Jangan Pernah Me-Monopoli Cinta
Oleh:
Nanda Narendra Putra, SH
Kamu pernah selingkuh? Atau kamu malah yang diselingkuhi oleh pasangan? Jangan khawatir! Kamu ngga perlu mengasiani diri kalian sendiri. Dan
juga bagi yang sering berselingkuh, kamu jangan lantas berbangga diri juga. Perlahan-lahan
sebaiknya berubah deh!
Cinta, bagi kaum remaja mungkin tidak seberapa dahsyat ’intrik-intrik’
yang terjadi sepanjang hubungan berlangsung. Walaupun begitu, jika pasangan
remaja tak pintar-pintar mengatasi hambatan-hambatan saat menjalaninya, jadi runyam
tentu masalahnya. Efeknya? Susah makan, sudah tentu; sekolah tidak fokus,
itu pasti. Hal yang lebih dahsyat lagi adalah upaya bunuh diri!. Ehm! untuk
yang terakhir itu tentu jangan sampai terjadi ya, saya berpesan sekali lagi
jangan dilakukan loh ya!.
Biasanya hal yang paling sensitif yang ditakuti remaja,
khususnya remaja wanita adalah isu perselingkuhan. Jangankan remaja, pasangan
yang sudah ’resmi’ (membina hubungan rumah tangga,- red) saja bisa seketika
membawa masalah perselingkuhan ini ke ’meja hijau’ di Pengadilan Agama
(perceraian,- red). Tapi, hal itu tak bisa disamakan dengan remaja yang belum
terikat hubungan yang legal dimata hukum. Remaja, paling-paling memilih
untuk menyelesaikan hubungan itu atau kita kenal dengan istilah ‘Putus’.
Putus atau mengakhiri hubungan percintaan sebenarnya bisa
dengan mudah dihindari. Caranya? Tentu banyak sekali!. Yang tersulit
bukanlah memilih menggunakan cara penyelesaian yang mana, tetapi yang sulit
adalah berpikir dan bersikap sejalan dengan cara yang kita pilih saat itu. Lagi-lagi
soal komitmen menjalankan pilihan dalam menghadapi masalah. Sebagaimana kita
tahu, saat masalah terjadi biasanya pikiran sulit sekali ’jernih’ berpikir,
paling tidak yang sering dilakukan adalah saling menyalahkan satu dan yang
lainnya. Tapi ingat! Hal itu justru membuat semakin ’keruh’.
Bagi orang, mungkin awam saat mendengar kata ‘Monopoli’. Namun, bagi yang punya
latar belakang ekonomi dan hukum, istilah ini jadi ’makanan’ sehari-harinya. Tapi
kamu ngga perlu khawatir, tulisan ini tak hanya untuk mereka. Tulisan ini saya
persembahkan buat kalian semua, yang masih punya hati dan yang akan selalu jadi
orang yang memberi kasih sayang untuk pasangannya.
Oke! Untuk memudahkan memahami tulisan ini, saya akan mendefinisikan apa
maksud istilah ’Monopoli’*. Monopoli, yang saya maksud dalam tulisan ini
mudahnya dipahami dengan ”Kalian sebagai pasangan (baik laki-laki atau
perempuan) bersikap mendominasi terhadap pasangan kalian.”
Pertama-tama, kebanyakan pasangan pernah merasakan ’hangatnya’
hubungan kalian, terutama diawal fase hubungan berjalan. Lambat laun,
kehangatan yang dulu menghiasi indahnya romantika seolah menjadi oase di
padang pasir, begitu jarang sekali muncul. Entah hal itu menjadi hal yang wajar
atau tidak, kebanyakan orang menganggap hal itu lumrah terjadi. Saya? Mau tidak
mau sepakat dengan anggapan umum itu. Toh, pengalaman saya menjalin hubungan
juga merasakan hal itu kok.
Ngga ada yang salah dengan berkurangnya hal-hal yang
intim dalam hubungan, terlebih karena waktu. Waktu seringkali ’dikambing-hitamkan’
oleh semua orang karena berkurangnya keintiman hubungan itu. Lalu? Apakah lantas
kalian menyalahkan waktu? Sebaiknya jangan!. Hubungan yang baik itu, buat
saya harus dilandasi dengan ’konsep tahu diri’. Kita harus ’tahu diri’ kenapa
hubungan yang diawal begitu hangat lama-kelamaan menjadi biasa dan anyep.
”Hubungan yang baik itu, buat saya
harus dilandasi dengan ’konsep tahu diri’,”
Oh ternyata... usut punya diusut, baru kita sadari bahwa
hal yang ’terlalu’ itu tidak baik akibatnya bagi siapapun, khususnya bagi
hubungan sepasang insan. Maksudnya? Bukankah selalu intim itu menjadi
dambaan setiap pasangan? Lantas mengapa jika ’terlalu’ itu malah tidak baik?.
Saya pun pada awalnya punya asumsi seperti itu, tapi setelah dipikir-pikir,
ternyata yang ’terlalu’ itu juga tak selamanya baik, tapi juga tak
semerta-merta buruk sih. Kuncinya, buat saya adalah pas.
Izinkan saya meng-analogikan itu ya. Anggaplah hubungan
yang intim atau ’hangat’ itu sebagai gairah nafsu makan seseorang. Lalu, selama
dua minggu, kamu setiap hari memakan pizza sebagai menu makanannya. Bagaimana
perasaanmu kemudian, apakah merasa jenuh karena setiap hari selama dua minggu
makan makanan yang sama? Jika ya!, itulah yang juga terjadi pada hubungan
yang ’terlalu’ hangat atau intim. Lama-kelamaan, akan menjadi jenuh juga, bukan
begitu?
Lalu bagaimana? Jawabnya tergantung! Iya, tergantung mau bagaimana pasangan itu menyikapi
hubungannya yang semakin biasa itu. Kalau saya sih, lebih kepada bagaimana
karakter pasangan kita ya. Makanya, penting juga kita memahami pasangan kita
seutuhnya. Bagi yang belum mengenal secara ’dalam’ pasangannya, ya jangan
khawatir. Mengenal pasangan seutuhnya kan juga butuh proses, tak bisa disamakan
dengan belajar di kelas atau di tempat bimbingan belajar tentunya.
Lalu apa hubungannya monopoli dengan tulisan ini? Kok ngga nyambung ya
kayanya? Iya, benar! Tulisan yang sudah kamu baca daritadi memang
belum ada kaitannya dengan monopoli. Kalian sabar dulu ya!. Soal monopoli
baru bisa kita pahami saat kita sudah mengenal dalam pasangan kita.
Monopoli tak selamanya buruk, tapi saya sepakat jika monopoli punya
kecenderungan kearah hal yang tidak baik juga sih. Seberapa tidak baiknya
kepada hubungan, lagi-lagi saya bisa katakan, jawabannya itu tergantung. Yuk simak
sedikit penjelasannya.
Oke, anggaplah hubungan kalian sudah berada pada fase
yang lebih tinggi tingkatannya. Artinya, diantara kalian dan pasangan sudah
tidak ada lagi hal-hal yang ditutup-tutupi. Kegiatan kalian dengan pasangan
layaknya reallity show, satu dan lainnya tahu kelebihan dan kelemahan
masing-masing. Tentu, diawal hubungan romantika kalian atau bahkan
dipertengahan hubungan, kalian masih merasa jaim (jaga image,-
red), malu-malu jika ada hal yang tidak lumrah diketahui oleh pasangan, dan
sebagainya, tapi pada fase ini, semua kalian sikapi berbeda, yaitu kalian lebih
bisa menerima satu dengan yang lainnya.
Kaget ngga? Atau udah ketebak dari awal saat pdkt
(pendekatan,- red)? Kalau kalian ngga kaget, itu bagus sih!. Bagi
yang kaget dan ngga bisa terima, mau bagaimana?. Nah! Pada fase ini baru
bisa kita mulai deteksi apakah pasangan kita punya kecenderungan me-monopoli
hubungan kita atau sebaliknya justru kita yang cenderung monopoli pasangan.
Bagi sebagian pasangan, ada yang tidak begitu
mempermasalahkan ketika pasangan mereka lebih mendominasi hubungan. Sejatinya,
hubungan romantika seharusnya memang dibangun bersama, tidak adu kuat melainkan
saling menguatkan, bukan begitu?. Saat pasangan nyatanya di fase
hubungan yang lebih tinggi tingkatakannya ini punya kecenderungan me-monopoli
hubungan, lalu mau bagaimana? Menyudahi? Iya, benar mau menyudahi? Coba
scroll lagi kebagian atas tulisan ini. Kan saya tulis, sebaiknya menyudahi hubungan
atau putus itu dihindari. Ya!
”Sejatinya, hubungan romantika
seharusnya memang dibangun bersama, tidak adu kuat melainkan saling menguatkan.
Bukan begitu?,”
Jika kalian tetap kekeuh memilih menyudahi
hubungan kalian, lebih baik cukupkan sampai disini untuk membaca artikel ini. Tapi,
bagi kalian yang masih melihat ada hal lain yang lebih patut untuk
diperjuangkan. Yuk, lepas sejenak yang ada digenggaman kedua tangan kita dan
tepuk tanganlah untuk diri kalian dan teman-teman lain yang membaca artikel
ini.
Saya punya prinsip, ”orang yang mengerti, mudah memaafkan”,
termasuk untuk hal ini misalnya saat pasangan kamu lebih mendominasi hubungan,
ada baiknya kamu memahami dulu latar belakang kenapa si dia melakukan itu dan
kenapa kamu harus menerima hal itu. Pikirkan, beri argumen pada diri sendiri
hal apa yang memberatkan atau meringankan atas sikap pasangan kalian itu. Sudah
dipikirkan? Masih belum tau jawabannya? Yasudah yuk kita cari solusinya bersama.
Buat saya, saat hubungan kita dihadapkan pada hal-hal
yang sulit, baik itu yang datang dari luar hubungan kita (’orang ketiga’,
orang tua kita dan/atau pasangan, sahabat, dsb) atau dari kita sendiri (karakter,
beda prinsip, keyakinan, dsb) saya mencoba untuk memahami terlebih dahulu
secara baik dibandingkan saya harus bersikap lebih dahulu. Berdasarkan pengetahuan
saya, orang lebih sering bersikap atau menyatakan sikap dalam bentuk perbuatan
dibanding memahami apa yang sebenarnya terjadi. Tak sedikit, banyak yang
memilih marah hingga membentak pasangannya sampai menangis.
”Orang yang mengerti,
mudah memaafkan,”
Bukankah jika kita buru-buru meluapkan perasaan tanpa
pemahaman yang baik, hal itu justru akan lebih menyakitkan keduanya? Ngga enak pasti, karena sakitnya bakal double. Ingat
ngga awal kalian membentuk hubungan? Pasti sebagian lupa, karena begitu
banyak janji terucap. Tapi paling tidak, setiap pasangan berjanji untuk saling
mencintai dalam hal atau keadaan apapun. Bahkan, keduanya saling berjanji untuk
tidak saling menyakiti ketika hal terburuk terjadi. Jika benar begitu, maka
salah satu kunci keberhasilan melewati hambatan dalam suatu hubungan, yaitu dengan
mengingat tujuan awal kalian membina hubungan itu, benar kan?
”Apapun itu, akan selalu manis
pada awalnya. Lalu, kemudian akan berkurang sampai pahit diakhir. Tak ada
salahnya mengingat ’awal’ agar semua kembali manis pada akhirnya,”
Oh ya, hal selanjutnya adalah saat kamu sudah berhasil
melakukan hal diatas kepada pasangan, saya asumsikan hubungan kalian akan
berlanjut dan melangkah pasti kedepan. Tapi, saya punya ’bayangan’ yang mungkin
sebagian orang pernah sepintas terpikirkan soal hal ini. Bagi yang tidak
memikirkan, ada baiknya melihat apa yang saya pikirkan pada fase yang lebih
lanjut ini. Boleh setuju atau tidak, hal ini adalah hal yang juga ditakutkan
bila sampai ada dalam hubungan seseorang.
Saat pasangan kalian belakangan kita ketahui punya sikap yang mendominasi
atau me-monopoli hubungan, kalian tentu berhasil ’menyelesaikan’ hal itu. Kalian
anggap hal itu bukan lagi sebagai masalah dan juga sudah berhasil disikapi
dengan baik. Hal itu berujung pada kelangsungan hubungan romantika kalian ke
fase yang selanjutnya.
Tapi, saya punya kecenderungan lain. Ada ketakutan, saat pasangan seakan
menganggap sikap kita yang menerima keadaannya itu sebagai suatu sikap permanen
dalam diri kita. Tidak salah memang, saat pasangan kita menganggap seperti itu.
Kekhawatiran saya lebih kepada, khawatir saat dia memanfaatkan hal itu. Ya ngga
sih? Ini adalah asumsi pribadi...
Jika saya mau simpulkan, me-monopoli hubungan yang dilakukan pasangan bukan
akhir sikapnya. Tapi lebih pada pintu masuk... entah apakah penggunaan istilah ’pintu
masuk’ ini relevan dengan konteks ini. Tapi paling tidak, saat pasangan kalian
me-monopoli hubungan kalian, ada kecenderungan pasangan kalian akan melakukan
hal-hal lain yang mengejutkan romantika kalian kedepan. Ha? Apa ya? Saya
juga tak tahu hal apalagi yang akan dilakukannya. Yang jelas, sayangi dan
cintai saja pasangan kalian tanpa syarat...
See you... semoga kita bertemu pada kesempatan lain lewat tulisan-tulisan
saya ya.
(NNP, what
goes arround comes back arround)
*. Monopoli : Sistim perdagangan
yang hampir tujuh puluh lima persen dikuasai satu pihak
tertentu (dalam Kamus Bahasa Indonesia Populer (Bintang Timur Surabaya, 1995: 413)