1. Pengertian Hukum Pajak
Hukum pajak atau juga disebut hukum fiskal, adalah keseluruhan dari
peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan
seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat melalui kas negara,
sehingga ia merupakan bagian dari hukum publik, yang mengatur hubungan-hubungan
hukum antar negara & orang-orang atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban
membayar pajak (wajib pajak).
Sedangkan definisi pajak
sendiri tidak mempunyai batasan diantaranya adalah:
a. Prof. Dr. P.J.A
Adriani
Pajak adalah iuran kepada
negara (yang dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut
peraturan-paraturan dengan tidak mendapat prestasi-kembali, yang langsung dapat
ditunjuk dan gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum
berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggerakan pemerintahan.
b.
Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H.
Dalam bukunya Dasar-Dasar
Hukum Pajak Dan Pajak Pendapatan, Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara
berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan mendapat jasa-jasa
timbal (kontra-prestasi), yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk
membayar pengeluaran umum.
Tetapi pengertian tersebut
dikoreksi lagi dalam bukunya yang berjudul Pajak dan Pembangunan , Eresco, 1974,
halaman 8 “Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat ke kas negara
untuk membiayai pengeluaran rutin dan ‘surplus’-nya digunakan untuk public
saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment”.
c.
UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan
Pajak adalah
kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang
bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemamakmuran rakyat. (Pasal 1 Angka 1)
Dari beberapa definis diatas
& berdasarkan ciri-ciri dari pajak dapat ditarik kesimpulan bahwa pajak
adalah iuran yang dipungut baik oleh pemerintah pusat maupun daerah berdasarkan
kekuatan undang-undang serta aturan palaksanaannya kepada wajib pajak yang
diperuntukan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah baik yang bersifat
pembiayaan (public Investment) maupun mengatur untuk mencapai
kesejahteraan umum.
2.
Fungsi Pajak
a.
Fungsi anggaran (budgetair)
Sebagai
sumber pendapatan negara pajak berfungsi untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan
melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya.
b.
Fungsi mengatur (regulerend)
Pemerintah
bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi
mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan.
c.
Fungsi redistribusi pendapatan
Pajak
yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua
kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat
membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan
masyarakat.
d.
Fungsi stabilitas
Dengan
adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang
berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan,
a.
Fungsi
Budgetair atau Fungsi Finansial.
Fungsi Budgetair atau fungsi financial yaitu fungsi pajak
untuk memasukkan uang ke Kas Negara. Atau dengan kata lain fungsi pajak sebagai
sumber penerimaan negara dan digunakan untuk pengeluaran negara, baik
pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan. Pajak merupakan sumber
penerimaan negara yang sangat penting artinya dalam pembangunan di Indonesia,
karena penerimaan negara dari pos pajak menduduki porsi jumlah terbesar
dibandingkan dengan penerimaan dari pos minyak bumi ataupun gas alam.
Disamping pajak, negara mempunyai sumber penerimaan lain,
sebagai berikut :
i. Hasil pengolahan bumi, air dan kekayaan alam lainnya.
ii. Keuntungan dari perusahaan negara.
iii. Denda-denda dan penyitaan barang-barang yang dilakukan
oleh pemerintah karena suatu pelanggaran hokum.
iv. Penerimaan dari departemen-departemen yang bersifat
non-tax.
v. Pinjaman-pinjaman atau bantuan-bantuan, baik dari dalam negeri
maupun luar negeri.
vi. Pencetakan uang, hadiah atau hibah.
b.
Fungsi
Regulerend atau Fungsi Mengatur.
Fungsi
Regulerend atau fungsi mengatur yaitu fungsi pajak untuk mengatur sesuatu
keadaan di masyarakat, dibidang social atau ekonomi sesuai dengan kebijakan
pemerintah.
Beberapa penerapan pelaksanaan fungsi Mengatur antara lain:
i. Pemberlakuan tarif progresif pada pajak penghasilan, yang
dimaksudkan untuk pemerataan pendapatan nasional atau sebagai alat dalam
redistribusi pendapatan nasional.
ii. Pemberlakuan Bea Masuk yang tinggi bagi barang-barang
impor dengan tujuan untuk melindungi (proteksi) terhadap produsen dalam negeri,
sehingga mendorong perkembangan industri dalam negeri.
iii. Pemberian fasilitas tax holiday atau pembebasan
pajak untuk beberapa jenis industri tertentu dengan maksud mendorong para
investor untuk meningkatkan investasinya.
iv. Pengenaan pajak yang tinggi terhadap barang-barang mewah
dengan tujuan untuk menghambat perkembangan gaya hidup mewah.
3. Hukum Pajak
Hukum Pajak mengatur hubungan
antara pemerintah (fiscus) selaku pemungut pajak dengan rakyat sebagai
Wajib Pajak. Ada 2 macam hukum pajak yaitu:
a.
Hukum pajak materil
Yaitu memuat norma-norma yang
menerangkan antara lain keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenai pajak
(objek pajak), siapa yang dikenakan pajak (subjek), berapa besar pajak
yang dikenakan (tarif), segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya utang pajak,
dan hubungan hukum antara pemerintah dan Wajib Pajak. Contoh: Undang-undang
Pajak Penghasilan.
b. Hukum pajak formil
Memuat bentuk atau tata cara
untuk mewujudkan hukum materil menjadi kenyataan (cara melaksanakan hukum pajak
materil). Hukum iini memuat antara lain:
i.
Tata cara penyelanggaraan (prosedur) penetapan
suatu utang pajak.
ii.
Hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap
para Wajib Pajak mengenai keadaan, perbuatan dna peristiwa yang menimbulkan
utang pajak.
iii.
Kewajiban Wajib Pajak misalnya menyelenggarakan
pembukuan/pencatatan, dan hak-hak Wajib Pajak misalnya mengajukan keberatan
atau banding. Contoh: Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
4. Pembagian Pajak
Dalam Hukum Pajak terdapat pembagian jenis-jenis pajak
yang dibagi dalam berbagai pengelompokan atau pembagian, sebagai berikut:
a.
Pengelompokan Pajak Menurut Golongannya
i.
Pajak Langsung
Yaitu pajak yang dimaksudkan untuk dipikul sendiri oleh
yang membayarnya. Jadi pajak jenis ini tidak bisa dilimpahkan atau digeser
kepada pihak lain. Misalnya Pajak Penghasilan (PPh), PPh tidak bisa dilimpahkan
atau digeser kepada orang atau pihak lain untuk menanggungnya.
ii.
Pajak Tidak
Langsung
Yaitu pajak yang dimaksudkan dapat dilimpahkan atau
dibebankan oleh yang membayar kepada pihak lain. Misalnya Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Pajak jenis ini bisa dilimpahkan
atau digeserkan oleh penjual kepada pembeli.
b. Pengelompokan Pajak Menurut Sifatnya
i.
Pajak Subyektif
(Pajak yang Bersifat Perorangan)
Yaitu pajak yang dalam pengenaannya memperhatikan keadaan
atau kondisi pribadi wajib pajak (status kawin atau tidak kawin, mempunyai
tanggungan keluarga atau tidak). Misalnya Pajak Penghasilan, keadaan atau kondisi
wajib pajak akan mempengaruhi dalam hal Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
nya.
ii.
Pajak Obyektif
(Pajak yang Bersifat Kebendaan)
Yaitu pajak yang dalam pengenaannya hanya memperhatikan
sifat obyek pajaknya saja, tanpa memperhatikan keadaan atau kondisi diri wajib
pajak. Misalnya Bea Meterai yang dipungut apabila obyek pajak telah ada dan
memenuhi syarat sebagai suatu dokumen yang dikenakan pajak tanpa melihat
kondisi dari wajib pajak.
Begitupun dalam
Pajak Pertambahan Nilai yang pengenaannya juga tidak dilihat dari kondisi
pribadi wajib pajak tetapi tergantung pada obyek tersebut apakah sudah memenuhi
syarat untuk dikenakan PPN.
c. Pengelompokan Pajak Menurut Lembaga Pemungutnya
i.
Pajak Pusat
(Pajak Negara)
Yaitu pajak yang wewenang pemungutannya ada ditangan
pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Misalnya
Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan.
ii.
Pajak Daerah
Yaitu pajak yang wewenang pemungutannya ada pada
pemerintah daerah dan digunakan untuk kepentingan pembiayaan rumah tangga
pemerintah daerah tersebut.
Pajak Daerah terdiri dari :
1.
Pajak Propinsi
Yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah Tingkat
I (Propinsi). Misalnya Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan
Bermotor.
2.
Pajak
Kabupaten/Kota
Yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah Tingkat
II (Kabupaten/Kota). Misalnya Pajak Hotel, Pajak Restoran dan Pajak Hiburan.
5. Cara Pemungutan Pajak
Dalam pemungutan pajak dikenal
3 (tiga) macam stelsel pajak, yaitu:
a.
Stelsel Nyata
Dimana pengenaan pajak didasarkan pada
obyek (misalnya penghasilan) yang nyata sehingga pemungutannya baru dapat
dilakukan pada akhir tahun pajak, yaitu setelah obyek yang sesungguhnya
diketahui.
Kelebihan dari stelsel ini adalah pajak
yang dikenakan lebih realistis. Sedangkan kelemahannya adalah pajak baru dapat
dipungut pada akhir periode (setelah obyeknya diketahui).
b.
Stelsel Anggapan atau Fiktif
Yaitu stelsel yang mendasarkan pemungutan
pajak berdasarkan pada suatu anggapan (fiksi). Misalnya dalam kaitannya dengan
Pajak Penghasilan, umumnya anggapan yang digunakan adalah penghasilan tahun
sekarang (tahun berjalan) sama dengan penghasilan tahun yang lalu (tahun
sebelumnya) sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya
pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan.
Kebaikan dari stelsel ini adalah pajak
dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu pada akhir tahun
pajak. Sedangkan kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada
keadaan yang sesungguhnya.
c.
Stelsel Campuran
Stelsel Campuran merupakan kombinasi
antara stelsel nyata dengan stelsel anggapan. Dalam penerapannya, stelsel
campuran mula-mula pada awal tahun ditentukan jumlah pajak berdasarkan jumlah
anggapan tertentu dan kemudian setelah tahun pajak berakhir diadakan koreksi
sesuai dengan stelsel nyata.
Kebaikan dari stelsel ini adalah bahwa
pajak sudah dapat dipungut pada awal tahun pajak. Sedangkan kelemahannya adalah
fiskus menghitung kembali jumlah pajak setelah tahun pajak berakhir sehingga
mengakibatkan beban pekerjaan fiskus bertambah dan akibatnya seringkali tidak
terselesaikan.
6.
Sistem Pemungutan Pajak
Pada dasarnya terdapat 3
(tiga) sistem yang dipergunakan untuk menentukan siapa yang menghitung dan menetapkan
jumlah pajak terutang oleh seseorang, yaitu :
a.
Official Assesment System
Official Assesment System yaitu sistem
pemungutan pajak yang menyatakan bahwa jumlah pajak yang terutang oleh wajib
pajak dihitung dan ditetapkan oleh aparat pajak atau fiskus. Dalam sistem ini
utang pajak timbul bila telah ada ketetapan pajak dari fiskus (sesuai dengan
ajaran formil tentang timbulnya utang pajak). Jadi dalam hal ini wajib pajak
bersifat pasif.
b.
Self Assesment System
Self Assesment System yaitu sistem
pemungutan pajak dimana wewenang menghitung besarnya pajak yang terutang oleh
wajib pajak diserahkan oleh fiskus kepada wajib pajak yang bersangkutan,
sehingga dengan sisten ini wajib pajak harus aktif untuk menghitung, menyetor
dan melaporkan kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Sedangkan fiskus bertugas
memberikan penerangan dan pengawas.
c.
With Holding System
With Holding System yaitu sistem
pemungutan pajak yang menyatakan bahwa jumlah pajak terutang dihitung oleh
pihak ketiga (yang bukan wajib pajak dan juga bukan aparat pajak / fiskus).
7.
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Nomor Pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak (NPPKP).
a.
Pengertian NPWP
Adalah tanda
pengenal diri atau identitas wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban
perpajakannya.
b.
Fungsi NPWP,
diantaranya:
i.
Sarana dalam
administrasi perpajakan.
ii.
Tanda pengenal diri atau Identitas WP dalam melaksanakan
hak dan kewajiban perpajakannya.
iii.
Dicantumkan dalam setiap dokumen perpajakan.
iv.
Menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan pengawasan
administrasi perpajakan.
c.
Pendaftaran Untuk Mendapatkan NPWP
Berdasarkan
sistem self assessment setiap WP wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan
Pajak (KPP) atau melalui Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan
(KP4) yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan WP,
untuk diberikan NPWP.
Kewajiban
mendaftarkan diri berlaku pula terhadap wanita kawin yang dikenakan pajak
secara terpisah, karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim atau
dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan
harta.
Wajib Pajak
Orang Pribadi Pengusaha Tertentu yang mempunyai tempat usaha berbeda dengan
tempat tinggal, selain wajib mendaftarkan diri ke KPP yang wilayah kerjanya
meliputi tempat tinggalnya, juga diwajibkan mendaftarkan diri ke KPP yang
wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan.
Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak
menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, bila sampai dengan suatu bulan
memperoleh penghasilan yang jumlahnya telah melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP) setahun, wajib mendaftarkan diri paling lambat pada akhir bulan
berikutnya.
WP Orang Pribadi lainnya yang memerlukan
NPWP dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh NPWP.
d. Tata
cara Pendaftaran NPWP
Untuk
mendapatkan NPWP Wajib Pajak (WP) mengisi formulir pendaftaran dan menyampaikan
secara langsung atau melalui pos ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor
Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan (KP4) setempat dengan melampirkan:
i.
Untuk WP Orang
Pribadi Non-Usahawan
Fotokopi Kartu
Tanda Penduduk bagi penduduk Indonesia atau foto kopi paspor ditambah surat
keterangan tempat tinggal dari instansi yang berwenang minimal Lurah atau
Kepala Desa bagi orang asing.
ii. Untuk WP Orang
Pribadi Usahawan:
Fotokopi KTP bagi penduduk Indonesia atau
fotokopi paspor ditambah surat keterangan tempat tinggal dari instansi yang
berwenang minimal Lurah atau Kepala Desa bagi orang asing.
Surat Keterangan tempat kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas dari instansi yang berwenang minimal Lurah atau Kepala Desa.
iii.
Untuk WP Badan:
Fotokopi akte pendirian dan perubahan
terakhir atau surat keterangan penunjukkan dari kantor pusat bagi BUT.
Fotokopi KTP bagi penduduk Indonesia
atau fotokopi paspor ditambah surat keterangan tempat tinggal dari instansi
yang berwenang minimal Lurah atau Kepala Desa bagi orang asing, dari salah
seorang pengurus aktif.
Surat Keterangan tempat kegiatan usaha
dari instansi yang berwenang minimal kabupaten Lurah atau Kepala Desa.
e.
Penerbitan NPWP Secara Jabatan
KPP dapat menerbitkan NPWP secara jabatan,
apabila WP tidak mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP. Bila berdasarkan data
yang dimiliki Direktorat Jenderal Pajak ternyata WP memenuhi syarat untuk
memperoleh NPWP maka terhadap wajib pajak yang bersangkutan dapat diterbitkan
NPWP secara sepihak oleh Direktorat Jenderal Pajak.
a.
Pengertian NPPKP
NPPKP (Nomor pengukuhan pengusaha kena pajak) adalah
setiap wajib pajak sebagai pengusaha yang dikenakan pajak pertambahan nilai
(PPN) berdasrkan undang-undang PPN wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
pengusaha kena pajak (PKP) dan atau pengusaha yang dikukuhkan sebagai pengusaha
kena pajak memiliki surat pengukuhan kena pajak yang berisi identitas dan
kewajban perpajakan Pengusaha kena pajak.
b.
Fungsi-fungsi NPPKP adalah sebagai berikut:
i.
Untuk mengetahui
identitas pengusaha kena pajak yang sebenarnya.
ii.
Untuk
melaksanakan hak dan kewajiban di pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan
atas barang mewah.
iii.
Untuk
pengawasan terhadap administrasi perpajakan.
c.
Pencabutan PKP adalah sebagai berikut:
i.
Pengusaha PKP
pindah alamat kewilayah kerja KPP lain
ii.
Pindah tempat kedudukan
iii.
Pindah tempat kegiatan usaha
iv.
Perubahan status perusahaan.
d.
Kewajiaban wajib pajak adalah sebagai berikut:
i.
Mendaftarkan
diri untuk mendapatkan nomor pokok wajib pajak (NPWP)
ii.
Menghitung dan membayar
sendiri pajak dengan benar.
iii.
Mengambil
sendiri surat pemberitahuan pajak dan mengisi dengan benar dan memasukkan
sendiri dengan dalam batas waktu yang telah ditetapkan.
iv.
Menyelenggarakan pembukuan dan pencatatan.
v.
Memperlihatkan
buku atau catatan dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen yang lain yang
berhubungan dengan penhasilan yang diperoleh dalam kegiatan usaha pekerja bebas
wajib pajak atau objek penanda tanganan pajak
vi.
Memberikan
kesempatan untuk memasuki tempat diruangan tempat perusahaan yang akan
diperiksa.
vii.
Memberikan keterangan yang seperlunya
8.
Kewajiban Setelah Ber-NPWP
Kewajiban
yang harus dipenuhi oleh seorang Wajib Pajak, dapat dilihat pada Surat
Keterangan Terdaftar (yaitu surat yang diperoleh dari Kantor Pelayanan Pajak,
ketika kita mendaftarkan diri dan diberikan bersamaan dengan Kartu NPWP. Bagi Orang
Pribadi yang mendaftarkan diri melalui pemberi kerja dengan program yang
disebut e-NPWP, maka surat keterangan terdaftar ini harus dimintakan tersendiri
ke Kantor Pelayanan Pajak tempat kita terdaftar dengan membawa kartu NPWP).
Dalam Surat Keterangan Terdaftar ini, dapat kita lihat kewajiban PPh sesuai
dengan Pasal-Pasalnya, diantaranya:
i.
Kewajiban PPh
Pasal 21, berarti bahwa Wajib Pajak yang bersangkutan harus melakukan
pemotongan PPh atas pembayaran gaji kepada karyawan/pegawai yang kita
pekerjakan (mungkin karyawan perusahaan, karyawan toko, atau pembantu yang
bekerja di tempat usaha kita). Setelah melakukan pemotongan PPh Pasal 21 maka
setiap bulan, Wajib Pajak yang bersangkutan harus melaporkan SPT Masa PPh Pasal
21/26 (bentuk formulirnya lihat di bagian download SPT).
ii.
Kewajiban PPh
Pasal 22, kewajiban ini tidak penulis bahas karena menyangkut ke instansi
tertentu yang ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 sehingga untuk Wajib Pajak
umum, biasanya tidak memiliki kewajiban ini. Kelak akan dibahas secara khusus
pada bagian lain.
iii.
Kewajiban PPh
Pasal 23, berarti bahwa Wajib Pajak yang bersangkutan harus melakukan pemotongan
PPh atas pembayaran biaya-biaya berupa bunga, dividen, royalti, hadiah dan
jasa-jasa yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23. Kewajiban ini akan ada pada Wajib
Pajak yang menyelenggarakan pembukuan dalam menghitung penghasilan netonya,
orang pribadi yang menjalankan usaha sebagai: akuntan, arsitek, dokter,
notaris, PPAT (kecuali Camat), Pengacara dan konsultan yang melakukan pekerjaan
bebas. Setelah melakukan pemotongan PPh Pasal 23 maka setiap bulan, Wajib Pajak
yang bersangkutan harus melaporkan SPT Masa PPh Pasal 23/26 (bentuk formulirnya
lihat di bagian download SPT).
iv.
Kewajiban PPh
Pasal 26, yaitu kewajiban yang harus dilakukan oleh Wajib Pajak untuk melakukan
pemotongan terhadap pembayaran biaya-biaya (sama seperti untuk objek PPh Pasal
21 dan PPh Pasal 23) namun yang dibayarkan kepada Subjek Pajak Luar Negeri. Setelah melakukan pemotongan PPh
Pasal 26 maka setiap bulan, Wajib Pajak yang bersangkutan harus melaporkan SPT
Masa PPh Pasal 21/26 atau SPT Masa PPh Pasal 23/26 yang digabungkan dengan
laporan yang telah disebutkan pada angka 2 dan 3 di atas.
v.
Kewajiban PPh
Pasal 4 ayat (2) atau PPh Pasal 15, kewajiban ini hampir sama seperti kewajiban
untuk PPh Pasal 23, hanya objek-objek Penghasilannya dikenakan pajak yang
bersifat final, misalnya sewa tanah dan/atau bangunan, jual tanah dan/atau
bangunan, jual saham di bursa efek, hadiah undian, jasa konstruksi dan
sebagainya.
vi.
Kewajiban PPh
Pasal 25/29, kewajiban ini terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu kewajiban PPh
Pasal 25 yang dilakukan setiap bulan dan kewajiban PPh Pasal 29 yang dilakukan
bersamaan dengan pelaporan SPT Tahunan PPh Badan atau Orang Pribadi setiap
tahunnya. Kewajiban
PPh Pasal 25 adalah merupakan angsuran/cicilan sebanyak 12 bulan pembayaran PPh
atas perkiraan PPh selama setahun untuk tahun pajak yang sedang berjalan.
Jika Anda Terdaftar Sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi
dengan Pekerjaan Karyawan/Pegawai dan tidak memiliki usaha sampingan atau usaha
di luar penghasilan sebagai karyawan/pegawai, maka kewajiban yang harus
dilakukan adalah melaporkan seluruh penghasilan dan potongan pajak yang telah
diberikan oleh pemberi kerja (perusahaan atau majikan tempat Anda bekerja) yang
hanya dilakukan setahun sekali dengan menggunakan formulir yang disebut sebagai
SPT Tahunan PPh Orang Pribadi. Ada beberapa formulir SPT Tahunan yang
disesuaikan dengan penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak Orang Pribadi,
yaitu:
i.
Wajib Pajak
Orang Pribadi yang hanya mendapatkan penghasilan hanya dari 1 (satu) pemberi
kerja (gaji, honor, tunjangan dan sejenisnya) dengan penghasilan kurang dari Rp
60.000.000 setahun, melaporkan SPT Tahunan dengan menggunakan Formulir SPT Tahunan PPh Orang Pribadi 1770 SS.
ii.
Wajib Pajak
Orang Pribadi yang mendapatkan penghasilan dari 1 (satu) atau lebih pemberi
kerja sehubungan dengan pekerjaan (gaji, honor, tunjangan, dan sejenisnya)
dengan penghasilan lebih dari Rp 60.000.000 setahun, melaporkan SPT Tahunan
dengan menggunakan Formulir SPT Tahunan PPh Orang Pribadi 1770 S.
Selain itu, untuk kewajiban setiap bulannya, Wajib Pajak
dengan pekerjaan sebagai karyawan/pegawai tidak perlu melaporkan kewajiban
pajaknya.Kewajiban melaporkan SPT Tahunan ini dilakukan paling lambat pada
akhir bulan ketiga setelah berakhirnya tahun pajak. Jadi misalkan jika orang
pribadi yang baru terdaftar pada tahun 2008, dan kewajiban perpajakannya
dimulai pada tahun pajak 2008, maka pertama kali Wajib Pajak ini harus
melaporkan SPT Tahunannya adalah untuk tahun pajak 2008 yang dilakukan paling
lambat tanggal 31 Maret 2009.
a.
Surat
Pemberitahuan (SPT)
Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib
Pajak (WP) digunakan untuk melaporkan penghitungan dan pembayaran pajak yang
terutang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Sesuai
dengan Undang-undang No 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan pasal 1 angka 10, Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib
Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan atau pembayaran pajak, objek
pajak dan atau bukan objek pajak dan atau harta dan kewajiban, menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
b. Pembagian SPT
Secara umum berdasarkan jenisnya
terdapat dua jenis SPT, yaitu :
i.
SPT masa
SPT yang digunakan untuk melakukan
pelaporan atas pembayaran pajak bulanan atau Surat Pemberitahuan Masa adalah
Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak. Masa Pajak
adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan 1 (satu) bulan takwim atau jangka
waktu lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan paling lama 3
(tiga) bulan takwim.
Macam-macam Surat Pemberitahuan Masa
yaitu :
1.
SPT Masa PPh
Pasal 21/26
2.
SPT Masa PPh
Pasal 22
3.
SPT Masa PPh
Pasal 25
4.
SPT Masa PPh
Pasal 23
5.
SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2)
6.
SPT Masa PPh
Pasal 15
7.
SPT Masa PPN (1195)
8.
SPT Masa PPN
bagi Pemungut
9.
SPT Masa PPnBM
(1101BM).
ii.
SPT Tahunan
SPT
yang digunakan untuk pelaporan tahunan atau Surat Pemberitahuan untuk suatu
Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak. Tahun Pajak adalah jangka waktu yang
lamanya sama dengan 1 (satu) tahun takwim kecuali bila Wajib Pajak menggunakan
tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim. Bagian Tahun
Pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak.
Terdapat tiga macam Surat Pemberitahuan
Tahunan, yaitu :
1.
Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi, yang terdiri
dari :
a.
Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Biasa
(formulir 1770)
b.
Surat
Pemberitahuan Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan Kegiatan
Usaha atau Pekerjaan Bebas (formulir 1770S)
2.
Surat Pemberitahuan Tahunan Wajib Pajak
Badan, yang terdiri dari :
a.
Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan biasa (formulir 1771);
b.
Surat
Pemberitahuan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan dalam bahasa Inggris dan mata
uang Dollar Amerika Serikat (formulir 1771S);
c.
Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak penghasilan Pasal 21 (formulir 1721).
c. Batas Waktu Penyampaian SPT
i.
SPT Masa
NO
|
JENIS PAJAK
|
YANG MENYAMPAIKAN
|
BATAS WAKTU PENYAMPAIAN
|
1
|
PPh Pasal 21
|
Pemotong PPh Pasal 21
|
Tanggal 20
Bulan Takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir
|
2
|
PPh Pasal 22 Impor PPN dan
PPnBM Impor
|
Direktorat Bea dan Cukai
|
14 hari
setelah berakhirnya Masa Pajak
|
3
|
PPh Pasal 22
Impor, PPn dan PPnBM atas Impor ( DJBC )
|
Direktorat Bea dan Cukai
|
7 hari
setelah batas waktu penyetoran Pajak berakhir
|
4
|
PPh Pasal 22 Bendaharawan
|
Bendaharawan
|
Tanggal 14
bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir
|
5
|
PPh Pasal 22 Bahan Bakar
|
Pertamina
|
20 hari
setelah Masa Pajak berikutnya
|
6
|
PPh Pasal 22 Pemungutan
Oleh Badan tertentu
|
Pemungut Pajak
|
20 hari
setelah Masa Pajak berakhir
|
7
|
PPh
Pasal 23
|
Pemotong PPh Pasal 23
|
Tanggal 20
bulan Takwim berikutnya setelah Masa Pajak berikutnya
|
8
|
PPh
Pasal 25
|
Wajib Pajak Yang Mempunyai NPWP
|
Tanggal 20 bulan Takwim setelah
Masa Pajak berakhir
|
9
|
PPh
Pasal 26
|
Pemotong PPh Pasal 26
|
Tanggal 20 bulan Takwim setelah
Masa Pajak berakhir
|
10
|
PPN
dan PPnbM
|
PKP
|
Tanggal 20
bulan Takwim setelah Masa Pajak berikutnya
|
11
|
PPN
dan PPnBM Bendaharawan
|
Bendaharawan Pemerintah
|
14 hari setelah Masa Pajak berikutnya
|
12
|
PPN
dan PPnBM selain Bendaharawan
|
Selain Bendaharawan
|
20 hari setelah Masa Pajak berakhir
|
ii.
SPT Tahunan
NO
|
JENIS PAJAK
|
YANG MENYAMPAIKAN
|
BATAS WAKTU PENYAMPAIAN
|
1
|
SPT
Tahunan
|
Wajib Pajak yang mempunyai NPWP
|
Selambatnya 3
bulan setelah akhir tahin pajak (biasanya tanggal 31 maret Tahun berikutnya)
|
2
|
PPh
Pasal 21 Tahunan
|
Pemotong PPh Pasal 21
|
Selambatnya 3 bulan setelah akhir
Tahun Pajak
|
9.
Pemeriksaan dan Hasil Pajak
Surat Ketetapan Pajak (SKP) adalah surat ketetapan yang
diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (c.q. Kantor Pelayanan Pajak/KPP)
berdasarkan hasil pemeriksaan pajak maupun penelitian SPT (umumnya SKP
diterbitkan berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap SPT WP). SKP dapat
berupa SKP-LB, SKP-KB, SKP-KBT, atau SKP-Nihil.
a.
SKP-LB atau
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menyatakan
adanya kelebihan pembayaran pajak (Lebih Bayar/LB).
b.
SKP-KB atau
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menyatakan
adanya kekurangan pembayaran pajak (Kurang Bayar/KB). Jumlah KB yang
tercantum dalam SKP-KB jatuh tempo dalam satu bulan sejak SKP tersebut
diterbitkan. Namun jika Wajib Pajak mengajukan Keberatan, maka KB
tersebut belum dianggap sebagai utang pajak dan jatuh tempo pembayarannya
diundur hingga satu bulan setelah terbitnya Surat Keputusan Keberatan.
c.
SKP-KBT atau
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah surat ketetapan pajak
susulan setelah SKP-KB yang pertama diterbitkan. SKP ini bisa muncul manakala
kantor pajak mendapatkan data/keterangan/informasi baru (novum) yang menyatakan
adanya kekurangan pembayaran pajak sementara terhadap Wajib Pajak tersebut
sebelumnya sudah diterbitkan SKP-KB.
d.
SKP Nihil
adalah surat ketetapan pajak yang menyatakan bahwa jumlah pajak yang terutang
sama besarnya dengan jumlah kredit pajak yang dapat diperhitungkan, alias tidak
kurang maupun tidak lebih bayar.
10.
Keberatan dan
Banding dalam Pajak
a.
Keberatan
Dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan kemungkinan terjadi bahwa Wajib Pajak (WP) merasa kurang/tidak puas
atas suatu ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya atau atas pemotongan/
pemungutan oleh pihak ketiga. Dalam hal ini WP dapat mengajukan keberatan.
Hal-hal yang Dapat Diajukan Keberatan:
i.
Wajib Pajak
dapat mengajukan keberatan atas:
1.
Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar (SKPKB);
2.
Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT);
3.
Surat Ketetapan
Pajak Lebih Bayar (SKPLB);
4.
Surat Ketetapan
Pajak Nihil (SKPN);
5.
Pemotongan atau
Pemungutan oleh pihak ketiga.
b.
Ketentuan
Pengajuan Keberatan
Keberatan diajukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak
(KPP) di tempat WP terdaftar, dengan syarat:
i. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia.
ii. Wajib menyebutkan jumlah pajak yang terutang atau
jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan
WP dan disertai alasan-alasan yang jelas.
iii. Satu keberatan harus diajukan untuk satu jenis dan satu
tahun/masa pajak.
iv. Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar
pajak dan pelaksanaan penagihan pajak dan keberatan yang tidak memenuhi syarat,
dianggap bukan Surat Keberatan, sehingga tidak diproses.
c.
Jangka Waktu
Pengajuan Keberatan
Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga)
bulan sejak tanggal SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN atau sejak tanggal dilakukan
pemotongan/ pemungutan oleh pihak ketiga.
i. Untuk surat keberatan yang disampaikan langsung ke KPP,
maka jangka waktu 3 (tiga) bulan dihitung sejak tanggal SKPKB, SKPKBT, SKPLB,
SKPN atau sejak dilakukan pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga sampai saat
keberatan diterima oleh Kantor Pelayanan Pajak.
ii. Untuk surat keberatan yang disampaikan melalui pos
( harus dengan pos tercatat ), jangka waktu 3 bulan dihitung sejak
tanggal SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN atau sejak dilakukan pemotongan/ pemungutan
oleh pihak ketiga sampai dengan tanggal tanda bukti pengiriman melalui Kantor
Pos dan Giro.
Permintaan
Penjelasan/Pemberian Keterangan Tambahan
i. Untuk keperluan pengajuan keberatan WP dapat meminta
penjelasan/ keterangan tambahan dan Kepala KPP wajib memberikan
penjelasan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan,
pemotongan, atau pemungutan.
ii. WP dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan
tertulis sebelum surat keputusan keberatannya diterbitkan.
b.
Banding
Apabila WP tidak atau belum puas dengan keputusan yang
diberikan atas keberatan, WP dapat mengajukan banding. kepada badan peradilan
pajak, dengan syarat:
i.
Tertulis dalam
bahasa Indonesia.
ii.
Dalam jangka
waktu 3 bulan sejak keputusan atas keberatan diterima.
iii.
Alasan yang jelas.
iv.
Dilampiri
salinan Surat Keputusan atas keberatan.
v.
Pengajuan
permohonan Banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan
penagihan pajak.
vi.
Putusan badan
peradilan pajak bukan merupakan keputusan Tata Usaha Negara.
vii.
Imbalan
Bunga
viii.
Apabila
pengajuan keberatan atau permohonan banding diterima sebagian atau seluruhnya,
sepanjang utang pajak sebagaimana dimaksud dalam SKPKB dan SKPKBT telah dibayar
yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, maka kelebihan pembayaran pajak
dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan,
paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak tanggal pembayaran
pajak sampai dengan diterbitkannya Keputusan Keberatan atau Putusan Banding.
c.
Gugatan
Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dapat mengajukan
gugatan kepada bpp terhadap :
i.
Pelaksanaan
Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang;
ii.
Keputusan yang
berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan selain yang ditetapkan dalam
Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 UU KUP;
iii.
Keputusan
pembetulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 UU KUP yang berkaitan dengan
STP;
iv.
Keputusan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 yang berkaitan dengan STP;
d.
Jangka Waktu Pengajuan Gugatan
i.
Gugatan
terhadap angka 1 diajukan paling lambat 14 hari sejak pelaksanaan Surat Paksa,
Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan atau Pengumuman Lelang;
ii.
Gugatan
terhadap angka 2, 3, dan 4 diajukan paling lambat 30 hari sejak tanggal
diterima Keputusan yang digugat.
11. Tindakan Penagihan
Pajak
Apabila utang
pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran belum dilunasi, akan
dilakukan tindakan penagihan pajak sebagai berikut:
a.
Surat Teguran
i.
Dalam hal WP tidak menyetujui sebagian atau seluruhnya
jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan
dan WP tidak mengajukan keberatan atas SKPKB atau SKPKBT, kepada WP disampaikan
Surat Teguran setelah lewat 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pengajuan
keberatan;
ii.
Dalam hal WP tidak menyetujui sebagian atau seluruh
jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan,
dan WP mengajukan permohonan banding atas keputusan keberatan sehubungan dengan
SKPKB atau SKPKBT, kepada WP disampaikan Surat teguran setelah 7 (tujuh) hari
sejak saat jatuh tempo pengajuan banding;
iii.
Dalam hal WP tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah
pajak yang masih dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, dan
mengajukan permohonan banding atas keputusan keberatan sehubungan dengan SKPKB
atau SKPKBT, kepada WP disampaikan Surat teguran setelah 7 (tujuh) hari sejak
saat jatuh tempo pelunasan pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Putusan
Banding;
iv.
Dalam hal WP menyetujui seluruh jumlah pajak yang masih
harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, kepada WP disampaikan
Surat Teguran setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pelunasan;
v.
Dalam hal WP mencabut pengajuan keberatan atas SKPKB atau
SKPKBT setelah tanggal jatuh tempo pelunasan tetapi sebelum tanggal diterima
Surat Pemberitahuan Untuk Hadir oleh WP, kepada WP disampaikan Surat Teguran
setelah 7 (tujuh) hari sejak tanggal pencabutan pengajuan keberatan tersebut;
dan
vi.
Dalam rangka Penagihan Pajak atas utang Bumi dan Bangunan
dan/atau Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yang tercantum dalam STPPBB,
SKBKB, SKBKBT, STB atau Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan,
atau Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar
bertambah, kepada WP disampaikan Surat teguran setelah 7 (tujuh) hari sejak
tanggal jatuh tempo pelunasan. Penyampaian Surat Teguran dapat dilakukan secara
langsung, melalui pos atau melalui jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti
pengiriman surat.
b.
Surat Paksa
Utang pajak
setelah lewat 21 (dua puluh satu) hari dari tanggal Surat Teguran tidak
dilunasi, diterbitkan Surat Paksa yang diberitahukan oleh Jurusita Pajak dengan
dibebani biaya penagihan pajak dengan Surat Paksa sebesar Rp50.000,00 (lima
puluh ribu rupiah). Utang pajak harus dilunasi dalam jangka waktu 2 x 24 jam
setelah Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak.
c.
Surat Sita
Utang pajak
dalam jangka waktu 2 x 24 jam setelah Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita
Pajak tidak dilunasi, Jurusita Pajak dapat melakukan tindakan penyitaan, dengan
dibebani biaya pelaksanaan Surat Perintah Melakukan Penyitaan sebesar Rp
100.000,00 (seratus ribu rupiah).
d.
Lelang
Dalam jangka
waktu paling singkat 14 (empat belas) hari setelah tindakan penyitaan, utang
pajak belum juga dilunasi akan dilanjutkan dengan pengumuman lelang melalui
media massa. Pengumuman lelang untuk barang bergerak dilakukan 1 (satu) kali
dan untuk barang tidak bergerak dilakukan 2 (dua) kali. Penjualan secara lelang
melalui Kantor Lelang Negara terhadap barang yang disita, dilaksanakan paling
singkat 14 (empat belas) hari setelah pengumuman lelang. Dalam hal biaya
penagihan paksa dan biaya pelaksanaan sita belum dibayar maka akan dibebankan
bersama-sama dengan biaya iklan untuk pengumuman lelang dalam surat kabar dan
biaya lelang pada saat pelelangan. Catatan Barang dengan nilai paling banyak
Rp.20.000.000,- tidak harus diumumkan melalui media massa.
e. Hak Wajib Pajak/Penanggung Pajak
Wajib Pajak/Penanggung Pajak berhak:
i.
Meminta Jurusita Pajak memperlihatkan Kartu Tanda
Pengenal Jurusita Pajak;
ii.
Menerima Salinan Surat Paksa dan Salinan Berita Acara
Penyitaan;
iii.
Menentukan urutan barang yang akan dilelang;
iv.
Sebelum pelaksanaan
lelang, Wajib Pajak/Penanggung Pajak diberi kesempatan terakhir untuk melunasi
utang pajak termasuk biaya penyitaan, iklan dan biaya pembatalan lelang dan
melaporkan pelunasan tersebut kepada Kepala KPP yang bersangkutan;
v.
Lelang tidak
dilaksanakan apabila Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan
pajak sebelum pelaksanaan lelang.
f.
Kewajiban Wajib
Pajak / Penanggung Pajak
Wajib Pajak/Penanggung Pajak
berkewajiban:
i.
Membantu
Jurusita Pajak dalam melaksanakan tugasnya:
a. memperbolehkan Jurusita Pajak memasuki ruangan, tempat usaha/tempat tinggal WP/ Penanggung Pajak;
a. memperbolehkan Jurusita Pajak memasuki ruangan, tempat usaha/tempat tinggal WP/ Penanggung Pajak;
ii.
memberikan keterangan lisan atau tertulis yang
diperlukan.
iii.
Barang yang disita dilarang dipindahtangankan,
dihipotikkan atau disewakan.
g. Daluwarsa Penagihan
i.
Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga,
denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah melampaui waktu 5
(lima) tahun terhitung sejak penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan
Kurang Bayar, Surat Ketetapan Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan
Peninjauan kembali.
ii.
Daluwarsa
penagihan pajak tersebut tertangguh apabila:
1.
diterbitkannya Surat Paksa;
2.
adanya pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung
maupun tidak langsung;
3.
diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan karena Wajib Pajak setelah jangka waktu 5
(lima) tahun tersebut dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang
perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada
pendapatan negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap;
4.
Dilakukan
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
Nanda Narendra
Putra
1111048000045
Ilmu Hukum IV.B
Tidak ada komentar:
Posting Komentar