stabilitas dan perubahan di dalam masyarakat.
                  Maksudnya adalah hukum sebagai alat memelihara ketertiban dan pencapaian keadilan. Pengendalian sosial mencakup semua kekuatan-kekuatan yang menciptakan serta memelihara ikatan sosial. Hukum merupakan sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari perbuatan dan ancaman yang membahayakan dirinya dan harta bendanya.
                       Penjelasan dari Steven Vago (1981), tentang Law and Social Control. Dalam tulisan tersebut Vago seakan memisahkan antara law dan social control dan menghubungkannya dengan kata ‘dan’, ia tidak membahasakannya sebagai dua hal yang semestinya integral dalam kesatuan, tetapi Vago mengesankan seakan keduanya terpisah. Tanpa terlalu berkepanjangan, mari kita urai penjelasannya.
                         Sangat awal dari bab ini Vago menjelaskan, kontrol sosial merujuk pada cara para anggota sebuah masyarakat memelihara aturan dan meningkatkan kemungkinan untuk memperkirakan suatu tindakan.Vago menjelaskan bahwaterdapat banyak bentuk kontrol sosial, dan hukum adalah salah satunya. Oleh karenanya ia menekankan pembahasan pada situasi ketika bentuk-bentuk mekanisme kontrol lain tidak dapat berjalan efektif atau memang tidak ada, dan hukum mengambil kesempatannya berperan sebagai kontrol sosial. Selanjutnya untuk memberikan penjelasan yang lebih baik dengan pemilahan kontrol sosial ke dalam dua bagian, yakni kontrol sosial informal dan kontrol sosial formal. Hal ini sengaja dilakukan Vago untuk menghindari overlapping antara keduanya, dan untuk membantu melakukan analisis secara lebih efektif.
a.            Kontrol sosial informal
            Kontrol sosial secara informal dicontohkan dengan fungsi-fungsi yang berjalan dalam cara kerakyatan(norma-norma yang dimunculkan dalam praktik keseharian sebagaimana mode pakaian tertentu, etiket, dan penggunaan bahasa) dan adat-istiadat(norma-norma sosial berasosiasi dengan perasaan-perasaan intens tentang benar atau salah dan aturan tertentu tentang tingkah laku yang secara sederhana tidak akan mengganggu, sebagai contoh, incest). Kontrol informal tersebut terdiri atas teknik-teknik yang oleh individu yang mengetahui satu sama lain dalam dasar keseuaian personal akan memuji kepada mereka yang mentaati harapan bersama dan menunjukkan ketidaknyamanan kepada mereka yang tidak mentaatinya (Shibutani, 1961:426).
            Dengan demikian kontrol sosial yang sifatnya informal selalu merupakan bagian dari masyarakat dengan ciri keeratan sosial yang oleh Durkheim dikatakan memiliki mechanical solidarity, yang oleh Dragan Milovanovic (1994) dikatakan sebagai tipe normal dalam masyarakat yang pemilahan tingkat pekerjanya masih sangat kecil, dan “perekat” ikatan sosial dalam kesamaan dan kesetaraan masih kuatTetapi konteks kontrol sosial informal tidaklah hanya ada dalam bentuk masyarakat dengan mechanical solidarity sebagaimana dijelaskan Durkheim. Nilai-nilai tentang solidaritas dan kesepakatan dalam masyarakat majemuk dengan konsep hukum tidak tertulisnya juga selalu memiliki potensi informal social controls.
            Mekanisme informal dari kontrol sosial dirancang untuk lebih efektif dalam kelompok dan masyarakat dimana relasi bersifat face to face dan intimasi dan dimana pembagian pekerjaan relatif sederhana. Selanjutnya, intensional interaksi face to face dalam masyarakat tertentu menciptakan konsensus moral yang dikenal oleh seluruh anggotanya; juga membawa tindakan menyimpang secara cepat menjadi perhatian setiap orang.
b.      Kontrol sosial formal
Sebagaimana konsep Durheim yang memilah solidaritas ke dalam dua partisi, Vago pun memiliki kecenderungan yang sama. Ia menjelaskan bahwa konrol sosial formal biasanya merupakan karakteristik dari masyarakat yang lebih kompleks dengan pembagian tingkat pekerjaan yang lebih besar, heterogenitas populasi, dan sub- grup dengan nilai-nilai terkompetensi dengan bentuk berbeda dalam adat-istiadat dan ideologi. Kontrol yang bersifat formal muncul ketika kontrol informal tidak lagi sesuai diterapkan untuk memelihara kenyamanan pada norma-norma tertentu dan dicirikan dengan sistem yang mengenal spesialisasi agen-agen sosialnya dan dengan teknik-teknik yang standar.
            Seperti telah dijelaskan bahwa pengertian formal adalah saat yang informal tidak lagi mampu hadir dan memberikan fungsi kontrolnya. Maka formal selalu timbul dari kebutuhan akan keteraturan dan kontrol yang membuat segalanya kepada keadaan sebagaimana kondisi informal. Seperti menjelaskan bagaimana Durkheim berupaya mengganti secara perlahan ‘solidaritas mekanis’ sederhana dengan ‘solidaritas organik’ yang lebih kompleks, yakni solidaritas komplementer, berkat semakin tegasnya pembagian kerja dalam masyarakat. Jika Durkheim berusaha menjaga tetap adanya solidaritas, maka demikian pula peran sosial kontrol selalu diupayakan tetap ada, karena eksistensinya yang menjadi urgensi dan kebutuhan sosial.
Formal dijelaskan sebagai kebutuhan yang tumbuh sebagai karena ketiadaan informal. Begitu pula hukum, informal mengenal  adalah mulai dikenalnya konsep ‘standarisasi’ atau dalam hukum dikenallah hukum yang mengenal prinsip ‘legalitas’ atau ketertulisan. Sehingga logika kebenaran dan kesalahan, kebaikan dan kejahatan, yang sesuai definisi bersama, dituangkan ke dalam perundang-undangan untuk dijadikan sebagai alat kontrol sosial.
2.            Hukum sebagai sarana rekayasa sosial (social engineering), menurut Satjipto Rahardjo, tidak saja digunakan untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat dalam masyarakat, melainkan juga untuk mengarahkan pada tujuan yang dikehendaki, menghapuskan kebiasaan yang dipandang tidak sesuai lagi dengan pola-pola kelakuan baru dan sebagainya. Dengan demikian, hukum dapat berfungsi untuk mengendalikan masyarakat dan bisa juga menjadi sarana untuk melakukan perubahan-perubahan dalam masyarakat.[3]

            Sebuah perbincangan yang hingga kini tak juga kunjung putus adalah soal fungsi hukum dalam masyarakat. Di satu pihak orang meyakini kebenaran premis bahwa hukum itu tak lain hanyalah refleksi normatif saja dari pola-pola perilaku yang telah terwujud sebagai realitas sosial. Sedangkan di pihak lain orang masih banyak juga yang suka menteorikan bahwa hukum itu sesungguhnya adalah suatu variabel bebas yang manakala dioperasionalkan sebagai kekuatan yang bertujuan politik akan mampu mengubah tatanan struktural dalam masyarakat.    
Pandangan yang disebutkan pertama adalah pandangan yang melihat hukum sebagai ekspresi kolektif suatu masyarakat, dan karena itu hasil penggambarannya secara konseptual akan melahirkan konsep hukum sebagai bagian dari elemen kultur ideal. Pandangan yang kedua adalah pandangan yang melihat hukum benar-benar sebagai instrumen, dan karena itu hasil penggambarannya secara konseptual akan banyak menghasilkan persepsi bahwa hukum adalah bagian dari teknologi yang lugas; atau meminjam kata-kata Rouscoe Poend, hukum itu adalah “tool of social engineering“.
            Menurut Lawrence sebagaimana dikutip oleh Soetandyo, menyatakan bahwa Hukum sebagai alat social engineering adalah ciri utama negara modern.  Jeremy Bentham (dalam Soetandyo) bahkan sudah mengajukan gagasan ini di tahun 1800-an, tetapi baru mendapat perhatian serius setelah Roscoe Pound memperkenalkannya sebagai suatu perspektif khusus dalam disiplin sosiologi hukum. Roscoe Pound minta agar para ahli lebih memusatkan  perhatian pada hukum dalam praktik (law in actions), dan jangan hanya sebagai ketentuan-ketentuan yang ada dalam buku (law in books). Hal itu bisa dilakukan tidak hanya melalui undang-undang, peraturan pemerintah, keppres, dll tetapi juga melalui keputusan-keputusan pengadilan
            Dewasa ini jumlah eksponen pendukung ide “law as a tool of social engineering” kian bertambah. Perkembangan yang disebut Geertz (dalam Soetandyo) sebagai perkembangan “from old society to new state” memang telah menyuburkan tekad-tekad untuk menggerakkan segala bentuk kemandeg-an dan untuk mengubah segala bentuk kebekuan, baik lewat cara-cara revolusioner yang ekstra legal maupun lewat cara-cara yang bijak untuk menggunakan hukum sebagai sarana perubahan sosial.
            Menurut Soetandyo hal ini berimplikasi para banyaknya praktisi yang berminat untuk memikirkan strategi-strategi perubahan yang paling layak untuk ditempuh dan untuk merekayasa ius constituendum apa yang sebaiknya segera dirancangkan dan diundangkan sebagai langkah implementasinya. Sedangkan para teoritisnya banyak berminat untuk mendalami studi-studi tentang keefektifan hukum guna menemukan determinan-determinan (paling) penting yang perlu diketahui untuk mengfungsionalkan hukum sebagai sarana pembangunan.
            Menurut sejumlah pakar, pembangunan hukum mengandung dua arti.
Pertama, sebagai upaya untuk memperbarui hukum positif (modernisasi
hukum). Kedua, sebagai usaha untuk memfungsionalkan hukum yakni dengan cara turut mengadakan perubahan sosial sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang sedang membangun. Jadi, pembangunan hukum tidak terbatas pada kegiatan-kegiatan legislasi saja, melainkan pada upaya menjadikan hukum sebagai alat rekayasa sosial (social engineering). Dengan kata lain kita dapat simpulkan, definisi pembangunan hukum adalah “mewujudkan fungsi dan peran hukum di tengah-tengah masyarakat”. Untuk itu ada tiga fungsi hukum: sebagai kontrol sosial, sebagai penyelesai sengketa (dispute settlement), dan sebagai alat rekayasa sosial (social engineering).
            Dalam salah satu artikelnya, Paramita menyatakan bahwa perundang-undangan ialah suatu gejala yang relatif kompleks yang proses pembentukannya melibatkan berbagai faktor kemasyarakatan lainnya. Pembentukan peraturan perundang-undangan adalah upaya merealisasikan tujuan tertentu, dalam arti mengarahkan, mempengaruhi, pengaturan perilaku dalam konteks kemasyarakatan yang dilakukan melalui dan dengan bersaranakan kaidah-kaidah hukum yang diarahkan kepada perilaku warga masyarakat atau badan pemerintahan, sedangkan tujuan tertentu yang ingin direalisasikan pada umumnya mengacu pada idea atau tujuan hukum secara umum, yaitu perwujudan keadilan, ketertiban dan kepastian hukum. Membentuk undang-undang juga berarti menciptakan satu sumber hukum yang akan mengatur hak-hak dan kewajiban dari semua pihak yang terkait dengan pelaksanaan undang-undang tersebut.
            Berbeda dengan pandangan Paramita, mazhab fungsional atau biasa disebut mazhab sosiologik hukum (sociology of law) melalui tokohnya Roscoe Pound (dalam Satjipto) yang berpendapat bahwa hukum itu lebih dari sekadar himpunan norma-norma yang abstrak atau ordo-hukum. Namun, hukum merupakan satu proses untuk menyeimbangkan kepentingan-kepentingan yang berlawanan dan memberikan jaminan, kepastian kepuasan kepada keinginan golongan terbanyak dengan gesekan yang sekecil mungkin. Analogi dari pemahaman hukum yang demikian itulah yang oleh Pound disebutkan sebagai rekayasa sosial (social engineering).
            Perlu diperhatikan juga sebelumnya bahwa suatu peraturan atau hukum baru dapat dikatakan baik apabila memenuhi tiga syarat menurut teori Radbruch, yaitu secara filosofis dapat menciptakan keadilan, secara sosiologis bermanfaat dan secara yuridis dapat menciptakan kepastian. Sedangkan menurut Pound suatu undang-undang harus berfungsi sebagai “tool of social control “ dan “tool of social engineering”.
            Sejalan dengan Pound, Prof. Max Radin sebagaiama dikutip oleh Mahendra, menyatakan bahwa hukum adalah teknik untuk mengemudikan suatu mekanisme sosial yang ruwet. Di lain pihak hukum tidak efektif kecuali bila mendapatkan pengakuan dan diberi sanksi oleh kekuasaan politik. Karena itu Maurice Duverger (dalam Mahendra) menyatakan: “hukum didefinisikan oleh kekuasaan; dia terdiri dari tubuh undang-undang dan prosedur yang dibuat atau diakui oleh kekuasaan politik.
            Hukum  memberikan kompetensi untuk para pemegang kekuasaan politik berupa jabatan-jabatan dan wewenang sah untuk melakukan tindakan-tindakan politik bilamana perlu dengan menggunakan sarana pemaksa. Hukum merupakan pedoman yang mapan bagi kekuasan politik untuk mengambil keputusan dan tindakan-tindakan sebagai kerangka untuk rekayasa sosial secara tertib.
            Walaupun para eksponen yang menyokong gagasan “law as a tool of social engineering” kini tercatat cukup mendominasi percaturan dan posisi kunci pembinaan hukum nasional, itu tidaklah berarti bahwa gagasan dan langkah-langkah operasional mereka dapat berkembang dan berjalan dengan tanpa kritik.
            Kritik-kritik yang terlontar berdasarkan alasan ideologi dan atau paradigma moral yang sifatnya mutlak dan memihak—dalam kerangka penetapan kebijakan politik—memang sudah tak sekuat dulu lagi. Akan tetapi polemik dan diskusi tentang kedudukan dan fungsi hukum dalam tata kehidupan masyarakat yang makro ini bukannya telah tiada.
            Menurut Soetandyo pembicaraan dan perbincangan tetap saja ramai untuk mempersoalkan apakah hukum dalam kenyataanya in concreto memang akan dapat merekayasa masyarakat dengan efektif manakala ia hanya terbit sebagai manifestasi—meminjam adagium kaum positivitis—”the command of the sovereign” (perintah yang berdaulat), dan tidak pernah mempertimbangkan dua soal berikut ini: Pertama, apakah sesungguhnya nilai-nilai moral dan kaidah-kaidah social yang dianut rakyat dalam kehidupan sehari-harinya; Kedua, sejauh manakah rakyat awam itu bersedia berbagi kesetiaan dan ketaatan, tidak hanya kepada nilai-nilai dan kaidah-kaidahnya sendiri yang informal tetapi juga kepada “the command of the sovereign” yang bergaya formal itu.
            Soetandyo menambahkan mereka yang berpendapat bahwa hukum adalah sarana yang efektif untuk merekayasa masyarakat tentunya lebih condong untuk bersikap antisipatif pada perubahan-perubahan yang selalu terjadi. Mereka tanpa ayal akan bergerak merancang perubahan masa depan, dan akan menggunakan hukum sebagai model gambaran hubungan-hubungan antar subjek di masa depan yang harus direa lisasikan dengan tindakan-tindakan yang bersanksi. Maka di tangan mereka hukum akan berfungsi sebagai sarana untuk mendinamisasi perubahan, dan tidak (sekedar) sebagai sarana untuk mengontrol status-quo yang serba statik di dalam struktur.
            Para pengritik ide “law as a tool of social engineering” umumnya menambahkan bahwa orang masih harus mempertanyakan, adakah cara yang dapat dianjurkan untuk mengubah referensi normatif rakyat, dari kecondongannya pada nilai-nilai dan kaidah-kaidah setempat yang parokial dan berwawasan ke masa lampau ke nilai-nilai dan kaidah-kaidah baru yang nasional dan berwawasan ke masa depan.
            Hukum tetap bisa di pakai sebagai instrumen yang di pakai secara sadar untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Yang jelas, prosesnya akan berlangsung cukup panjang dan efek yang di timbulkannya bisa merupakan efek yg sifatnya berantai. Keputusan ini bis di masukan ke dalam golongan social engineering oleh karena bertujuan untuk menciptakan perubahan dalam masyarakat.[4]
            Bertolak dari semua itu terdapat satu hal penting yang perlu (harus) disadari sebagai suatu persoalan tersendiri atas asumsi dasar mengenai dalil “law is a tool of social enginereeng“, bahwa menurut von Savigny (dalam Soetandyo), sesungguhnya hukum itu tidak pernah bisa dibuat berdasarkan rasionalitas pikiran manusia yang disengaja. Hukum sesungguhnya selalu berproses dan terwujud di dalam dan bersamaan dengan perkembangan masyarakat dan sejarah suatu bangsa. Oleh karena itu penyikapan selanjutnya adalah bagaimana sesungguhnya “law is a tool of social engineering” harus kita tempatkan bukan pada posisi rule by law, tetapi pada paradigma rule of law.
3.           Hukum sebagai alat politik merupakan subsistem dalam sistem kemasyarakatan, masing-masing melaksanakan fungsi tertentu untuk menggerakkan sistem kemasyarakatan secara keseluruhan. Secara garis besar hukum berfungsi melakukan social control, dispute settlement dan social engeneering atau inovation.sedangkan fungsi politik meliputi pemeliharaan sistem dan adaptasi (socialization dan recruitment), konversi (rule making, rule aplication, rule adjudication, interestarticulation dan aggregation) dan fungsi kapabilitas (regulatif extractif, distributif dan responsive Sistem hukum, kata Held lebih lanjut memikul tanggung jawab utama untuk menjamin dihormatinya hak dan dipenuhinya kewajiban yang timbul karena hak yang bersangkutan. Dan sasaran utama sistem politik ialah memuaskan kepentingan kolektif dan perorangan, meskipun sistem hukum dan sistem politik dapat dibedakan, namun dalan bebagai hal sering bertumpang tindih dalam proses pembentukan undang-undang oleh badan pembentuk undang-undang misalnya, proses tersebut dapat dimasukkan ke dalam sistem hukum dan juga ke dalam sistem politik, karena undang-undang sebagai output merupakan formulasi yuridis dari kebijaksanaan politik dan proses pembentukannya sendiri digerakkan oleh proses politik.

Hukum dan politik sebagai subsistem kemasyarakatan adalah bersifat terbuka, karena itu keduanya saling mempengaruhi dan dipengaruhi oleh subsistem lainnya maupun oleh sistem kemasyarakatan secara keseluruhan, walaupun hukum dan politik mempunyai fungsi dan dasar pembenaran yang berbeda, namun keduanya tidak saling bertentangan tetapi saling melengkapi. Masing-masing memberikan kontribusi sesuai dengan fungsinya untuk menggerakkan sistem kemasyarakatan secara keseluruhan, dalam masyarakat yang terbuka dan relatif stabil sistem hukum dan politiknya selalu dijaga keseimbangannya, di samping sistem-sitem lainnya yang ada dalam suatu masyarakat.
Hukum memberikan kompetensi untuk para pemegang kekuasaan politik berupa jabatan-jabatan dan wewenang sah untuk melakukan tindakan-tindakan politik bilamana perlu dengan menggunakan sarana pemaksa, hukum merupakan pedoman yang mapan bagi kekuasan politik untuk mengambil keputusan dan tindakan-tindakan sebagai kerangka untuk rekayasa sosial secar tertib. Prof. Max Radin menyatakan bahwa hukum adalah teknik untuk mengemudikan suatu mekanisme sosial yang ruwet. Dilain pihak hokum tidak efektif kecuali bila mendapatkan pengakuan dan diberi sanksi oleh kekuasaan politik. Karena itu Maurice Duverger (Sosiologi Politik 1981:358) menyatakan: "hukum didefini- sikan oleh kekuasaan; dia terdiri dari tubuh undang-undang dan prosedur yang dibuat atau diakui oleh kekuasaan politik.
Hukum memberikan dasar legalitas bagi kekuasaan politik dan kekuasaan politik membuat hukum menjadi efektif. Atau dengan kata lain dapat dikemukakan bahwa hukum adalah kekuasaan yang diam dan politik adalah hukum yang in action dan kehadirannya dirasakan lebih nyata serta berpengaruh dalam kehidupan kemasyarakatan.
Hukum dan politik mempunyai kedudukan yang sejajar, hukum tidak dapat ditafsirkan sebagai bagian dari sistem politik. Demikian juga sebaliknya. Realitas hubungan hukum dan politik tidak sepenuhnya ditentukan oleh prinsp-prinsip yang diatur dalam suatu sistem konstitusi, tetapi lebih ditentukan oleh komitmen rakyat dan elit politik untuk bersungguh-sungguh melaksanakan konstitusi tersebut sesuai dengan semangat dan jiwanya. Sebab suatu sistem konstitusi hanya mengasumsikan ditegakkannya prinsi-prinsip tertentu, tetapi tidak bisa secara otomatis mewujudkan prinsi-prinsip tersebut.
Dalam tahap memelihara kesatuan berbangsa, hukum merepresi orang atau kelompok yang melakukan gerakan atau mengembangkan opini yang mendorong ke arah disintegrasi atau perpecahan bangsa dengan "memberikan cap "sparatis" atau "politik kriminalisasi" dan sanksi yang berat.
Eksistensi dan fungsi hukum dalam pembangunan berbangsa dapat ditelusuri dari beberapa fenomena, hukum sebagai instrumen untuk menyamakan pedoman berperilaku bagi semua komponen berbangsa di semua daerah, juga instrumen hukum digunakan untuk mewujudkan tahapan membangun ekonomi dan mengejar pertumbuhan ekonomi yang dimulai sejak jama orde baru, dalam rangka mewujudkan rencana peningkatan produksi nasional dan kegiatan usaha seperti hukum tentang perijinan dan hukum pembiayaan swasta (investasi), perijinan digunakan sebagai akses berusaha pada kelompok pelaku usaha yang diharapkan berkontribusi dalam ekonomi, dan memangkas birokrasi yang berbiaya tinggi, walaupun birokrasi dan tingginya biaya perijinan masih jadi penghalang investasi, dan walaupun instrumen hukum dibidang perijinan invenstasi dan pembiayaan pembangunan ekonomi belum dapat mengakomodasi semua tuntutan.
Pembangunan hukum mengacu kepada kedudukan dan fungsi dasarnya dalam cita cita kebangsaan, seperti pembentukan dan penegakan hukum harus diukur dari kesuksesan dalam mewujudkan cita cita kebangsaan, formulasi dari hukum tidak boleh berpotensi menciptakan disintegrasi bangsa, menghambat pembangunan ekonomi, menciptkan kesenjangan sosial ekonomi antar komponen kelompok berbangsa dan kemiskinan masyarakat lokal, bila itu terjadi, maka formulasi hukum harus dinilai sebagai hukum yang gagal dan dan harus ditunjau kembali.
Untuk menjalankan pekerjaan seperti itu, hukum membutuhkan suatu kekuatan pendorong. Kekuasaan ini memberikan kekuatan kepadanya untuk menjalankan fungsi hukum. Kita bisa mengatakan, bahwa hukum tanpa kekuasaan akan tinggal sebagai keinginan-keinginan atau ide-ide belaka.[5]
Jadi, Dapat ditegaskan bahwa politik hukum hakikatnya adalah disiplin hukum yang mengkhususkan dirinya pada usaha-usaha memerankan hukum dalam mencapai tujuan yang dicita-citakan masyarakat tertentu.[6]

4.    Fungsi Hukum sebagai Simbol
            Sebagaimana makna hukum itu sendiri, fungsi hukum sebagai simbol juga beraneka ragam menurut sudut pandang para ahli, seperti fungsi hokum sebagai symbol yang di kemukan L.B Curzon sebagai berikut :
             L.B. Curzon (1979: 44) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan simbolis adalah“Involves the process whereby persons consider in simple term the social relationships and other phenomena arising from their interaction…”  ("Melibatkan proses di mana orang-orang mempertimbangkan dalam istilah sederhana hubungan sosial dan fenomena lain yang timbul dari interaksi mereka .)
            Tampaknya apa yang dikemukakan oleh Curzon di atas dapat penulis setujui, karena memang simbolis itu mencakupi proses-proses dalam mana seseorang menerjemahkan atau menggambarkan atau mengartikan dalam suatu istilah yang sederhana tentang perhubungan sosial serta fenomena-fenomena lainnya yang timbul dari interaksinya dengan orang lain. contohnya dalam hukum: seseorang yang mengambil barang orang lain dengan maksud memiliki, dengan jalan melawan hukum, oleh hukum pidana disimbolkan sebagai tindakan pencurian yang seyogyanya dihukum. Mungkin karena itulah, sehingga Barkun M. (law without sanction, 1986: 13) menuliskan bahwa hukum itu tidak lain adalah:
“as that system of manipulable symbols that functions as a representations, as a model of social structure” (Sebagai simbol bahwa sistem dimanipulasi yang berfungsi sebagai representasi, sebagai model struktur sosial)
            Dalam kaitan dengan fungsi hukum sebagai simbol, menarik untuk mengetahui apa yang dikemukakan oleh Arnold (Curzon, 1979: 44) bahwa
“…that the greatest strength of the law may be its escape from reality, that is, its abstract, symbolic nature and from. Abstract ideals … need tor their acceptance symbolic conduct by institution. The prosedures of the court (ceremonies), their dramatic presentation of symbolic inter-action within society, are examples of the ideals of the law “made concrete” in relatively simple comprehensible terms”.  (Bahwa kekuatan terbesar dari hukum dapat melarikan diri dari kenyataan, yaitu, abstrak, sifat simbolis dan dari. Abstrak ... cita-cita membutuhkan penerimaan mereka melakukan tor simbolis oleh institusi. Para prosedures pengadilan (upacara), presentasi dramatis mereka tindakan antar-simbolik dalam masyarakat, adalah contoh dari cita-cita hukum "dibuat konkret" dalam istilah dipahami relatif sederhana ".)
            Dapat penulis simpulkan dari pendapat L.B. Curzon , bahwa fungsi hokum sebagai symbol adalah  menciptakan masyarakat yang cerdas dan beradab yang mau berpikir, menerjemahkan atau mengartikan perubahan atau fenomena – fenomena tentang perubahan social yang ada dalam masyarakat dalam suatu istilah.
5.    HUKUM SEBAGAI MEKANISME PENGINTEGRASI
      Manusia selain makhluk biologis juga ia sebagai makhluk sosial, olehnya itu manusia selalu didorong untuk melakukan hubungan-hubungan sosial di antara sesamanya. Dalam hal ini hukum sebagai mekanisme pengintegrasi. Fungsi hukum sebagai mekanisme pengintegrasian mempunyai hubungan dengan sistem sosial, interaksi sosial dan ketertiban.
A.Sistem Sosial
Dalam rangka pembicaraan mengenai sistem sosial ini, pertama-tama dibatasi pengamatan terhadap suatu wilayah atau lingkungan tertentu. Hal ini dimaksudkan agar dapat meperoleh gambaran yang saksama mengenai sistem sosial tersebut. sistem social adalah suatu cara untuk mengorganisasi kehidupan manusia secara individu (orang) dalam masyarakat. Dengan kata lain sistem sosial mempertahankan agar proses itu berjalan secara teratur, atau sistem sosial pada dasarnya adalah suatu sistem tindakan tindakan. Jika instusi benar-benar hendak berfungsi sebagai sarana pengintegrasi masyarakat. Maka ia harus di terima oleh masyarakat untuk menjalankan fungsinya itu.[7]
B. Interaksi Sosial
      Pada suatu sistem sosial terdapat suatu interaksi sosial. yaitu manusia tidak dapat hidup sendiri. Karena adanya ketergantungan antara seseorang dengan orang lainnya, Dalam hubungan ini yang sangat penting adalah reaksi yang timbul sebagai akibat hubungan-hubungan tersebut. Hubungan-hubungan itu, merupakan hubungan sosial yang dinamis sebagai interaksi sosial. interaksi sosial merupakan hal yang utama dalam pergaulan atau kehidupan sosial. Jadi interaksi sosial terbentuk pada segala bentuk kegiatan manusia, maka di dalam interaksi sosial ini diperlukan ketertiban dan ketentraman, yang alatnya berupa kaedah-kaedah sosial.

C. Ketertiban Dan Ketentraman
      Pada dasarnya manusia dalam hidup bermasyarakat menyadari dirinya bahwa ia diatur oleh berbagai aturan. Salah satu kaedah sosial dalam mekanisme pengintegrasian adalah kaedah hukum. Apabila seseorang sadar bahwa hampir semua hubungan kemasyarakatan diatur oleh kaedah-kaedah hukum dan pola-pola tertentu dalam arti tunduk pada kaedahkaedah dan pola-pola tersebut. Umpamanya, sesorang memiliki kesempatan untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya serta menuntut hak-haknya. Dengan demikian dia akan lebih yakin bahwa ada kaedah-kaedah hukum dan pola-pola yang mengaturinteraksi sosial yang terjadi di dalam masyarakat.

D. Hukum Sarana Penyelesaian Konflik
      Sehubungan dengan itu, hukum berfungsi sebagai mekanisme untuk melakukan integrasi terhadap berbagai kepentingan warga masyarakat, yang berlaku baik ada konflik maupun tidak ada konflik. Akan tetapi harus diketahui bahwa dalam penyelesaian konflik-konflik kemasyarakatan, bukan hanya hukum satu-satunya sarana pengintegrasi, melainkan masih terdapat sarana pengintegrasi lain seperti kaedah agama, kaedah moral, dan sebagainya.
      Apabila institusi hukum benar-benar hendak berfungsi sebagai sarana pengintegrasi masyarakat, maka ia harus diterima oleh masyarakat untuk menjalankan fungsinya itu. Hal ini berarti bahwa para warga masyarakat harus mengakui, kalau institusi itulah tempat pengintegrasian dilakukan. Olehnya itu, orang pun harus bersedia untuk menggunakannya atau memanfaatkannya. Dengan kata lain, rakyat harus dapat dimotivasikan untuk menggunakan institusi hukum sebagai sarana penyelesaian konflikkonfliknya. Dari sini, masalahnya bisa ditarik ke masalah pemuasan rasa keadilan. Dengan demikian rakyat harus tergerak untuk membawa sengketanya ke Pengadilan, karena melalui badan itulah keadilan dapat diberikan kepada mereka.
PENUTUP

A. Kesimpulan

1.
        Hukum dalam mempengaruhi kehidupan manusia adalah hukum diartikan sebagai suatu kontrol sosial. Kontrol social (social kontrol) biasanya diartikan sebagai suatu proses baik yang direncanakan maupun tidak, yang bersifat mendidik, mengajak atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi sistem kaidah dan nilai yang berlaku.
            Sosial kontrol yang dimaksud adalah yang berhubungan dengan pembentukan dan pemeliharaan aturan-aturan sosial yang berpijak pada kemampuan hukum untuk mengontrol perilaku-perilaku manusia dan menciptakan suatu kesesuaian didalam perilaku-perilaku tersebut. Salah satu dari karakteristik hukum yang membedakannya dari aturan- aturan yang bersifat normatif ialah adanya mekanisme kontrol yaitu yang disebut sebagai sanksi. Hukum berfungsi untuk menciptakan aturan-aturan sosial dan sanksi digunakan sebagai alat untuk mengontrol mereka yang menyimpang dan juga digunakan untuk menakut-nakuti orang agar tetap patuh kepada aturan-aturan sosial yang sudah ditentukan.
            Perwujudan sosial control mungkin berupa pemidanaan, kompensasi, terapi, maupun konsiliasi. Standar atau patokan dari pemidanaan adalah suatu larangan yang apabila dilanggar akan mengakibatkan penderitaan atau sanksi negatif bagi pelanggarnya. Sedangkan dalam terapi maupun konsiliasi sifatnya remedial artinya mengembalikan situasi pada keadaan yang semula. Oleh karena itu yang pokok bukanlah siapa yang kalah dan siapa yang menang, melainkan yang penting adalah menghilangkan keadaan yang tidak menyenangkan bagi para pihak. Hal itu tampak bahwa konsiliasi standarnya adalah normalitas, keserasian dan kesepadanan yang biasa disebut keharmonisan.


2.         Masalah-masalah fenomena hukum dititikberatkan pada masalah-masalah yang berhubungan langsung dengan legal relations, umpamanya court room (Ruang Pengadilan), dan solicitor’s office (Kantor Pengacara). Selain itu adalah studi terhadap proses-proses interaksional, organizational socialization, typifikasi, abolisi dan konstruksi sosial. Dengan demikian berarti, melihat hukum sebagai suatu proses atau lebih tepatnya lagi adalah proses sosial.
Salah satu proses sosial yang terdapat dilihat dalam dinamika hukum adalah apa yang terjadi di pengadilan. Untuk memahami proses yang terjadi di pengadilan maka kita harus mengetahui lebih dalam tentang pengadilan. Pengadilan tidak hanya terdiri dari gedung, hakim, peraturan yang lazim dikenal oleh ilmu hukum, melainkan merupakan suatu interaksi antara para pelaku yang terlibat dalam proses pengadilan. Bekerjanya pengadilan menggambarkan interaksi antara sistem hukum dan masyarakat. Peraturan yang mengatur tata cara berperkara dikembangkan lebih lanjut (worked out) melalui perilaku berperkara para pihak yang terlibat dalam proses peradilan, khususnya hakim.
            Dalam praktek penegakan hukum sehari-hari, praktek kekuasaan kehakiman berada pada pundak dan palu sang hakim. Kedudukan hakim memegang peranan yang penting sebab setiap kasus baik pidana, perdata maupun tata usaha negara akan bermuara pada pengadilan. Hal ini terjadi karena pengadilan merupakan instansi terakhir yang akan menerima, memeriksa dan mengadili perkara tersebut. Ini berarti kedudukan pengadilan menempati posisi sentral dalam penegakan hukum.

3.            Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa perlu suatu pendekatan teoretis untuk menganalisis fungsi hukum sebagai faktor integrasi, terutama dalam kaitannya dengan sistem sosial. Pendekatan teoretis yang digunakan untuk menganalisis permasalahan ini adalah pendekatan structural-functional (selanjutnya disebut pendekatan fungsional struktural) dan untuk le¬bih memperjelas kedudukan hukum sebagai faktor integrasi digunakan hubungan sibernetika yang dikemukakan oleh Talcott Parsons.
Pendekatan tersebut menganggap bahwa masyarakat, pada dasarnya, terintegrasi atas dasar kata sepakat para anggotanya terhadap nilai-nilai kemasyarakatan tertentu, yaitu suatu kesepakatan bersama (general agreements) yang memiliki daya mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat dan kepentingan di antara para anggota masyarakat. Pendekatan tersebut meman-dang masyarakat sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi ke dalam suatu bentuk equilibrium.

B.SARAN
            Sebagai benteng terakhir, maka diharapkan pengadilan dapat memberikan keputusan yang adil, fair dan tidak memihak bagi para pencari keadilan. Masyarakat atau para pencari keadilan mengharapkan pengadilan dapat berkedudukan sebagai lembaga yang dapat memberikan keadilan pada setiap permasalahan yang dihadapi.

DAFTAR PUSTAKA

Adam Podgorecki & Cristopher J. Whelan, Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum, (Jakarta ; PT. Bina Aksara, 1987)
Agus, Raharjo, Membaca Keteraturan Dalam Ketakteraturan, dapat dilihat di www.google.co.id
Ali, Zainnudin, Sosiologi Hukum, (Jakarta : PT Sinar Grafika, 2007)
Patawari_Unhas, Sosiologi Hukum dapat dilihat di www.google.com/ patawari.wordpress.com/2009/02/16/sosiologi-hukum/
Rahardjo, Satjipto , Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
H.R. Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Alumni, Bandung, 2004
H.C Bredemeier,Law as Integrative Mechanism, dalam Vilhelm Aubert, Sociology of Law, Midlesex England. Penguins Book, 1977
Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 1982
Purnadi Purbacaraka dkk, 1993, Perihal Kaedah Hukum, PT.Citra Aditya
Bakti, Bandung.
_________, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 1980
Talcott Parsons, The Social System, New York, The Free Press, 1951
Talcott Parsons, An Outline of Social System.
Achmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis Dan
Sosiologis), PT. Toko Gunung Agung, Jakarta.Otje Salman, 1993, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Alumni,Bandung.


[1]                Soedjono Dirdjosisworo., Pengantar ilmu hukum., hal. 17
[2]           Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum (Jakarta; Rajawali Press,1982)
[3]               Prof. Dr. satjipto Rahardjo, S.H., Ilmu Hukum (Bandung;PT Citra Aditya Bakti), hal. 189
[4]               Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H., Ilmu Hukum ( Bandung; PT Citra Aditya Bakti ), hal. 209
[5]                Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H., Ilmu hukum (Bandung; PT  Citra Aditya Bakti), hal. 146.
[6]               Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu hukum, hal. 49
[7]               Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H. Ilmu Hukum (Bandung; PT Citra Aditya Bakti), hal. 145

Tidak ada komentar:

Posting Komentar